Sumpah yang Tak Lagi Bertuah
SETIAP tahunnya ketika menapaki peringatan Hari Sumpah Pemuda, kesadaran bangsa seakan ditarik
mundur oleh ingatan bahwa pemuda menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah panjang
bangsa Indonesia. Berbagai acarapun dilaksanakan untuk mengingat peristiwa monumental tersebut.
Sayangnya, kini acapkali peringatan itu terasa kurang bergairah karena sebatas seremoni semata, tanpa
adanya pemaknaan lebih dalam.
Barangkali sebagian generasi muda kita mungkin tidak tahu apa Sumpah Pemuda itu.
Barangkali sebagian lagi sedikit tahu. Barangkali sebagian lainnya acuh tak acuh karena merasa hanya bagian dari
penggalan cerita dalam sejarah. Sumpah Pemuda yang seharusnya dapat mengisi kembali energi untuk
mempersatukan dan memberi arah pemuda untuk bergerak membangun negara seolah tak bertuah lagi.
Pada akhirnya, banyak pihak mulai mempertanyakan etos nasionalisme pemuda Indonesia.
Mengutip pandangan sejarawan JJ Rizal, setidaknya ada satu garis perbedaan mendasar antara
gerakan pemuda saat ini dan pra reformasi. Meski sama-sama dilakukan dalam konteks yang heterogen,
gerakan pemuda saat ini tidak lagi memiliki landasan ideologi dan cita-cita yang homogen.
Ini cukup berbeda dengan gerakan sebelumnya, khususnya sebelum kemerdekaan, saat para pemuda dibentuk
oleh suatu semangat yang sama tentang persatuan dan kemerdekaan di tengah ragam corak gerakan
yang muncul. Sebut saja dualime peran generasi muda dalam hal penanganan Covid-19.
Di satu sisi banyak pemuda yang terlibat aktif sebagai sukarelawan untuk menyosialisasikan penanggulangan wabah dan membantu masyarakat terdampak. Namun di sisi lain, rendahnya kepatuhan menjalankan protokol kesehatan
membuat kaum muda memiliki kontribusi yang besar dalam menyebarkan Covid-19.
Data di laman Covid-19 menyebutkan, penderita terbanyak justru berada pada usia muda. Penderita usia 31-45 tahun
dengan kisaran 30,9 persen. Kemudian disusul hampir seperempat masyarakat pada usia 19-30 tahun.
Adapun usia di atas 60 tahun hanya berada pada angka 10,4 persen.
Sejumlah konflik yang mengemuka mengatasnamakan agama, kelompok religius, atau suku tertentu
menjadi contoh lain bahwa saat ini pemuda Indonesia tidak lagi berangkat dari cita-cita yang sama.Beberapa survey dan kajian yang dilakukan terhadap pemuda Indonesia, juga turut memberikan gambaran yang kurang menyenangkan.
Survei global yang pernah dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) terhadap pemuda Indonesia. Dengan mayoritas responden adalah pelajar, diikuti oleh pekerja muda dan pemuda yang sekolah sambil bekerja mengungkapkan bahwa pemuda Indonesia belum siap untuk terus bekerja dan/atau belajar dari rumah.
Sekitar 76 persen dari mereka mengatakan
produktivitas mereka menurun. Bagi mereka yang bekerja, 53 persen mengatakan pendapatan mereka
berkurang karena 70 persen dari mereka harus bekerja dari rumah.
Sementara itu, hasil lain juga menunjukkan responden mengalami hambatan selama belajar dan/atau
bekerja dari rumah.
Beberapa kendala antara lain kurangnya kesempatan untuk berdiskusi secara interaktif, masalah koneksi internet, jam belajar dan kerja yang tidak pasti dan panjang, serta masalah keuangan untuk membayar biaya internet.
Belum lagi berkaca pada Indeks Pembangunan Pemuda yang masih menunjukkan tingkat ketercapaian
rendah. Capaian di bidang pendidikan belum diimbangi dengan capaian di empat bidang lainnya
(kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, serta
jender dan diskriminasi).
Dengan capaian terendah pada pembangunan lapangan dan kesempatan kerja, yaitu dari 40 persen menjadi 45 persen. Hal ini masih diperparah dengan sorotan berbagai pihak yang memandang pemuda Indonesia kurang
memiliki kepekaan dan kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan, serta penghargaan terhadap kearifan
lokal.
Harus diakui bahwa pasca-reformasi, di tengah perubahan peta ekonomi, sosial budaya, dan politik yang
kian dinamis, generasi muda Indonesia memang mengalami tantangan yang semakin kompleks.
Pandemi Covid-19 kian membuat tantangan ke depan semakin besar. Perubahan tersebut menuntut
sikap adaptif. Tanpa itu, sulit bagi para pemuda Indonesia untuk menjawab beragam persoalan ke depan.
Pemuda harus meninjau kembali perannya dalam mengawal kemerdekaan bangsa.
Dengan jumlah usia produktif mencapai 191,08 juta jiwa (70,72%), bonus demografi ini terlalu sayang
untuk dilewatkan.
Sinergi berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk membangun kembali pemuda
Indonesia. Membangun pemuda tidak hanya berarti membangun individu pemuda, tetapi juga
membangun lingkungan sekitar yang menjadi sumber penghidupan bagi mereka.
Oleh karena itu, pembangunan pemuda harus bersifat lintas bidang yang menyentuh aspek pendidikan, kesehatan,kesejahteraan, pekerjaan, partisipasi, politik, dan kesetaraan gender. Di sini peran niat dan kemauan
pemerintah akan sangat menentukan.
Semangat etos nasionalisme perlu dimunculkan dan terus dirawat secara berkelanjutan agar tidak mudah terdistorsi berbagai kepentingan.
Dalam kaitan ini, sebagai langkah pertama barangkali menegakkan kembali nilai-nilai dasar Pancasila dapat dimunculkan. Karena untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, kita perlu berangkat dari satu kesadaran bahwa kita berangkat dari satu ideologi yang sama. Pancasila harus menjadi nyata sebagai identitas pemuda Indonesia, dalam arah pembangunan, wawasan kebudayaan, dan dalam wawasan ideologis bangsa.
Pramoedya Ananta Toer pernah berpesan bahwa “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika
angkatan muda mati rasa, maka matilah semua bangsa.” Semoga secepatnya dapat ditemukan formulasi
strategi nasional yang dapat mengembalikan pemuda Indonesia kembali pada kesadarannya. Kesadaran
akan perannya sebagai pelopor, pembaru, dan pembangun bangsa. Jangan dibiarkan lagi tahun-tahun
kemerdekaan ini berlalu dengan sia-sia. Sumpah Pemuda harus menemukan kembali “kesaktiannya”.