Dimensi yang Terlupakan dalam Perayaan Galungan dan Kuningan
Di bulan November ini, kita kembali dipertemukan dengan rangkaian perayaan salah satu hari raya besar agama Hindu, Galungan dan Kuningan. Rumah-rumah dihiasi penjor-penjor indah yang berdiri megah.
Sejak pagi umat Hindu akan melakukan persembahyangan dari pura satu ke pura lainnya. Termasuk juga di pura merajan masing-masing keluarga untuk memberi penghormatan kepada para leluhur, yang telah memberikan perlindungan dan kesejahteraan.
Kehadirannya selalu terasa istimewa karena mampu memberi ruang penyadaran batin bagi setiap pemeluk agama Hindu bahwa Dharma (kebajikan) akan selalu menang melawan Adharma (kebatilan). Ia menjadi pengingat bahwa di dunia ini akan selalu ada hal baik dan buruk, rwa-bhineda, tetapi walau bagaimanapun manusia akan mampu mengatasinya. Manusia dikodratkan untuk menghadapi tantangan dan mampu mengatasinya.
Meski demikian, di sisi lain hal ini justru memunculkan pertanyaan lain. Siapa sesungguhnya Sang Pemenang tersebut? Siapa yang berhak untuk menikmati limpahan suka cita di hari Galungan dan Kuningan? Sebab rasanya, tidak ada perjuangan apa pun, tiba-tiba ketika kalender mempertemukan Buda Kliwon Dungulan dan Saniscara Kliwon Kuningan kemudian semua umat berhak merayakan Galungan dan Kuningan.
Secara tradisional, masyarakat Hindu Bali memandang Galungan dan Kuningan sebagai sebuah sadhana yang berarti melaksanaka segala jenis upaya-upaya spiritual untuk menyeimbangkan kembali pikiran dan perasaan yang dikuasai oleh sad ripu (enam kegelapan pikiran) dan ego (ahamkara), serta mengembangkan sifat belas kasih dan penuh kebaikan. Dalam konteks yang modern, hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenal siapa sesungguhnya diri kita yang sejati (keuningan).
Kemudian akan muncul rangkaian pertanyaan untuk diri kita sendiri, siapa diri kita sesungguhnya? Sudahkan kita mampu menjadi manusia yang lebih baik dibandingkan sebelumnya?, sudahkah kehadiran kita mampu memberikan manfaat pada lingkungan? Sayangnya hal ini seringkali menjadi bagian yang “terlupakan” ketika momen Galungan dan Kuningan tiba. Umat terlalu disibukkan dengan ritual dan sembahyang. Pada akhirnya sembahyang mereka menjadi “kosong”.
Kenalilah siapa kita. Banyak orang yang merasa bahwa mereka sangat mengenal diri mereka sendiri sehingga mereka tidak pernah lagi duduk mengevaluasi diri sendiri. Introspeksi diri dan proses transformasi kesadaran penting dilakukan untuk memenangkan karakter dharma dalam kontestasinya dengan adharma (pertarungan yang cenderung ada di dalam diri sendiri). Melalui proses instrospeksi diri maka kejernihan dan kebijaksanaan (wisdom) akan didapatkan dan seseorang mampu berjalan dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya.
Mengutip dari berbagai sumber, orang bijak pernah mengatakan bahwa dalam hidup ini ada tiga tingkatan spiritual yang dapat dilalui seseorang. Pada tingkatan pertama, orang-orang yang termasuk di dalamnya memiliki sifat alami dari dalam dirinya untuk tidak tertarik melakukan pelanggaran moral, seperti menipu, berbohong, membunuh, korupsi, menggunakan narkoba, dsb-nya. Sekalipun pikiranpikiran buruk tersebut muncul, sifat alami yang muncul dari dalam dirinya akan mencegah mereka untuk melakukan tindakan tersebut.
Pertanda lain orang yang masuk ke dalam tingkatan ini adalah semakin berkurangnya melakukan penghakiman, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Kita juga tidak lagi punya rasa iri hati atau sentiment, serta kita semakin jarang marah dan tidak puas, kalaupun masih ada muncul dalam jangka waktu yang tidak lama.
Kita mudah memaafkan dan memiliki rasa pengertian. Pada tingkatan spiritual yang kedua, selain memiliki semua ciri di atas, kita akan secara alami memiliki sikap welas asih dan kebaikan. Kita tidak lagi mementingkan diri sendiri dan lebih mementingkan orang lain.
Setiap kali bertemu dengan orang lain akan selalu memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk membantunya. Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat orang lain sejahtera.
Kita bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Serta kita memiliki kepekaan rasa dan keterhubungan. Artinya dalam perkataan dan perbuatan kita tidak hanya melihat dari sudut pandang orang lain. Pertanda lainnya adalah kita memiliki pikiran yang mudah istirahat, kita dapat merasa tenang dan damai terhadap semua pikiran dan perasaan yang muncul.
Kita tidak hanya tenang dan damai ketika muncul perasaan bahagia, tetapi kita juga tenang dan damai ketika muncul perasaan sedih, marah. Pikiran kita tenang melampaui semua bentuk-bentuk pikiran dan perasaan. Pertanda pada tingkatan spiritual yang ketiga adalah pencapaian kembali sempurnanya kesadaran Atman. Orang yang telah mencapai tingkatan ini telah mencapai kesadaran yang shanti.
Memiliki pikiran tersadarkan dan tidak dicengkeram berbagai kontradiksi yang ada di pikriannya. Apapun bentuk kontradiksi yang muncul dalam diri hanya disaksikan dengan senyuman dan penuh welas asih. Baikburuk, suka-duka, semua itu bukan kenyataan diri kita yang sejati.
Itu hanyalah sebatas wahana (kendaraan) yang kita pinjam selama kita ada di alam marcapada ini. Kemunculannya kita saksikan saja dengan penuh belas kasih dan tanpa penghakiman sama sekali. Sejatinya seorang pemenang ialah orang yang mampu berjalan dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya hingga mencapai tingkatan tertinggi.
Meski demikian, perlu diingat bahwa di jalan dhrama yang paling penting bukanlah secepatnya mencapai puncak kesadaran Atma tertinggi, tetapi yang terpenting adalah ketekunan kita untuk melaksanakan berbagai praktik sadhana sepanjang perjalanan kehidupan.
Sembahyang itu tidak boleh “kosong”. Ketika momen Galungan dan Kuningan tiba gunakanlah sebagai momentum untuk menemukan diri kita sudah sampai dimana perjalanan kita. Mari kita temukan diri kita, dan berjalan penuh ketekunan dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. *