Marwah Kartini

Eddy Gorda
A.A.Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda (Foto:Doc)
Bagikan

Oleh: A.A.Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda

“Hiduplah wahai kaum wanita, berdirilah, janganlah terus-terusan meminta-minta kepadamu. Ambillah, carilah, raihlah hakmu! Kerjakanlah seluruh kewajibanmu, berikanlah yang terbaik dari kepandaianmu, pengetahuanmu, keahlianmu, pada keluarga, pada bangsamu.”(RA Kartini).
Demikian impian Kartini pada perempuan Indonesia yang terurai melalui guratan pena dalam suratsuratnya yang begitu melegenda. Setelah lebih dari seabad perjuangan Kartini membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan gender, di bulan peringatan hari Kartini ini tiba saatnya kita melihat kembali sudah sampai dimana perjalanan kita dalam mewujudkan cita-cita Kartini tersebut.
Terlebih tahun ini peringatan tersebut terasa istimewa karena bertepatan dengan perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah. Semoga kebaikan-kebaikan Kartini yang disebarkan melalui surat-suratnya dapat menjadi jalan bagi kita menemukan fitrah perempuan Indonesia yang sesungguhnya.
Harus diakui bahwa kini perempuan Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan peran perempuan dalam pembangunan nasional. Banyak organisasi dan inisiatif yang didirikan untuk memberikan dukungan dan memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia.
Tingkat partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan juga telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Saat ini, banyak perempuan Indonesia yang telah mendapatkan akses pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana dan magister. Seiring dengan perkembangan tersebut, perempuan Indonesia telah semakin banyak terlibat dalam dunia kerja dan mencapai posisi-posisi penting dalam berbagai bidang.
Sayangnya, meskipun terdapat kemajuan yang telah dicapai, perempuan Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dan hambatan dalam memperoleh akses yang sama dengan laki-laki, baik di bidang
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun dalam partisipasi politik dan kehidupan sosial.
Berdasarkan laporan Global Gender Gap Report 2022 yang dirilis World Economic Forum pada bulan Juli 2022 yang lalu, skor indeks ketimpangan gender di Indonesia berada di kisaran 0,697 (pada skala 0
sampai dengan 1), dan berada pada peringkat ke-92 dari 146 negara. Penilaian tersebut didasarkan atas empat dimensi, yakni pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, partisipasi dan peluang ekonomi, serta pemberdayaan politik.
Rendahnya peringkat ketimpangan gender di Indonesia tersebut berbanding lurus dengan masih rendahnya indeks pemberdayaan perempuan, khususnya di bidang politik yang masih berada di bawah rata-rata global. Sebagai gambaran, BPS mencatat pada tahun 2020, perempuan hanya menyumbang 21,3% dari jumlah anggota DPR dan hanya 11,9% dari jumlah anggota DPD. Masih banyak perempuan
Indonesia yang tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam dunia politik. Hal ini mengakibatkan kepentingan dan pandangan perempuan tidak terwakili dengan baik dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Ketimpangan gender di atas bukan satu-satunya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk keadilan bagi kaum perempuan Indonesia. Sebab persoalan besar yang telah mengakar sejak berabadabad lamanya dan menjadi sorotan utama Kartini dalam surat-suratnya hingga sekarang masih belum terselesaikan, yakni mengenai pernikahan anak.
Kartini sangat menentang praktik pernikahan anak yang umum terjadi pada zamannya. Ia menyatakan bahwa pernikahan anak membatasi kesempatan pendidikan dan pengembangan diri perempuan, serta merusak kesehatan fisik dan mental mereka. Kartini berpandangan pernikahan anak akan mengganggu pendidikan dan mengurangi kesempatan perempuan untuk mencapai kemandirian finansial dan sosial.
Selain itu, pernikahan anak juga dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental, seperti risiko tinggi terjadinya komplikasi pada kehamilan dan persalinan, serta depresi dan stres yang diakibatkan oleh pernikahan yang terlalu dini. Kartini percaya bahwa perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengakses pendidikan dan pengembangan diri, sehingga dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya dan memberikan kontribusi yang signifikan pada masyarakat.
Tujuh puluh delapan tahun sudah Indonesia merdeka, hironinya, masalah pernikahan anak masih menjadi masalah serius di Indonesia dan sulit untuk ditangani. Data UNICEF pada tahun 2020 menempatkan Indonesia di peringkat kedelapan di dunia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara dalam hal persentase pernikahan di mana setidaknya salah satu pasangan masih di bawah usia 18 tahun.
Diperkirakan satu dari tujuh anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.
Dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak, tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan. Pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu dan faktor dorongan dari orangtua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena sudah memiliki teman dekat/pacaran.
Menilik sejumlah data di atas, miris memang. Nyatanya apa yang dicita-citakan Kartini dalam suratsuratnya masih jauh dari kenyataan. Situasi yang dihadapi memang tidak mudah. Setidaknya terdapat sejumlah faktor yang berperan.
Pertama, Budaya dan tradisi – Di beberapa daerah di Indonesia, pernikahan dini dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan biasa. Beberapa keluarga juga menganggap pernikahan dini sebagai solusi untuk mengatasi masalah ekonomi atau untuk memperbaiki status sosial.
Kedua, Kemiskinan – Keluarga yang miskin seringkali terpaksa menikahkan anak mereka di usia yang sangat muda agar dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pernikahan dini juga dianggap sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Ketiga, Pendidikan – Anak-anak yang putus sekolah atau tidak memperoleh pendidikan yang memadai lebih rentan untuk menikah di usia yang sangat muda.
Keempat, Peran perempuan dalam masyarakat – Budaya patriarki masih menjadi masalah di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa keluarga menganggap bahwa menikahkan anak perempuan di usia muda akan membantu melindungi kehormatan keluarga dan anak perempuan mereka.
Kelima, Stigma Sosial – Stigma sosial masih kuat dalam masyarakat terhadap perempuan yang tidak menikah pada usia yang lebih muda. Hal ini dapat memicu tekanan pada anak perempuan dan keluarga mereka untuk menikah pada usia yang lebih muda.
Sejauh ini pemerintah maupun organisasi non-pemerintah telah banyak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari pernikahan anak dan mendorong pendidikan bagi anak-anak dan perempuan untuk membantu mengatasi pernikahan anak di Indonesia. Ibarat tikus di atas roda yang berputar, semua usaha keras tersebut belum menunjukkan kemajuan nyata yang signifikan.
Lebih dari sekadar mengunggah foto berkebaya di media sosial, peringatan hari Kartini hendaknya menyadarkan kita bahwa Indonesia memerlukan dukungan dan pasrtisipasi aktif masyarakat untuk bergerak bersama menekan angka pernikahan anak di Indonesia. Ini merupakan tugas kita bersama.
Mulailah dari langkah sederhana dari lingkup keluarga sendiri. Perkuatlah karakter anak-anak kita dengan pendidikan agama yang kuat. Sebagai salah satu landasan moral dan etika, agama manapun mengajarkan untuk memuliakan perempuan. Dalam agama hindu misalnya semua perempuan harus dihormati seperti guru, sebagai pelayan, sebagai ibu dan sebagai sahabat, perempuan harus dihormati dan dihargai dalam semua perannya dalam kehidupan. Serupa dengan hal tersebut, Islam juga memandang bahwa perempuan memiliki martabat yang sama dengan laki-laki, sehingga setiap muslim harus menghormati perempuan dan tidak boleh merendahkan martabat mereka. Demikian pula dengan ajaran agama lainnya.
Berikan dukungan dan inspirasi kepada anak untuk mengejar impian mereka dan membantu mereka mencapai tujuan hidup mereka. Ini akan membantu mereka memiliki fokus pada masa depan dan mencegah mereka terjebak dalam pernikahan dini karena tekanan sosial atau ekonomi.
Jangan lupa juga untuk tetap membangun komunikasi yang terbuka dengan anak dan dengarkan keinginan mereka. Dengan begitu, Anda dapat memberikan dukungan yang tepat untuk membangun masa depan mereka sendiri.
Di sisi lain, pemerintah juga harus tetap menggiatkan pemerataan akses pendidikan yang lebih baik, peningkatan ekonomi dan kebijakan yang lebih tegas dalam menangani pernikahan anak. Hanya dengan
demikian marwah Kartini tetap dapat dipertahankan dan diperkuat. Jika tidak entah berapa abad lagi yang harus kita lewatkan agar “emansipasi wanita” bisa ditegakkan di Indonesia.