Tipat Serapah Be Cundang! Berdiri 1992, Nikmatnya hingga 2022
KARANGASEM, diaribali.com-Lokasi strategis di pinggir jalan raya tidak menjamin kesuksesan sebuah usaha kuliner. Sebab, kuliner menyangkut rasa yang tak bisa diungkap dengan kata. Jika rasa sudah “mak nyus” di lidah konsumen, meski pun di lorong sempit tetap diburu.
Ni Wayan Asih meyakini betul prinsip itu. Ibu empat anak, pemilik warung tipat serapah khas Angantelu ini mulai berjualan tahun 1992 atau 30 tahun lalu.
Warungnya ini tak pernah sepi pembeli. Ia buka pagi dan sore hari. “Kalau pagi buka jam 7 dan sorenya jam 5,” kata Asih belum lama ini di warungnya.
Setiap kali buka, maksimal dua jam dagangannya ludes terjual. Telat sedikit saja, calon pembeli siap-siap menelan kekecewaan.
Lokasi warung tipat serapah atau tipat santan ini cukup sulit dijangkau bagi warga luar Desa Antiga, Manggis, Karangasem, khususnya lagi warga di luar Banjar Kelod.
Bagi calon pengunjung yang belum tahu tempatnya, bisa memakai patokan di pertigaan (jebag) Desa Antiga dekat SMPN 3 Manggis. Kemudian masuk gang ke arah timur, lurus 200 meter, belok kiri.
Rumah berpagar coklat kehitaman itulah tempatnya di sebelah kanan. Tidak ada papan nama atau ciri yang menandakan sebuah warung. Ukuran warungnya saja sangat sempit, sekira 3×1,5 meter.
Kembali ke urusan menu. Asih dibantu putri ketiganya ini menyediakan menu utama tipat serapah yang penampilannya serupa tapi tak sama dengan blayag khas Buleleng.
Dalam satu porsi, tipat disiram dengan santan kental dilengkapi sayur urab mentimun dan toge. Yang paling didambakan pembeli adalah potongan daging cundang dibentuk sate dan potongan daging berbumbu pedas. Sambal “uyah emba” menjadi pelengkap menu.
Bagi yang tidak ‘doyan’ tipat, bisa diganti dengan nasi. Harganya sama, mulai Rp 5.000 per porsi. Itu pun termasuk gratis air minum jika makan di tempat.
Meski pun laris, Asih mengaku tak bisa setiap hari menyediakan be cundang. Be cundang atau ayam yang tewas di medan pertempuran “tajen” ini, hanya tersedia saat-saat tertentu. “Kalau tajennya ketat seperti sekarang ngaak ada be cundang,” kata dia.
Ia mengganti be cundang dengan ayam broiler atau ayam petelur afkir. Pergantian bahan menu utama ini tak berpengaruh terhadap omzetnya.
Satu lagi yang menyebabkan menunya spesial, karena pembeli yang datang sebagian besar orang yang kehilangan nafsu makan. Entah karena sakit atau tidak berselera dengan masakan di rumahnya.
“Orang yang nggak enak makan yang paling sering beli ke sini. Entah mengapa kalau orang lagi enggak enak badan pengennya makan ini,” imbuh dia.
Warung tipat serapah ini buka setiap hari termasuk hari-hari raya besar keagamaan. Bahkan hari penampahan Galungan pun buka, dan tetap ludes, meski semua warga telah ‘mebat’ di rumah masing-masing dengan menu melimpah.
Masih segar dalam ingatannya, Asih hanya menutup warung saat putra keduanya meninggal dunia, upacara ngaben dan hal mendesak lain yang mengharuskannya libur.
Memasak, bagi Asih adalah hobinya sejak kecil. Skill memasaknya ini juga diwarisi dari orangtuanya. Ia tak mau meraup keuntungan terlalu banyak. Di tengah harga bahan baku naik, ia tidak menaikkan harga makanannya. (Ricky)