Menyigi Ulang Fondasi Sense of Belonging bagi Pekerja Hybrid
PANDEMI Covid-19 telah memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah. Bekerja secara virtual seolah telah
menemukan ruang keberadaannya yang baru. Organisasi baik sektor publik maupun privat “dipaksa”
untuk memikirkan cara agar karyawan tetap produktif dengan bekerja dari rumah.
Setelah hampir dua
tahun bekerja jarak jauh, banyak organisasi pada akhirnya mulai memikirkan kembali model kerja
tradisional yang dijalani sebelum pandemi. Manajemen organisasi mulai mempertimbangkan untuk
mendesain ulang ruang fisik untuk mengakomodasi lingkungan kerja hybrid dengan lebih baik.
Di tengah
ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi, tampaknya ruang kerja hybrid menjadi sebuah keniscayaan.
Meski demikian, bekerja di lingkungan hybrid menghadirkan banyak tantangan, terutama berkaitan
dengan sense of belonging.
Sebagai mahluk sosial, setiap orang perlu merasa diterima, disertakan,
didengar, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Ketika karyawan
mengalami transisi bekerja dari kantor ke bekerja dari rumah, tentu hal ini menimbulkan tekanan yang
kuat.
Rasa sedih dan rindu muncul karena tidak bisa lagi berinteraksi sosial sehari-hari dengan rekan-
rekan mereka, baik untuk membangun persahabatan maupun untuk mendapatkan masukan dari para mentor atau para senior. Terlebih bagi mereka yang baru saja bergabung.
Disadari atau fenomena tersebut perlu mendapat perhatian lebih oleh tim manajemen.
Bagaimana tidak?
Keberadaan sense of belonging memiliki peran besar untuk memotivasi seseorang untuk terlibat dalam
sebuah organisasi. Bahkan sebuah kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa karyawan dengan
sense of belonging yang kuat enam kali lebih mungkin untuk terlibat daripada mereka yang tidak.
Artinya,
ketika karyawan merasakan sense of belonging yang kuat di tempat kerja, mereka enam kali lebih
mungkin untuk memberikan yang terbaik dari diri mereka untuk bekerja dan melakukan pekerjaan. Selain
itu, keterlibatan yang lebih besar juga dapat mendorong kesuksesan individu dan organisasi yang lebih
baik.
Fakta di atas kemudian memunculkan pertanyaan, Bagaimana organisasi memelihara dan mendorong
sense of belonging di lingkungan kerja yang hybrid? Dengan begitu banyak karyawan yang sekarang
bekerja dari jarak jauh dan terputus dari pusat sosial kantor, tidak mengherankan jika ada perasaan
terputus.
Menurut penelitian terbaru dari Forbes, 20% karyawan yang bekerja jarak jauh mengatakan
bahwa mereka tidak memiliki sense of belonging selama pandemi. Sementara penelitian lain pada tahun2020 menunjukkan bahwa sense of belonging menjadi 12% lebih penting bagi kebahagiaan karyawan
selama COVID-19. Ini adalah masalah yang mendesak untuk ditangani.
Menumbuhkan kembali sense of belonging bagi pekerja hybrid bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Budaya organisasi dapat berevolusi sesuai dengan kondisi. Namun, hal ini juga tidak mudah untuk
dilakukan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu ditumbuhkembangkan ketika membentuk fondasi
budaya yang baru di lingkungan kerja hybrid.
Secara positif, implementasikan Tat Twam Asi. Tat Twan Asi mengajarkan kita bahwa, “Ia adalah
kamu, saya adalah kamu dan semua makhluk adalah sama.”. Dengan memberikan pemahaman ini
organisasi dapat meningkatkan rasa peduli antar karyawan untuk menciptakan sense of belonging.
Dalam lingkungan kerja tradisional, karyawan dapat saling menunjukkan kepedulian dengan berhenti di
meja rekan kerja untuk menyapa, makan siang bersama, atau menyiapkan acara sosial dengan tim.
Sayangnya hal ini sering diabaikan dalam dunia virtual. Menciptakan virtual touch-points dan komunikasi
virtual menjadi sangat penting untuk menunjukkan rasa peduli di lingkungan hybrid. Misalnya dengan
mensimulasikan berbagai interaksi video reguler, seperti permainan tim, makan siang virtual bersama,
atau sekadar ngobrol sambal minum kopi bersama secara virtual.
Virtual touch-points penting untuk
menciptakan waktu dan ruang bagi para pekerja untuk tetap terhubung satu sama lain, mengajukan
pertanyaan, menyuarakan keprihatinan (baik pribadi maupun profesional), dan berbagi ide.
Jalankan prinsip pang pade payu, fokuskan pada ketercapaian tujuan organisasi. Berikan kebebasan
dan fleksibilitas kepada karyawan untuk tetap menjalankan kewajibannya. Tetapkan target yang jelas.
Jangan mengurangi hak yang harus diterima oleh karyawan. Konsep ini harus dikuatkan agar
kenyamanan pribadi dan kenyamanan organisasi dapat berjalan seimbang.
Kenyamanan yang terbentuk
pada tahap selanjutnya akan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, dimana karyawan merasa
dihormati dan diperlakukan secara adil. Organisasi dengan budaya inklusif cenderung mencapai hasil
bisnis yang lebih baik, berkinerja tinggi, dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi inovatif
dan gesit.
Pahami bahwa trust, menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ketika karyawan bekerja dari rumah,
kepercayaan itu penting. Pekerja tidak dapat mengandalkan diskusi yang mendadak, bahasa tubuh, dan
pertemuan langsung untuk menyampaikan pesan atau memberikan umpan balik. Ketika pekerja merasa
dapat mengandalkan anggota tim mereka, mereka lebih mungkin berkembang di rumah daripada mereka
yang tidak merasa dapat mempercayai rekan kerja.
Covid-19 telah menjungkirbalikkan kehidupan kerja dan pribadi hampir dalam semalam, dan semakin
penting bagi organisasi untuk menjembatani kesenjangan dengan karyawan mereka dan membuat
mereka merasa dihargai sebagai individu. Barangkali Ini adalah kesempatan baik yang diberikan oleh
semesta untuk mulai mengevaluasi dan mengembangkan kembali strategi untuk menciptakan sense of
belonging di tempat kerja.
Dampak virus mungkin akan terasa selama bertahun-tahun yang akan datang -bahkan ketika vaksin dikembangkan. Mulai membangun fondasi sense of belonging akan membantu organisasi menghasilkan kepercayaan, keterlibatan, dan dedikasi dari karyawan pada saat yang paling
dibutuhkan, dan mulai meletakkan dasar untuk kesuksesan organisasi kelak ketika platform hybrid
menjadi sebuah budaya baru.