1000075388
AAN Eddy Supriyadinata Gorda

Pemilihan umum (Pemilu) selalu l menjadi momentum krusial dalam kehidupan demokrasi suatu negara.

Momentum tahun politik 2024 di Indonesia menciptakan antusiasme yang tinggi di kalangan masyarakat,
khususnya terkait dengan proses pemilihan presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif baru. Fokus utama saat ini adalah debat antara calon presiden dan calon wakil presiden.

Meskipun debat menjadi platform penting untuk pemahaman yang lebih baik terhadap pandangan para calon, namun melihat perkembangan yang terjadi, potensi polarisasi pandangan di tengah masyarakat sangat besar terjadi.

Faktor-faktor seperti retorika dan framing yang berbeda, pengaruh media sosial yang menciptakan filter bubble, polarisasi ideologis, dan sentimen identitas dapat menjadi pemicu perpecahan.

Pada saat demikian sebenarnya kedewasaan publik dalam proses politik sangat diuji. Debat capres dan
cawapres seharusnya tidak hanya dipandang sebagai pertunjukan “hiburan politik”, melainkan sebagai
kesempatan berharga bagi masyarakat sebagai pemilih untuk memahami secara mendalam visi, misi,
dan gagasan yang diusulkan oleh setiap kandidat. Visi-misi dan adu gagasan dari setiap kandidat bukan hanya menjadi agenda seremonial, melainkan menjadi modal bagi masyarakat untuk membuat
keputusan yang terinformasi dan berbasis pada pemahaman mendalam tentang rencana konkret yang ditawarkan oleh calon pemimpin.

Kedewasaan publik dalam menyikapi debat capres dan cawapres juga mencakup kemampuan untuk
memilah informasi dan mengenali retorika politik yang mungkin mengaburkan substansi. Masyarakat
sebagai pemilih perlu melibatkan diri dalam proses kritis untuk menilai keaslian dan kredibilitas setiap
gagasan yang diajukan. Dengan cara ini, debat bukan hanya menjadi ajang untuk mengukur kompetensi para calon, tetapi juga sarana untuk membentuk pemilih yang lebih cerdas dan kritis.

Masyarakat yang dewasa politiknya melihat debat sebagai peluang untuk mendengarkan dengan cermat,
memahami sudut pandang yang berbeda, dan meresapi ide-ide yang mungkin bertentangan dengan
keyakinan pribadi mereka. Mereka tidak terpengaruh oleh retorika yang merusak atau menciptakan ketidaksepakatan, melainkan lebih fokus pada substansi dan argumen yang diajukan.

Tri Pramana dan Kedewasaan Berpolitik
Memahami kompleksitas isu-isu politik dan menyikapi perbedaan dengan bijak memang bukan hal yang mudah. Dalam konteks ini, Tri Pramana sebagai filsafat Hindu yang mengacu pada tiga sumber
pengetahuan dapat diandalkan dapat membantu kita untuk bersikap lebih dewasa dalam berpolitik.

Pratyaksha (Pengamatan Langsung), masyarakat yang dewasa politiknya berusaha untuk melihat debat secara objektif dan mengamati dengan cermat argumen yang disampaikan oleh setiap kandidat.

Mereka tidak terjebak dalam persepsi yang sempit atau terpengaruh oleh retorika yang bersifat merusak.
Dengan prinsip pengamatan langsung ini, mereka menciptakan dasar pemahaman yang kuat tentang
substansi dari setiap pernyataan yang diutarakan dalam debat.

Anumana (Pemikiran Logis), dalam konteks pemikiran logis, masyarakat yang dewasa politiknya fokus
pada substansi dan argumen yang diajukan dalam debat. Mereka mampu menganalisis secara logis dan
kritis, tidak hanya menerima informasi secara pasif. Dengan menggunakan pemikiran logis, mereka
dapat memahami implikasi dan konsekuensi dari argumen yang diajukan tanpa terjebak dalam efek emosional atau perasaan subjektif.

Agama (Bukti Otoritatif),masyarakat yang dewasa politiknya mencari bukti otoritatif atau sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya. Mereka tidak hanya mempercayai retorika atau klaim tanpa bukti yang kuat. Dengan memeriksa fakta, mengonfirmasi informasi, dan memahami posisi dari sumber yang dapat dipercaya, mereka membangun keyakinan mereka berdasarkan bukti yang kuat.

Dengan mengintegrasikan prinsip Tri Pramana dalam partisipasi politik mereka, masyarakat yang dewasa politiknya dapat menciptakan lingkungan debat yang sehat. Mereka berkontribusi pada proses politik yang bermutu, di mana pemahaman mendalam dan penilaian rasional menjadi landasan bagi keputusan politik.

Selain itu, hal penting lain yang perlu dipahami terkait dengan kedewasaan berpolitik menyangkut pergerseran loyalitas. Pergeseran loyalitas dalam konteks pemilu merupakan fenomena di mana pemilih atau politisi mengubah dukungan mereka dari satu kelompok atau partai politik ke kelompok atau partai yang berbeda. Hal ini harus bisa dimaknai dengan pikiran terbuka dan merupakan sebuah hal yang wajar
terjadi. Fenomena ini bisa kita analogikan seperti Wibisana dan Kumbakarna.

Wibisana, dengan kebijaksanaannya memilih berpihak pada kebenaran dan keadilan, menciptakan analogi dengan individu yang melakukan pergeseran loyalitas karena pertimbangan moral dan integritas.

Ini mencerminkan tindakan dewasa politik, di mana keputusan didasarkan pada pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai politik dan keinginan untuk mendukung yang dianggap benar.

Di sisi lain, Kumbakarna, yang setia kepada Rahwana tanpa pertimbangan rasional, dapat menciptakan
analogi dengan loyalitas tanpa analisis atau tanpa kesadaran politik yang mendalam. Fenomena ini dapat
mencerminkan pemilih atau politisi yang mempertahankan dukungannya tanpa mempertimbangkan perubahan kondisi politik atau kinerja kelompok atau partai yang didukungnya.

Perlu dipahami bahwa pergeseran loyalitas bukanlah tindakan yang selalu bersifat negatif. Sebaliknya, hal tersebut bisa menjadi manifestasi dari kedewasaan politik, ketajaman analisis, dan respons terhadap dinamika politik yang terus berubah. Pemahaman atas fenomena ini dapat membantu masyarakat untuk menghargai proses demokratisasi dan perkembangan politik yang sehat.

Dengan demikian, melihat pergeseran loyalitas sebagai bagian alami dari perjalanan politik dapat membuka pintu untuk diskusi yang lebih matang tentang nilai-nilai politik, integritas, dan tuntutan etika dalam konteks pemilihan umum.

Sebagai bagian dari proses demokrasi, pergeseran loyalitas dapat menciptakan ruang untuk evolusi dan perbaikan yang berkelanjutan dalam sistem politik.

Pada tahap lebih lanjut masyarakat yang dengan kedewasaan politiknya dapat mengartikulasikan kebutuhan dan harapannya melalui pemahaman yang mendalam terhadap visi-misi, dan gagasan calon pemimpin, hal ini dapat memberikan pijakan kuat bagi pemilihan yang sesuai dengan kepentingan
bersama.

Oleh karena itu, tingkat kedewasaan publik dalam memandang proses politik sangat berperan dalam membawa perubahan positif bagi masyarakat dan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Dengan demikian, partisipasi aktif dan cerdas masyarakat sebagai
pemilih adalah kunci dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih baik. Pilihannya ada di tangan kita, menjadi Wibisana atau Kurawa?