AAN Eddy Supriyadinata Gorda
Dr. A.A.Ngr.Eddy Supriyadinata Gorda

Hujan di Bulan November

Bagikan

Seperti hujan di bulan November yang datang tak menentu, masalah pendidikan di Indonesia kerap muncul dengan intensitas yang sulit diprediksi. Terkadang deras, membanjiri ruang kebijakan dengan persoalan yang membutuhkan solusi mendesak. Terkadang rintik, menyisakan isu-isu laten yang terus menggerogoti fondasi pendidikan kita secara perlahan.

Ketimpangan akses pendidikan menjadi pemandangan yang tak kunjung usai. Anak-anak di pedalaman harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk belajar, sementara di kota besar, kualitas pengajaran terkungkung oleh sistem evaluasi berbasis angka. Di sisi lain, data UNESCO mengungkap, meskipun tingkat partisipasi sekolah meningkat, kualitas pendidikan masih jauh tertinggal di tingkat global.

Masalah ini seperti tanah kering yang sulit menyerap air hujan. Kebijakan demi kebijakan mengalir deras, tetapi seringkali hanya menghasilkan genangan tanpa menyentuh akar masalah. Pendidikan yang idealnya menjadi kendaraan menuju kemajuan justru sering terjebak dalam stagnasi. Kualitas guru, yang seharusnya menjadi pilar utama, banyak yang belum tersentuh oleh pelatihan teknologi modern. Sementara itu, perkembangan zaman membawa tantangan baru seperti literasi digital yang belum merata dan kurikulum yang tertinggal dari kebutuhan industri global. Semua ini membuat pertanyaan besar mencuat: apakah deep learning, dapat menawarkan jalan keluar di tengah himpitan permasalahan ini?

Deep learning, sebagai pendekatan pembelajaran mendalam, belakangan menjadi perhatian dalam diskursus pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa pendekatan ini bukanlah kurikulum baru yang akan menggantikan Kurikulum Merdeka, melainkan sebuah strategi pembelajaran yang tengah dikaji untuk diterapkan.

Deep learning merupakan pendekatan pendidikan yang berfokus pada pemahaman mendalam, penguasaan konsep, dan integrasi pengetahuan lintas disiplin. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong siswa berpikir kritis, kreatif, dan reflektif dalam memaknai informasi, dibandingkan hanya menghafal fakta. Dalam konteks ini, deep learning mencakup pengembangan kemampuan analitis, abstraksi kognitif, serta pembentukan koneksi antara berbagai elemen pengetahuan.

Deep learning memungkinkan siswa untuk memahami makna dari apa yang mereka pelajari, yang berujung pada retensi pengetahuan yang lebih baik dan kemampuan menerapkannya dalam situasi baru. Pendekatan ini juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan refleksi mendalam, yang semuanya relevan dalam menghadapi tantangan dunia modern. Oleh karena itu, deep learning memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan mendorong pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan.

Salah satu faktor penunjnag keberhasilan penerapan deep learning adalah tersedianya teknologi yang mendukung. Platform digital dan perangkat lunak pendidikan dapat menyediakan simulasi, alat visualisasi, dan analitik pembelajaran yang membantu siswa memahami konsep yang kompleks dan relevan dengan dunia nyata. Dengan teknologi, siswa juga dapat belajar secara kolaboratif melalui forum diskusi online dan proyek berbasis kelompok, yang mendorong mereka untuk menghubungkan pengetahuan dari berbagai sumber dan disiplin

Namun, janji manis deep learning perlu dikritisi ketika diterapkan di realitas pendidikan Indonesia, terutama di jenjang sekolah dasar dan menengah. Tantangan utama terletak pada infrastruktur dan kesiapan ekosistem. Mayoritas sekolah dasar dan menengah di Indonesia, khususnya di daerah terpencil, masih menghadapi keterbatasan akses teknologi. Banyak sekolah yang belum memiliki perangkat dasar seperti komputer, apalagi koneksi internet stabil yang menjadi syarat mutlak untuk menjalankan teknologi berbasis deep learning. Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di wilayah pedesaan masih rendah, sementara perangkat seperti komputer dan tablet tetap menjadi barang mewah bagi sebagian besar sekolah. Di sisi lain, deep learning berisiko mengikis peran manusia. Jika teknologi menggantikan guru dalam memahami kebutuhan siswa, di mana ruang untuk interaksi emosional, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati?

Selain itu, pada jenjang sekolah dasar dan menengah, peran guru tidak hanya sebagai fasilitator akademik tetapi juga sebagai pembentuk karakter. Penggunaan teknologi dalam deep learning mungkin unggul dalam hal mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mendalam tetapi ia tak mampu menggantikan sentuhan manusiawi dalam membangun nilai-nilai, empati, dan interaksi sosial yang esensial bagi anak-anak dalam usia perkembangan. Kecenderungan untuk menggantungkan pembelajaran sepenuhnya pada algoritma dapat mereduksi pendidikan menjadi sekadar angka dan pola, mengabaikan dimensi emosional dan moral yang sangat penting di usia ini.

Lebih kritis lagi, implementasi deep learning berisiko memperbesar kesenjangan pendidikan. Sekolah-sekolah di perkotaan yang memiliki sumber daya lebih mungkin memanfaatkan teknologi ini, sementara sekolah di pedesaan yang kekurangan infrastruktur akan semakin tertinggal. Alih-alih menyelesaikan masalah ketimpangan, teknologi ini bisa memperkuat polarisasi.

Pada akhirnya, deep learning memang menawarkan potensi luar biasa, tetapi, peran guru tetap harus menjadi yang utama, dengan teknologi sebagai pendukung. Untuk itu, pemerintah dan pemangku kepentingan harus memastikan bahwa investasi dalam teknologi pendidikan diimbangi dengan pengembangan infrastruktur, pelatihan guru, dan pendekatan yang memanusiakan siswa, sehingga deep learning dapat menjadi hujan yang menyuburkan pendidikan, bukan badai yang mengikis fondasinya.

Meski tantangan membentang luas, potensi integrasi deep learning dalam pendidikan tak bisa diabaikan. Dengan kebijakan yang terarah, teknologi ini dapat menjadi alat, bukan pengganti, bagi para pendidik. Pemerintah harus memastikan infrastruktur digital menjangkau pelosok negeri, melatih guru untuk beradaptasi dengan teknologi, dan merancang kurikulum yang menyelaraskan keunggulan teknologi dengan nilai-nilai lokal.

Seperti hujan yang menyuburkan tanah tandus, deep learning dapat membawa harapan baru bagi pendidikan Indonesia. Namun, hujan ini hanya akan memberi manfaat jika tanah pendidikan kita siap menyerapnya—melalui sinergi antara manusia, teknologi, dan kebijakan yang berfokus pada masa depan. Hujan di bulan November sering kali tak terduga, tetapi selalu membawa peluang bagi mereka yang siap. Begitu pula pendidikan kita: di tengah badai masalah, selalu ada secercah harapan jika kita memilih untuk bersiap dan beradaptasi.