Suka-Duka Kusir Dokar

Ketut Nedeng mempersiapkan kuda dan armada dokar sebelum berangkat ke pangkalan.
Bagikan

DENPASAR-DiariBali

I Ketut Nedeng begitu bangganya memperlihatkan piala setinggi 50 cm dan berat 3 kg kepada awak DiariBali.Com yang menyambangi rumahnya, di Jalan Nangka Selatan, Gang Nuri X, Denpasar Utara, Kota Denpasar, Selasa (18/5/2021). Di dinding rumah berwarna putih itu, terlihat puluhan piala tanda juara, juga setumpuk piagam penghargaan.

Namun, Nedeng memilih menurunkan piala terbesar dan terberat koleksinya. Tubuh gempalnya sempat kesulitan menurunkan piala yang tertancap paku di dinding, hingga harus dibantu dengan kursi penyangga.

 I Ketut Nedeng menunjukkan Piala sebagai Juara Lomba Dokar Hias menyambut HUT ke-50 ABRI tahun 1995.
I Ketut Nedeng menunjukkan Piala sebagai Juara Lomba Dokar Hias menyambut HUT ke-50 ABRI tahun 1995.

“Piala ini saya dapatkan saat HUT ABRI tahun 1995 di Kodim Badung. Saya juara lomba dokar hias dengan rute dari Kuta, Badung ke Alun-alun Kota Denpasar,” kenang Nedeng sambil meniup debu yang menutupi bagian luar piala berwarna keemasan itu.

Nedeng adalah salah satu kusir dokar yang cukup “legend’ dan berprestasi di Kota Denpasar. Sejak tahun 1975, ia meninggalkan kampung halamannya, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangesem untuk merantau ke Kota Denpasar.

Ingatannya masih segar, tahun itu, seharusnya ia naik ke kelas dua sekolah dasar (SD), namun ia gagal naik kelas. Keputusannya merantau ke ibu kota juga bentuk pelapiasan kekecewaannya tertinggal di kelas satu SD.

Lelaki yang tidak tahu persis tahun kelahirannya ini menyetujui permintaan awak DiariBali.Com naik ke dokarnya. Nedeng mulai menyiapkan kuda Sumbawa yang baru 15 bulan dibelinya seharga Rp 32 juta. Kuda berwarna cokelat pekat hasil peremajaan kuda sebelumnya itu dititipkan di lahan kosong milik tetangganya, sementara dokar-nya diparkir di halaman rumahnya.

Roda pedati mulai berputar pelan membelah ruas Jalan Nangka Selatan menuju Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung atau tersohor dengan nama Lapangan Puputan Badung. Mulut kuda kesayangannya mulai mengeluarkan liur bak busa. Otot-otot kakinya seolah berkompetisi dengan kuda-kuda besi roda dua dan empat pabrikan Jepang.

Nedeng menceritakan suka-dukanya selama menekuni profesi sebagai kusir dokar selama 45 tahun lamanya. Jika ditanya, siapa cinta pertamanya? Dia tak ragu menjawab “Dokar”. Dokar memang tak bisa lepas dari kisah hidup bapak dua anak ini.

Setibanya di Denpasar tahun 1975 silam, ia langsung bergelut dengan kuda dan dokar.
Tanpa berbekal selembar ijazah, Nedeng tahu diri. Ia tak mungkin diterima bekerja di perusahaan formal. Sehingga ia memilih pekerjaan sebagai penjual rumput untuk pakan kuda.

Pelanggan pertamanya tidak lain adalah pamannya sendiri yang telah lebih dulu menjalani profesi sebagai kusir. Lalu, Nedeng diajari cara memandikan dan merawat kuda.

Lama-kelamaan, Nedeng dilatih mengendalikan kuda di jalan raya. Setelah merasa cakap, ia diberikan kesempatan menjadi kusir cadangan dengan tugas utama mengatarkan pedagang sayur ke pasar Badung.

Berkat kecintaan dan ketekunannya, dalam waktu singkat, Nedeng berhasil membeli seekor kuda seharga Rp 60 ribu. Sementara untuk dokar, dibelikan oleh pamannya seharga Rp 75 ribu.

“Rasanya seperti mimpi. Punya satu set dokar dengan jaran (kuda) waktu itu, saya merasa jadi orang kaya,” kenangnya sembari mengatur laju kuda dengan tali karet panjang di genggaman jemarinya.

Kebahagiaan Nedeng kian membuncah karena hasil yang didapatkan dari menarik dokar sangat melimpah. Setiap hari rata-rata ia mengantongi Rp 3000. Jumlah yang cukup besar saat itu. Bahkan mengalahkan rata-rata gaji pegawai kantoran.

Era 1980-an, dokar memang menjadi ‘raja trasportasi’ jarak dekat, terutama oleh para pedagang di pasar-pasar besar perkotaan. “Saingannya Cuma bemo roda tiga,” kata Nendeng tersenyum simpul.

Nedeng mulai kewalahan akibat membludaknya pelanggan. Ia memutuskan membeli seekor kuda lagi di Surabaya lewat rekannya. Dua ekor kuda Sumbawa itu operasikan pagi-sore bergiliran. Rupanya, dua ekor kuda masih kewalahan. Ia kembali membeli dua ekor lagi. Tak berlebihan dia sempat dijuluki “Bos Jaran” oleh teman-temannya.

Berkat bantuan empat kudanya, Nedeng sanggup membeli sebidang tanah seluas 1,3 m2 tahun 1990-an seharga Rp 3,6 juta, meski dengan cara mencicil. Rumah itu lah yang menjadi hunian tetapnya di ibu kota beserta keluarganya. Memiliki rumah sendiri, tentu menjadi simbol “kesuksesan” kaum perantau.

Yang kekal adalah perubahan. Memasuki era millennium 2000-an, kendaraan roda empat jenis pick up, juga sepeda motor mulai menguasai jalanan. Dokar-dokar itu mulai tersisih, karena pelanggannya beralih menggunakan moda transportasi bermesin. Mau tak mau, suka tak suka, para kusir harus berlapang dada menerima perubahan.

Di satu sisi, tempat mencari pakan kuda semakin sulit akibat gencarnya alih fungsi lahan di Kota Denpasar. Lahan-lahan kosong tempatnya menyabit rumput, kini disulap menjadi gedung-gedung perkantoran megah, pertokoan, garase sewaan hingga bisnis kost-kostan yang menggiurkan tuan tanah.

Satu-persatu Nedeng menjual kudanya hingga akhirnya berjumlah satu ekor saja. Hal yang sama juga dialami puluhan kusir lain. Bahkan, banyak yang beralih profesi. Namun tidak demikian dengan Nedeng, ia berkomitmen sepanjang hidupnya tetap menjadi seorang kusir, sebuah profesi yang telah berjasa mensejahterakan kehidupannya dan keluarga, dan yang terpenting, dia bisa menyekolahkan anak dari hasil dokar.

Sebuah cita-cita luhur karena ia tak mau dua buah hatinya menjadi orang tidak berpendidikan seperti orangtuanya.
Di tengah sepinya penumpang, Pemerintah Kota Denpasar menghembuskan angin segar.

Wali Kota IB Rai Dharmawijaya Mantra menelurkan kebijakan setiap kusir dokar yang mangkal di ibu kota diberikan insentif sebesar Rp 2.400.000 setiap bulan, agar dokar sebagai moda transportasi bersejarah tetap lestari keberadaannya.

Insentif sebesar itu diberikan Pemerintah Kota Denpasar untuk mengganti penghasilan kusir dokar setiap Sabtu-Minggu. Dengan demikian, warga kota yang ingin menikmati sensasi naik dokar mengelilingi Kota Denpasar tidak dipungut biaya alias gratis. Di luar hari tersebut, kusir dokar dipersilakan menarik ongkos sesuai tarif yang disepakati organisasi.

Nedeng mangaku bersyukur diberikan kesempatan menjadi seorang kusir dokar di bumi ini. Meski sebagai orang kampung yang tak berpendidikan, beberapa kali dia berhasil duduk dengan pejabat penting, seperti wali kota hingga istri gubernur Bali pada kesempatan even-even besar. Tentu, bagi orang sekelasnya, momentum ini menjadi kebanggaan tersendiri.

Ia juga didapuk mengisi jabatan-jabatan penting di organisasi per-dokar-an di Kota Denpasar. Bukan karena ia pintar atau berpendidikan tinggi, namun karena totalitasnya mencintai profesi. Dari Nedeng, kita semua belajar bagaimana merawat kesetiaan terhadap satu pilihan profesi, tidak mudah goyah ketika tawaran lain menggoda yang belum tentu lebih baik. (TIM)