Katanya vs Faktanya

diari bali - Eddy Gorda
AA. Ngurah Eddy Supriyadinata Gorda

Optimisme akan masa depan yang cerah dan lebih baik selalu menjadi kunci dalam menjalani tahun yang baru. Semua orang dalam resolusinya mengharapkan hal-hal baik terwujud dalam kehidupan.
Di tengah isu resolusi global yang semakin gencar, tahun 2023 menjadi tahun penting untuk merekonstruksi pandangan kita terhadap sejumlah realitas yang kita hadapi untuk membangkitkan pemahaman dan kesadaran sebagai pijakan untuk melakukan perubahan secara progresif.
Berbeda dengan Jepang yang menghadapi persoalan dan tantangan demografi, yakni jumlah penduduk yang menyusut serta populasi yang menua.


Katanya, Indonesia sekitar satu windu ke depan, akan menyambut puncak bonus demografi, saat jumlah penduduk usia produktif diprediksi mencapai dua kali lipat dibandingkan penduduk usia anak dan lanjut usia.

Baca juga HUT Ke-54 Perdiknas “Cinta Itu Bersyarat”

Produktivitas nasional yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi diramalkan akan meningkat dan Indonesia diprediksi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2030. Faktanya, harapan ideal tersebut semakin sulit untuk diraih di tengah berbagai tantangan yang menghimpit.
Dari sudut pandang kesehatan. Katanya, “Tanah kita tanah surga, tongkah kayu dan batu jadi tanaman”. Faktanya, hasil studi Status Gizi Indonesia 2021 mencatat kurang lebih 1 dari 4 anak balita Indonesia mengalami tengkes.


Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger) berupa defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat mikro lainnya. Tengkes berpotensi mendatangkan impact berlipat karena mengganggu perkembangan otak anak hingga mengancam raihan produktivitasnya ketika dewasa.
Dengan kata lain, tengkes menyebabkan rendahnya produktivitas kerja. Semakin rendah produktivitas, semakin rendah pendapatannya. Sulit membayangkan raihan bonus demografi diperoleh dengan kualitas SDM yang demikian.

Baca juga SMK Teknas Hadirkan 2 Tokoh Perempuan pada Talk Show “Menuju Generasi Cerdas dan Kompetitif”

Dari sisi pendidikan. Katanya “Pendidikan adalah kunci kemajuan suatu negara”. Faktanya, pendidikan Indonesia hingga saat ini belum memiliki peta jalan, visi, dan misi yang jelas. Mendekati tahun politik 2024, banyak akademisi khawatir pergantian rezim pemerintahan di Indonesia juga akan membawa perubahan pada Kurikulum Merdeka.


Hal ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi, setiap pergantian pemerintahan selalu memunculkan kebijakan dan perubahan kurikulum yang baru. Sehingga muncul adagium “ganti menteri ganti kurikulum”. Model kurikulum yang selalu berganti tidak hanya memuncukan kebingungan guru dalam impelementasinya di lapangan, tetapi juga meunculkan peluang terbukanya “gap” akibat perbedaan pemetaan pengetahuan dan keterampilan yang diberikan kepada siswa.

Baca juga FP Unwar Gelar Yudisium Ke-70, Lulusan Diminta Jadi Job Creator

Berkaca pada negara-negara yang memiliki pendidikan maju, kurikulum tidak mudah untuk diganti. Pergantian kurikulum diproses secara matang melalui sebuah komite khusus. Kita sudah terlalu
lama mencari cari bentuk yang ideal. Sudah saatnya kita memikirkan matang-matang “google map” pendidikan yang membawa perubahan kualitas SDM secara berkelanjutan. Masih banyak PR yang harus diselesaikan, skor PISA kita masih tertinggal, belum lagi masalah degradasi karakter.


Dari sisi perkembangan teknologi digital. Katanya “pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia.
Faktanya ”masih ada sejumlah wilayah yang berada di kawasan 3T di Indonesia yang hidup dengan listrik dan sinyal yang minim”.

Baca juga Prof. Arnawa Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Pertama di UPMI

Banyak guru-guru di daerah tersebut harus berjuang berjalan puluhan kilometer dan menaiki gunung hanya untuk memastikan komputer atau laptop yang mereka pakai mendapatkan sinyal.
Kesenjangan ini membawa konsekuensi logis akan adanya perbedaan tingkat penguasaan teknologi dan literasi digital yang dimiliki antara masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia. Akselerasi dan pemerataan teknologi pendidikan menjadi kebutuhan dan keharusan ke depan.


Lebih dari hanya sekadar memberikan pemerataan akses teknologi digital, pengembangan materi pembelajaran secara digital yang dapat memacu kecintaan belajar dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa perlu mendapatkan perhatian serius.


Selain itu, pelatihan guru untuk memperkuat pembelajaran berbasis digital. Secara keseluruhan ekosistem belajar digital di Indonesia perlu dibehani untuk menciptakan SDM yang kompetitif dan agile di tengah perkembangan teknologi yang demikian dinamis.

Baca juga Hut Ke-52 Asita Dirangkai dengan Rakerda

Dari sisi kehidupan sosial. Katanya “Indonesia dianggap sebagai negara paling toleran di dunia”. Faktanya “bibit intoleransi dapat kita lihat tumbuh subur di lembaga-lembaga pendidikan”.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2017, misalnya, menunjukkan bahwa 43,88% dari 1.859 pelajar SMA yang menjadi responden penelitian ini cenderung mendukung tindakan intoleran dan 6,56% mendukung paham radikal keagamaan.


Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian tersebut, studi yang dilakukan oleh Suyanto dkk pada tahun 2019 dari FISIP Universitas Airlangga menemukan di kalangan pelajar, sikap dan perilaku intoleransi di berbagai sekolah telah berkembang dalam skala yang cukup meresahkan.


Sekolah tidak hanya menjadi tempat bagi pelajar untuk belajar dan menuntut ilmu demi masa depannya, tetapi juga menjadi ruang bagi terjadinya infiltrasi pengaruh buruk dalam pergaulan sosial terhadap sesama pelajar. Secara sosiologis, tindakan intoleransi menjadi salah satu ciri “masyarakat yang tidak sehat”. Dengan kondisi masyarakat demikian bayang-bayang bonus demografi menjadi semakin kabur.
Barangkali beberapa hal di atas hal sebagian kecil dari banyak hal yang perlu kita pahami dan sadari dalam menapaki gerbang tahun 2023. Sesungguhnya masih banyak lagi fakta yang perlu kita gali di balik serangkaian kata “katanya”.

Baca juga Dewa Indra Minta Bulan Bahasa V Lebih Menarik

Dengan merefleksikan diri pada realitas yang belum tercapai kita dibawa pada kesadaran bahwa banyak hal yang harus kita benahi untuk mencapai impian bangsa Indonesia yang lebih besar dan maju dengan memanfaatkan bonus demografi.


Ini adalah masalah kita bersama, jadi mari kita berjuang bersama. Jangan sampai impian Indonesia yang lebih besar dan lebih baik berakhir dengan kata “katanya” bukan “faktanya”.