Nyepi dan Sepi

eddy gorda
Bagikan

Heterogenitas kultural telah lama menjadi kekuatan masyarakat Bali untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan dalam hidup. Tradisi dan ritual berkembang menjadi seperangkat nilai dan medium untuk melakukan kontemplasi dan perubahan diri menuju ke arah yang lebih baik.

Demikian pula dengan dengan peringatan Nyepi, tahun saka 1945 yang jatuh pada Rabu, 22 Maret 2023 lalu. Meski demikian, menilik perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi belakangan, muncul pertanyaan menarik, entah sudah berapa kali perayaan Nyepi kita lewati, mengapa kualitas diri kita tidak bertambah baik?


Tidakkah ada sesuatu yang keliru atas apa yang telah dilakukan selama ini? Melaksanakan tradisi memang penting, tapi tampaknya pemaknaan kembali akan nilai Nyepi menjadi hal yang lebih penting.
Lebih dari sekadar sepi, Nyepi mengandung esensi makna yang dalam. Sejak dimulai tahun 78 Masehi, rangkaian pelaksanaanya dipahami sebagai jalan untuk menjaga keseimbangan bhuana agung (bumi dan ekosistemnya) dengan bhuana alit (manusia).

Keseimbangan tersebut diperoleh dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, semadi yang dikenal dengan catur brata penyepian. Tidak menyalakan api (amati geni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian kemana-mana (amati lelungaan), dan tidak menikmati kesenangan (amati lelanguan) merupakan empat laku spiritual yang dijalankan seharian sipeng (sepi).


Berbekal niat yang kuat dan tulus ikhlas semua dijalankan untuk menarik diri dari kebisingan dan masuk ke dalam keheningan (sepi). Kebisingan tidak hanya merujuk pada suara. Dalam arti yang lebih luas, kebisingan adalah semua keriuhan tak berarti yang terjadi di sekitar kita pada waktu tertentu.

Dalam kehidupan kita yang modern, bergejolak, dan sibuk, ada cahaya, suara, bau, dan pengalaman yang konstan yang menghasilkan stimulasi sensorik yang berlebihan. Selalu ada dasar kebisingan yang tak henti-hentinya, tetapi kita cenderung tidak menyadarinya karena terasa begitu normal.


Ketika keheningan (sepi) itu tercapai, disanalah kita akan mulat sarira, kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tinggi. Dengan sendirinya manusia akan berkontemplasi, melakukan perenungan atas apa yang telah dilakukan. Menyadari, semua keberhasilan dan kegagalan, serta hal-hal yang belum dicapai. Memperbaiki diri menjadi versi yang lebih baik dan siap menghadapi tantangan di masa mendatang.


Jika boleh melakukan autokritik, apa yang kita lakukan selama ini tampaknya hanya menjalankan ritus “sepi” belum memasuki Nyepi yang sesugguhnya. Betapa tidak, saat ini dengan mudah kita temukan orang berlomba-lomba dengan bangganya memamerkan kemewahan, bahkan tidak jarang kekayaan tersebut didapatkan dengan cara-cara koruptif.

Kasus seperti ini tidak berkurang, makin lama kian merajalela. Kemewahan tersebut kerap dipamerkan di media sosial di tengah kesenjangan ekonomi yang terjadi. Aksi pamer kemewahan ini bahkan sampai juga diikuti oleh generasi muda dan telah menjadi kebiasaan banyak orang. Manusia terpesona dengan segala kenikmatan yang diperoleh oleh panca indria. Padahal sebenarnya semua kenikmatan itu bersifat semu (maya) dan palsu.


Belum lagi jika kita bicara mengenai aksi kekerasan. Kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan, semua realitas sosial ini seolah melekat pada kehidupan saat ini dengan berbagai motifnya, dan bahkan justru banyak dilakukan oleh kalangan pemuda. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020 mencatat bahwa setiap tahun terjadi 200.000 pembunuhan anak muda usia 12-29 tahun. Ada 84 persen kasus melibatkan laki-laki usia muda atau remaja laki-laki. WHO menyatakan kekerasan pada anak muda menjadi isu kesehatan global yang harus mendapat perhatian serius.


Becermin dari beberapa kasus yang terjadi tidakkah yang salah dengan Nyepi yang kita lakukan selama ini?. Dalam kitab suci Yayur Weda XIX.30 jelas dinyatakan bahwan: Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.


Bila diterjemahkan secara bebas sloka tersebut bermakna seseorang yang menjalankan praktik bratha (asketisme), maka ia bisa mencapai Diksa, yaitu penyucian diri. Sementara dengan Diksa, seseorang akan mencapai Daksina, yaitu kehormatan. Dan dengan Daksina seseorang mencapai Sraddha, yaitu keyakinan. Dan melalui Sraddha, orang dapat mencapai kebenaran sejati. Dengan kata lain kesucian, kemulian, kehormatan, kebenaran, dan penyucian dirilah yang sejatinya didapat seseorang ketika menjalankan catur brata penyepian. Jika dilakukan secara mendalam dan penuh sungguhsungguh.Bukan justru malah mempertajam laku perbuatan yang adharma.


Bersama mari kita kembali memaknai Nyepi dengan lebih baik. Keheningan yang dibawa Nyepi harus mampu kita gunakan untuk membuka dialog spiritual dengan Hyang Widhi. Melakukan introspeksi diri, membuka cakrawala lebih sensitif pada keadaan sekitar. Mengendalikan enam musuh (sad ripu) atau sifat negatif yang ada pada diri. Kama (hawa nafsu), lobha (serakah), krodha (amarah), moha (kebingungan), mada (mabuk), dan matsarya (iri hati) sudah selayaknya kita kendalikan supaya tidak menjadi boomerang dan berbalik menyerang diri sendiri.


Jalan perubahan selalu terbuka lebar bagi mereka yang bertekad. Mari kita perbaiki laku spiritual kita selama ini, sepi dan Nyepi harus mampu kita bedakan. Perayaan Nyepi akan lebih bermakna jika dapat diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas diri, kedamaian hati, bumi, dan seluruh elemen lapisan alam semesta. Hal ini bisa menjadi salah satu kunci lahirnya kehidupan yang lebih beradab dan fondasi kehidupan bermasyarakat serta bernegara yang lebih kuat. Sampai bertemu pada Nyepi tahun saka 1946. Semoga saat ini kita bisa menjalankan Nyepi bukan sepi.