Mewaspadai Ancaman Stress Bagi Pekerja Hybrid

AA Ngr Eddy Supriyadinata Gorda
Bagikan

COVID-19 telah memoderasi pergeseran lingkungan kerja dari fisik menuju ruang digital. Walau pun gejala penurunan telah terjadi dan banyak kalangan secara bertahap mulai kembali bekerja ke kantor, tidak sedikit organisasi lebih memilih pengaturan lingkungan kerja hybrid dengan menggabungkan lingkungan kerja fisik dan fleksibilitas kerja jarak jauh.

Sebut saja perusahaan besar seperti Twitter yang telah mengumumkan bahwa karyawannya akan bekerja secara virtual tanpa batas waktu. Selain itu, Mark Zuckerberg pemimpin Facebook juga memberikan kesempatan bekerja 50:50 antara rumah dan kantor dalam 10 tahun mendatang.

Pandemi seolah telah memberikan ruang baru bagi lingkungan kerja hybrid untuk menemukan esksistensinya. Model kerja hybrid sebenarnya jika mampu dikondisikan dengan baik dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi kejenuhan karyawan. Karyawan akan menyukai model ini.

Beberapa kajian yang telah dilakukan menunjukkan lebih dari 70 persen menginginkan opsi kerja jarak jauh yang fleksibel untuk menekan penyebaran pandemi. Meski demikian, jika manajemen “gagal” dalam mengkondisikan lingkungan Hybrid, konsekuensi yang dimunculkan oleh lingkungan kerja ini tidak bisa diremehkan, terutama berkaitan dengan ancaman stress yang mengancam para pelakunya.

Setidaknya ada dua hal utama penyebab stress dalam lingkungan hybrid yang perlu diwaspadai. Digital Exhaustion Data yang cukup mengejutkan diungkap oleh Microsoft pada 22 Maret 2021 lalu. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 30 ribu orang di 31 negara, termasuk Indonesia diketahui sebanyak 54% karyawan merasa terlalu banyak bekerja sejak pandemi.

Hal ini terlihat dari intensitas digital pekerja yang meningkat drastis. Selama periode Februari 2020-2021, layanan konferensi video microsoft 365 melonjak sebesar 148%. Begitu pula pada layanan dokumen dan obrolan yang naik hingga 66% dan 45% selama periode yang sama.

Akibat tingginya intensitas digital tersebut, sebanyak 39% responden mengatakan mereka mengalami kelelahan digital (digital exhaustion). Di antaranya yakni karena terlalu banyak rapat vistual, pesan chat setelah jam kerja, jumlah email yang masuk, serta jumlah dokumen yang harus dikerjakan meningkat. Temuan menarik lainnya diungkap oleh Suruchi Pandey dan Anamika Pandey pada September 2021 yang mengungkap masalah infrastruktur saat bekerja dari rumah menambah tingkat stress.

Kurang memadainya perangkat yang dimiliki oleh pekerja di rumah membuat komunikasi dan rapat yang dilaksanakan dalam ruang virtual seringkali mengalami gangguan dan tidak dapat berjalan dengan maksimal. Barangkali hal ini dengan mudah bisa kita refleksikan dengan keseharian kita saat bekerja secara virtual.

Bagaimana sulitnya memahami pesan yang disampaikan oleh atasan atau rekan kerja ketika bandwith sedang low atau gangguan signal. Tidak mengherankan bila kemudian penelitian Gartner menunjukkan bahwa karyawan yang mengalami gangguan digital tingkat tinggi, 1,32 kali lebih mungkin merasa terkuras secara emosional dari pekerjaan mereka. Artinya, secara tidak langsung mereka memiliki tingkat stress lebih tinggi.

Digital Gap Tekanan ditambah lagi dengan adanya digital gap yang terjadi antargenerasi. Dalam komunitas digital semua menjadi “umur” yang sama dalam berkomunikasi. Keterampilan dalam menggunakan teknologi dipaksa homogen. Generasi baby boomer dan Gen X perlu dengan cepat melakukan reskilling kemampuan dalam menggunakan Teknologi Informasi (TI) jika tidak mau ditinggal oleh Gen millennial atau Gen Z.

Hal ini menjadi berat karena kecepatan belajar seseorang cenderung berbeda sedangkan perubahan terjadi dengan begitu cepat secara konstan. Bagaimanapun juga lingkungan kerja hybrid bukan “panadol” yang bisa meredakan berbagai macam penyakit. Di dalamnya terdapat banyak tantangan yang harus dijawab.

Lebih dari sekadar agar pihak manajemen peduli dengan kesejahteraan mental karyawan mereka, tetapi karena kelelahan dan stres yang disebabkan oleh kondisi kerja baru ini memiliki efek “riak” di seluruh organisasi. Menciptakan budaya kerja yang mendorong kecepatan dan daya tanggap tinggi dengan mengorbankan kesehatan karyawan pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dihasilkan.

Puncak pimpinan organisasi harus menangani masalah ini secara serius. Banyak pihak menganjurkan untuk menerapkan apa yang disebut dengan ‘manajemen berbasis empati’. Pada masa pra-pandemi, manajemen organisasi bisa melihat ketika karyawan sedang bekerja dan berjuang untuk memenuhi target.

Sekarang, dalam lingkungan hybrid, hal ini menjadi tidak begitu jelas. Ketika menerapkan ‘manajemen berbasis empati’, pendekatan ini berdampak besar pada kepercayaan manajemen organisasi kepada karyawan.