

Festival Niti Raja Sasana Ditutup dengan Peragaan Busana Wastra Bebali Kuno

GIANYAR, diaribali.com – Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud Dr. Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana secara resmi menutup Festival Niti Raja Sasana yang berlangsung selama empat hari dari tanggal 20-23 Juli 2024.
Penutupan acara tersebut diisi dengan Peragaan Busana Wastra Bebali Kuno yang menampilkan belasan model berbalut kain tenunan tradisional Bebali yang berusia sekitar 80-100 tahun.
Hal itu bertujuan untuk melestarikan sekaligus meningkatkan literasi tentang warisan budaya tak benda.
Tjok Istri Ratna Cora selaku salah satu perancang dalam peragaan busana menyampaikan selain tentang pelestarian warisan budaya, makna dari peragaan busana wastra berguna untuk keberlanjutan. “Karena di masa kini ketika menyebut nama wastra Bebali, mungkin hampir sebagian orang tidak mengerti,” tandasnya.
Tjok Istri Ratna Cora yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denoasar ini mengatakan dalam gelaran tersebut berkolaborasi dengan Tjokorda Abinanda Sukawati (Cok Abi) untuk menampilkan ragam busana yang sarat dengan makna dan filosofi.
“Peragaan ini saya menyebutnya Tutur Bumi, yang berarti bentuk pemikiran dan ungkapan rasa terdalam tentang kehadiran entitas bernama manusia dalam alam semesta. Konsep penciptaannya terpantik dari salah satu tahapan siklus dalam upacara Nyambutin-atau upacara tiga bulanan kelahiran bayi bagi masyarakat Bali,” jelasnya.
Konsep penciptaan Tutur Bumi menurut Tjok Ratna teraplikasi dalam enam karya seni busana yakni Janma, Atharwa, Saktika, Rawikara, Taraka, dan Jarih.
Seni busana Janma yang dalam bahasa sansekerta berarti terlahir di dunia, menggambarkan sang bayi yang dilahirkan ke dunia dalam kesederhanaan yang utuh.
Karya Atharwa berarti mantra penolak bahaya yang diwujudkan dalam seni busana berupa susunan pola pada lembaran kain tenun. Sementara untuk Rawikara berarti berkas sinar matahari.
Lebih lanjut, seni busana Saktika berarti kekuatan spiritual yang dalam Bahasa Kawi terimplementasi dalam perisai diri manusia. Sedangkan konsep seni busana Taraka dan Jarih artinya berasal dari Bahasa Kawi yang berarti bintang dan mumi yang menginspirasi karya.
Tjok Ratna pun menegaskan melalui peragaan busana Tutur Bumi yang ditampilkannya, semoga dapat menunjukkan eksistensi wastra Bebali yang hampir sebagian masyarakat Bali sendiri tidak mengetahuinya.
“Sehingga ketika masuk ke ruang produksi, tidak hanya mengkopi atau membuat dengan tujuan orientasi bisnis saja. Tapi ada literasi dan makna yang terkandung di dalamnya,” tandas Tjok Ratna seraya menyebut kain tenun wastra Bebali yang biasanya digunakan untuk upacara, namun ketika belum masuk ruang sakralisasi atau belum disakralkan, maka otomatis karya ini bukanlah menjadi benda sakral.
Sementara itu, Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud selaku penyelenggara Festival Niti Raja Sasana, AAGN Ari Dwipayana, menyampaikan, bahwa melalui pagelaran busana wastra Bebali diharapkan sebagai pengingat terhadap karya luar biasa yang dimiliki para leluhur di masa lalu.
“Karena dari bentuk-bentuknya, kemudian jenis-jenisnya serta bahan bakunya, memiliki filosofi yang ternyata luar biasa,” kata Ari Dwipayana.
Ia pun berharap kain Bebali bisa tetap dilestarikan keberadaannya, sekaligus dipergunakam untuk kepentingan adat maupun hal-hal lainnya dalam kehidupan.
“Tentunya cara termudah yakni menampilkan dalam peragaan busana seperti ini, sehingga inspirasi dari kain Bebali dapat menarik minat banyak generasi muda,” pungkas pria yang menjabat Koordinator Staf Khusus Presiden RI tersebut. Zor