Mencari Titik Tengah untuk Bali
FAKTA bahwa saat ini Bali telah berkembang menjadi salah satu destinasi wisata yang paling populer di dunia tentu tidak bisa dikesampingkan.
Adanya keinginan untuk meningkatkan infrastruktur seperti bandara internasional di Bali Utara bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi kemacetan, memperbaiki fasilitas, dan meningkatkan kualitas pelayanan pariwisata.
Tantangan terkait hal tersebut sebenarnya terletak pada mencari titik tengah yang tepat antara memoderniasi infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Bali, sembari tetap menjaga keaslian budaya dan alam Bali.
Perlu dipahami bahwa Singapura dan Hongkong memang dikenal karena infrastruktur modern mereka, tetapi perlu diingat bahwa mereka juga memiliki kebijakan yang sangat ketat dalam hal pelestarian lingkungan dan budaya, meskipun dalam konteks yang berbeda.
Oleh karena itu, ide ini bisa dilihat dari perspektif yang lebih luas, yaitu bagaimana Bali bisa belajar dari pengelolaan kota-kota besar ini dalam hal pengelolaan pariwisata yang terorganisir, inovatif, dan berbasis teknologi.
Hal ini menjadi demikian penting agar konsep pembangunan yang dilakukan tetap dijalankan dengan prinsip keberlanjutan atau sustainability.
Dengan kata lain dalam hal ini konsep keberlanjutan, inovasi, dan perubahan menjadi kata kunci terkait masalah ini. Ketiga konsep ini — keberlanjutan, inovasi, dan perubahan — memerlukan strategi berbeda namun saling melengkapi.
Keberlanjutan membutuhkan pendekatan konservatif yang berfokus pada perlindungan jangka panjang, sementara inovasi mendorong kreativitas untuk memperkaya pengalaman pariwisata tanpa merusak nilai budaya lokal.
Di sisi lain, perubahan adalah upaya jangka panjang yang membutuhkan kesadaran bersama dan upaya kolaboratif, khususnya agar Bali bisa berkembang tanpa kehilangan keunikannya. Pertanyaannya sekarang mampukah pemimpin selanjutnya menavigasi hal ini dalam waktu 5 tahun?
Mencapai keseimbangan antara keberlanjutan, inovasi yang autentik, dan perubahan inklusif dalam waktu lima tahun akan menjadi tantangan besar bagi pemimpin mana pun, tetapi bukan tidak mungkin jika fokus tetap pada pembangunan berbasis nilai dan kolaborasi.