Ketaksaan Dharma

Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda
Setiap enam bulan, masyarakat Bali merayakan Galungan, momen yang dianggap sebagai simbolkemenangan kebaikan atas kejahatan. Pura-pura dipenuhi dengan sesajen, janur menghiasi jalan-jalan, dan semua orang berbusana adat. Namun di balik kemegahan ritual dan tradisi itu, ada pertanyaan yang mendesak: Apakah kita benar-benar memahami makna spiritual di balik perayaan ini?
Apakah kita sungguh-sungguh merayakan kemenangan Dharma, atau justru sekadar menjalankan kewajiban budaya tanpa refleksi batin?
Lebih dari itu, apakah kita sudah benar-benar merasakan kebahagiaan sebagai umat yang menghidupi nilai-nilai Dharma? Atau, apakah kebahagiaan kita hanya sebatas keberhasilan menjalankan ritual, sementara makna sejati Galungan—kemenangan kebaikan dalam diri dan hidup kita—semakin kabur?
Jangan-jangan, Adharma justru bersembunyi di balik kemeriahan yang hampa makna, membuat kitahanya bahagia secara lahiriah, namun hampa dalam spiritualitas.
Antara Tradisi dan Tuntutan Modernitas Globalisasi dan modernitas telah mengubah cara masyarakat Bali menjalani tradisi seperti Galungan, yang kini lebih sering dipandang sebagai kewajiban ritual semata.
Fokus pada aspek-aspek fisik sepertisesajen, penjor, dan busana adat telah menggeser perhatian dari makna spiritual yang lebih dalam.Misalnya, banyak keluarga yang merasa perlu mengeluarkan biaya besar untuk membuat sesajen yangmegah atau membeli kain adat baru, bahkan jika harus berhutang, karena takut dianggap kurang religius atau tidak mengikuti tradisi dengan baik.
Di tengah tekanan sosial dan materialisme, ritual Galungan sering menjadi beban daripada kesempatan untuk mendekatkan diri pada nilai-nilai spiritual.
Keluarga-keluarga ini terjebak dalam rutinitas mempersiapkan upacara, lebih mengutamakan penampilan lahiriah daripada refleksi batin. Padahal, seharusnya Galungan menjadi waktu untuk meninjau apakah mereka telah hidup sesuai dengan Dharma.
Sebagai contoh, tidak sedikit yang lebih sibuk memperindah penjor di depan rumah ketimbangmerenungi bagaimana mereka bisa mengalahkan sifat-sifat buruk dalam kehidupan sehari-hari.
Generasi muda Bali juga terpengaruh oleh gaya hidup modern, memandang Galungan sebagai ajang sosial atau waktu libur. Misalnya, mereka lebih tertarik memposting foto-foto mereka dalam pakaian adatdi media sosial daripada merenungkan makna kemenangan Dharma atas Adharma. Jika masyarakat Bali terus terseret dalam arus materialisme dan rutinitas tanpa pemaknaan, perayaan Galungan berisikokehilangan makna spiritualnya, hanya menjadi ritual kosong yang jauh dari refleksi batin yang sejatinya diperlukan.
Perayaan atau Formalitas?Dalam perspektif yang lebih kritis, ada kegagalan mendalam dalam pemahaman akan esensi Galungan. Banyak masyarakat yang menjalankan ritual ini lebih karena tekanan sosial atau kewajiban ketimbang karena kesadaran spiritual. Mereka khawatir dilihat sebagai “kurang religius” jika tidak menjalankan upacara dengan sempurna, sehingga fokus beralih pada aspek lahiriah dan bukan pada makna batiniah.
Akibatnya, Galungan lebih sering dirayakan sebagai formalitas, sebuah peristiwa budaya yangmewajibkan pengeluaran besar untuk sesajen dan hiasan, tapi hampa dalam hal refleksi spiritual.Fenomena ini menunjukkan ketaksaaan pemahaman Dharma itu sendiri.
Apa yang seharusnya menjadi perayaan kemenangan spiritual atas godaan duniawi justru tenggelam dalam ritualisme. Ironisnya, semakin megah upacara yang dilakukan, semakin dangkal pemahaman yang tersisa tentang ajaran moral di baliknya.
Seberapa banyak yang benar-benar merasakan kemenangan Dharma dalam kehidupan mereka? Atau sebaliknya, apakah Adharma justru mengambil bentuk baru melaluikeserakahan, kemewahan, dan penekanan pada penampilan luar?
Merevitalisasi Galungan: Lebih dari Sekadar Ritual Masyarakat Bali, jika ingin memulihkan makna Galungan, harus keluar dari pola pikir ritualistik yang dangkal dan menuju pemahaman spiritual yang lebih mendalam. Ritual memang penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam ritual tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Galungan seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya tentang persiapan fisik, tetapi juga tentang bagaimana prinsip Dharma diterapkan dalam konteks modern. Ini berarti meninjau ulang cara kita bekerja, berinteraksi, dan hidup.
Apakah kita sudah mengamalkan kebenaran dan kebajikan dalam tindakan kita sehari-hari? Atau kita hanya menjalankan ritual kosong tanpa esensi?
Kekeliruan terbesar yang terjadi adalah melihat Galungan sebagai sesuatu yang statis, ketikaseharusnya Dharma adalah konsep yang dinamis dan berkembang. Dharma menuntut pemahamanserta penerapan yang relevan dengan tantangan zaman.
Dalam dunia yang terus berubah, apakahprinsip-prinsip Dharma yang diajarkan dalam teks-teks kuno masih relevan?
Bagaimana masyarakat Balimengartikulasikan Dharma dalam konteks modern, di mana tantangan etika dan moral semakinkompleks? Sebagai contoh, Bhagavad Gita Bab 3, Sloka 19 mengajarkan: “Tasmād asaktaḥ satataṁ kāryaṁ karma samācara, asakto hy ācaran karma param āpnoti pūruṣaḥ” (“Karena itu, lakukanlah kewajibanmu tanpa keterikatan. Dengan bertindak tanpa pamrih, seseorangmencapai Yang Tertinggi.”)
Sloka ini menekankan pentingnya bertindak dengan tulus, tanpa pamrih, sebagai bagian daripengamalan Dharma. Dalam konteks Galungan, hal ini bisa dimaknai sebagai ajakan untukmerenungkan, apakah tindakan kita selama perayaan, dan dalam kehidupan sehari-hari, telah didasari oleh keikhlasan dan kebenaran, bukan sekadar formalitas atau kewajiban sosial yang dangkal.
Inilah yang seharusnya menjadi fokus perayaan Galungan menegakkan tradisi yang dipenuhi ruh Dharma, bukan hanya ritual kosong.
Akhirnya, kita harus dibawa kembali pada kesadaran bahwa Galungan, dalam esensinya, adalahperayaan spiritual yang seharusnya membawa kita pada refleksi mendalam tentang kehidupan. Namun, jika masyarakat terus terjebak dalam rutinitas dan ritualisme yang hampa, maka makna sejati dari Galungan akan semakin pudar.
Bali, dengan kekayaan spiritualnya, berisiko kehilangan esensi Dharmajika masyarakat tidak mampu keluar dari siklus ritual yang dangkal. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk menghidupkan kembali makna Galungan sebagai momen introspeksi, pembaharuan spiritual, dan komitmen untuk menjalani kehidupan yang benar-benar selaras dengan Dharma.
Dengan demikian, Galungan bukan sekadar kemenangan simbolis atas Adharma; ia adalah panggilan mendalam untuk menegakkan kebaikan di setiap aspek kehidupan. Ingat, “Galungan bukan untuk becanda.”
Jika masyarakat Bali tidak mampu merespons panggilan ini dengan kesadaran yang mendalam, maka perayaan Galungan akan terus terjebak dalam rutinitas kosong, kehilangan maknanya di tengah gemerlap modernitas.
Mari kita kembali ke akar, merefleksikan nilai-nilai Dharma, dan memastikan bahwa setiap perayaan Galungan membawa kita lebih dekat pada kebaikan, bukan sekadar pada kesenangan fisik semata. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa esensi sejati Galungan tetap hidup dalam jiwa dan tindakan kita, selaras dengan semangat Dharma yang abadi.