

“Pancasila Tanpa Kaki”

A.A.Ngr.Eddy Supriyadinata Gorda
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya menjadi momentum refleksi bagi bangsa Indonesia. Tanggal 1 Oktober seringkali diisi dengan upacara dan simbol-simbol penghormatan terhadap ideologi negara. Namun, di balik seremoni itu, ada kekhawatiran mendalam: apakah masyarakat Indonesia masih benarbenar menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila? Atau kita justru telah tercerabut dari akar sejarah dan pengalaman pengamalan ideologi ini?
Pancasila, sejak awal kemerdekaan, digagas sebagai fondasi nilai dan arah perjalanan bangsa. Namun, kini kita melihat realitas yang berbeda. Bangsa ini seperti burung yang terbang tinggi, tetapi kakinya tak bisa lagi menapak bumi. Pembangunan berjalan pesat, teknologi semakin maju, tapi di sisi lain, kita sering kali melihat kontradiksi antara perkembangan fisik dan moralitas masyarakat.
Contohnya, kita bisa melihat bagaimana megaproyek infrastruktur dibangun di berbagai daerah, seperti tol laut, jalan tol, hingga proyek ibu kota baru. Dari segi fisik, ini tentu menunjukkan kemajuan yang mengesankan. Namun, di saat yang sama, terjadi ketimpangan sosial yang semakin nyata. Lahan-lahan warga tergusur demi pembangunan tanpa solusi layak, dan masyarakat adat kehilangan hak atas tanah mereka. Keberpihakan terhadap keadilan sosial, salah satu prinsip Pancasila, terasa semakin jauh ketika yang diuntungkan hanyalah segelintir elite ekonomi.
Di sisi lain, perkembangan teknologi dan akses informasi yang semakin luas ternyata juga membawa masalah moralitas baru. Di media sosial, kita menyaksikan maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi politik yang memecah belah masyarakat. Nilai-nilai Pancasila, seperti kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia, kerap kali tergerus oleh kepentingan politik dan kelompok yang lebih mengutamakan kebencian dibanding kebersamaan.
Prinsip-prinsip dasar yang diajarkan Pancasila, seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan, seringkali hanya menjadi slogan. Ketika kita bicara soal keadilan sosial, jurang antara si kaya dan si miskin justru semakin lebar. Kemanusiaan yang adil dan beradab terkikis oleh tingginya angka kekerasan, perpecahan sosial, hingga isu intoleransi. Masyarakat seolah terjebak dalam dinamika yang jauh dari nilai luhur kebangsaan.
Kita hidup dalam era globalisasi dan modernisasi yang menyilaukan, tetapi lupa bahwa perubahan ini harus tetap berakar pada karakter bangsa. Masyarakat Indonesia semakin banyak yang terpengaruh oleh nilai-nilai luar yang kadang bertentangan dengan Pancasila. Kehilangan arah ini membuat kita seolah berkembang, tetapi tercerabut dari akarnya. Pancasila hanya menjadi kata yang dihafal di sekolah, tanpa benar-benar dihayati dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita terus membiarkan nilai-nilai Pancasila sekadar menjadi hiasan upacara formal, Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita yang diimpikan para pendiri bangsa. Perlu ada upaya kolektif untuk kembali menapak bumi, meresapi kembali akar-akar kebangsaan yang sesungguhnya. Pancasila harus lebih dari sekadar semboyan; ia harus menjadi napas dari setiap langkah kita dalam pembangunan negeri ini. Sudah saatnya kita merenung, apakah dalam hiruk-pikuk kemajuan, kita telah kehilangan “kesaktian” Pancasila?
Dalam konteks ini, makna “kesaktian” Pancasila menjadi semakin relevan untuk ditinjau secara kritis. Kesaktian yang dimaksud bukan hanya terletak pada kekuatan Pancasila sebagai ideologi negara, tetapi juga pada kemampuan nilai-nilai tersebut untuk menyatukan berbagai latar belakang agama, suku, dan budaya di Indonesia. Dalam kehidupan beragama, Pancasila seharusnya menjadi jembatan yang mengedepankan toleransi dan saling menghormati, bukan pemisah yang menciptakan konflik.
Namun, realitasnya, kita sering melihat bagaimana Pancasila dijadikan alat untuk membenarkan tindakan intoleransi. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat sejumlah kasus intoleransi terhadap kelompok agama minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Pancasila mengajarkan persatuan dan keadilan, penerapannya sering kali diselewengkan oleh kepentingan tertentu.
Pancasila, sebagai ideologi negara Indonesia, menawarkan pendekatan yang unik dan khas dalam mengelola keragaman masyarakatnya. Berbeda dengan demokrasi liberal yang lebih berfokus pada individualisme dan kebebasan individu, Pancasila mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan tradisi budaya Indonesia, menekankan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam hal ini, Pancasila dan sosialisme memiliki kesamaan dalam fokus pada kesejahteraan rakyat, namun pendekatan ekonominya berbeda; Pancasila mendukung campuran antara ekonomi pasar dan intervensi negara, sedangkan sosialisme lebih mengedepankan kepemilikan bersama atau kontrol negara terhadap sumber daya.
Dengan demikian, meskipun negara lain memiliki ideologi yang berbeda, Pancasila tetap relevan dalam konteks budaya dan sejarah Indonesia, berfungsi sebagai jembatan untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Keberhasilan implementasi nilai-nilai Pancasila memerlukan komitmen dari seluruh elemen masyarakat untuk menjaga dan merawat prinsip-prinsip luhur yang terkandung di dalamnya.
Penting untuk menekankan bahwa “kesaktian” Pancasila bukanlah hal yang otomatis; ia memerlukan usaha bersama untuk menghidupkan dan mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks beragama. Dengan memperkuat nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan beragama, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, di mana perbedaan dihargai dan konflik dapat diminimalisir. Jika kita berhasil mewujudkan hal ini, kesaktian Pancasila akan terasa lebih nyata, bukan hanya dalam konteks ideologi, tetapi juga dalam praksis kehidupan masyarakat yang beradab dan berkeadilan.
Dalam memaknai peringatan Hari Kesaktian Pancasila, kita tidak bisa mengabaikan realitas ironis yang ada di depan mata. Kesaktian Pancasila seolah menjadi slogan yang diulang-ulang tanpa makna, bak mantra yang dibaca tanpa pemahaman. Di tengah gemuruh retorika tentang keadilan sosial dan persatuan, praktik nyata justru menunjukkan bahwa kita semakin terjerat dalam kegaduhan politik, intoleransi, dan ketidakadilan. Pancasila, yang seharusnya menjadi pelita penuntun, sering kali malah terbenam dalam debu-debu politik dan kepentingan kelompok yang egois.
Kita pun bisa bertanya: apakah Pancasila masih sakti, atau hanya sekadar hiasan dinding yang terlihat megah saat upacara, namun nyatanya tak mampu mengubah realitas kehidupan sehari-hari? Kesaktian Pancasila seakan terbang tinggi tanpa kaki, menjelajahi langit idealisme, tetapi tak pernah mendarat untuk menyentuh bumi kenyataan yang keras. Jika kesaktian itu tidak disertai dengan tindakan nyata, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan bukan hanya kesaktian Pancasila, tetapi juga kesaktian kita dalam menghayati dan mengamalkannya.
Pada akhirnya, jika Pancasila hanya terbang tanpa kaki yang menapak bumi, bagaimana mungkin ia bisa mencengkeram kuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika? Nilai-nilai persatuan dalam keberagaman yang menjadi fondasi bangsa akan sulit terwujud jika Pancasila tidak benar-benar diterapkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tanpa pijakan yang kuat, Pancasila hanya akan menjadi simbol kosong, sementara masyarakat terpecah dalam egoisme kelompok dan kepentingan pribadi. Sebagai bangsa, kita perlu memastikan bahwa Pancasila tidak hanya menjadi ide yang melayang tinggi, tetapi juga menjejak kuat di tanah tempat perbedaan dihargai dan keadilan ditegakkan.