
Wacana Kenaikan Harga BBM Bersubsidi dan Sayup-Sayup Jeritan Rakyat Kecil

Oleh: I Komang Adi Saputra
“Kemiskinan merupakan ayah dari revolusi dan kejahatan” -Aristoteles-
Beberapa hari yang lalu Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi persnya mengungkapkan ihwal pemerintah akan mengumumkan kepastikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi, yaitu jenis Pertalite dan Solar pada pekan ini.
Rencara tersebut laksana petir disiang bolong. Membuat mata rakyat kecil seketika membelalak, tentu informasi seperti demikian sangat mengejutkan sebagian besar masyarakat, lantaran sejauh ini perekonomian masyarakat belum pulih sepenuhnya akibat terjangan badai pandemi Covid-19.
Dilain pihak presiden Jokowi mengutarakan harga BBM jenis pertalite dan solar yang dijual dengan harga
Rp. 7.650 untuk jenis pertalite dan Rp. 5.150 untuk jenis Biosolar merupakan yang termurah di kawasan Asia Tenggara, dan membebani APBN senominal 502 triliun rupiah. Beliau juga menambahkan belum ada negara lain yang berani mensubsidi sektor BBM sebanyak itu.
Baru sebatas wacana saja sudah memberikan efek yang cukup signifikan diberbagai sektor. Utamanya dalam asfek ketersedian BBM jenis pertalite itu sendiri. Fenomena kelangkaan sudah mulai terasa dibebagai SPBU, bahkan di pedagang eceran pun sudah tidak tampak lagi ketersediaannya. Selain daripada itu wacana tersebut juga menstimulasi meroketnya berbagai jenis kebutuhan pokok dipasaran.
Bilamana wacana tersebut sungguh direalisasikan niscaya dampaknya akan menjalar kedalam multi sektor, utamnya adalam sektor ekonomi. Berbagai harga kebutuhan pokok akan membumbung tinggi tanpa kendali. Realitas seperti demikian tentunya akan sangat mempengaruhi kemesotan daya beli masyarakat, dan inflasi akan melaju kencang.
Selain itu sektor profesi angkutan umum seperti ojek online akan sangat terdapak oleh kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Usaha-usaha dibidang yang lain juga terancam keberlangsungannya terutama yang baru bangkit pasca pandemi covid-19. Serta gelombang pemutusan hubungan kerja tidak menutup kemungkinan akan kembali menyapu kaum pekerja.
Lagi-lagi dalam situasi seperti ini rakyat kecillah yang paling merasakan dampaknya, ia semakin tercekik, ditengah himpitan ekonomi yang menjadi momok pengganggu tidur nyenyaknya. Dihantui bayang-bayang perut keroncongan yang tampaknya akan menjadi kenyataan. Rintih dan keluh mulai berdentuman diwarung-warung pinggiran kota dan perkampungan. Tangis bayi yang susu dan buburnya tidak terbeli tak ayal akan menjadi kenyataan. Senandung irama musik yang meraung-raung dari radio tentu belum mampu menina bobokan gejolak diperut.
Rencana kenaikan BBM bersubsidi mesti ditinjau kembali, ditakar dampak terburuknya. Dan kendatipun harus menempuh jalur kebijakan tersebut, mesti disedikan solusi konkrit untuk memitigasi dampak-dampak buruk yang akan ditimbulkannya. Nasib masyarakat kecil harus menjadi pertimbangan utama, keperluan perutnya harus terjamin, agar rakyat tidak terjerembab semakin dalam dijurang kemiskinan.