

Sinergitas Desa Wisata di Bali: Desa Adat Penglipuran dan Pemkab Bangli Dalam Menjaga Budaya dan Nilai Kearifan Lokal, Teori Hukum Bermakna Budaya

Oleh : I Wayan Wesna Astara, Guru Besar ilmu hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.
Desa Adat, Hukum adat dan Politik Kebudayaan.
Hukum dapat berfungsi sebagai alat control Masyarakat dan menjamin ketertiban dalam kehidupan berkebudayaan Bali. Desa adat sebagai benteng kebudayaan Masyarakat Bali dan sangat kental akan nilai kearifan local. Hal ini sudah tentu, desa adat sebagai subyek hukum dalam system pemerintahan proinsi Bali dapat melakukan perbuatan hukum terkait dengan aktiivitas kepariwisataan dan dapat mengelola desa wisata di wilayahnya. Hukum adat dan kebudayaan Bali dapat menyelesaikan masalah konflik di desa adat dengan musyawarah mufakat. Desa adat memiliki tugas mewujudkan kasukretan desa adat yang meliputi ketentraman, kesejahtraan, kebahagiaan.
Desa adat sebagai benteng kebudayaan Bali sebagai penjaga budaya Nusantara memiliki potensi Pengembangan Desa wisata Penglipuran berbasis budaya menjamin kesejahtraan masyarakatak adat Penglipuran.
Kearifan Lokal yang dibangun Masyarakat adat Bali dalam bentuk awig-awig desa adat, dalam mengatur masyarakatnya adalah sebuah proses Sejarah bukan sebuah harga mati yang dapat mengkondisikan Sejarah Masyarakat yang bersangkutan. Kearifan local merupakan produk historis Masyarakat setempat dalam rangka adaptasi dengan lingkungannya. Pemikiran pengajuan mainsterem hukum orisinal, sesuai dengan nilai nilai-nilai kehidupan Masyarakat Indonesia. Sosial budaya otensitas hukum ke-Indonesiaan merupakan seperangkat nilai-nilai Bersama yang dapat diperoleh dari adat-istiadat Masyarakat Indonesia.
Dalam kontek Sejarah social Masyarakat Bali bahwa Hubungan antara adat, desa dan negara (state) dipengaruhi oleh studi Liefrink (1927) dan studi Geetz (1959); Gagasan Liefrink, mengenai Republic Desa, untuk menggambarkan desa tidak lepas dari pengertian Desa, yang dibangun oleh kekuasaan kolonial Belanda abad 19 sampai perang Dunia II; Ada Kumunitas Desa yang memiliki karakteristik yang dimonopoli otoritas peletak batas teritorial tertentu. Desa adat adalah negara kecil dan umumnya disebut “Republik Kecil”, memiliki Prajuru, mempunyai awig-awig untuk mengatur Masyarakat, terkait hak dan kewajiban krama, menjaga tradisi, otonomi asli, dan mengawasi Desa adatnya masing-masing.
Ketika jaman republic Indonesia desa adat di Bali ada suatu kenyataan bahwa hukum adat yang tidak tertulis menjadi diatur supaya ditulis (awig awig) berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Bali sebagai desa dresta adalah kesatauan Masyarakat hukum adat di Propinsi daerah Tingkat I Bali Nomor 06 tahun 1986, tetang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa adat sebagai Kesataun Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Bahwa dalam Pasal 7, ayat (1) setiap desa adat agar memiliki awig awig tertulis. Selanjutnya dalam Pasan 11, angka (c) mengusahakan perdamaian dalam penyelesaian sengketa adat.
Politik hukum desa adat dan kebudayaan di Bali mengalami dinamika terkait dengan relasi kuasa di Bali. Ketika sekitar tahun 1998 Partai PDI Perjuangan berupaya meningkatkan posisinya dalam pentas politik di Bali, maka nilai kearifan local (Pacalang) diberikan peranan untuk menjadi Keamanan terkait kegiatan partai. Dalam regulasi Peraturan daerah Proinsi Bali, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memasukkan substansi hukum Pecalang dalam Perda Provinsi Bali Nomor: 3 tahun 2001,tentang desa Pakraman, Pasal 17, ayat (1) Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman dilaksanakan oileh Pacalang. Pengaturan tentang Desa adat sebagai nilai kearifan local Nusantara berdasarkan filosofi Tri Hita Karana diperkuat dengan Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat, dengan memasukan desa adat berstatus sebagai subyek hukum dalam system pemerintahan Provinsi Bali (Pasal 5). Selanjutnya dalam Perda tersebut diatur tentang Produk legislator dan penentu kebijakan berpihak pada komunitas, historis dan kultural Masyarakat adat Bali sebagai teori hukum bermakna budaya sebagai Upaya untuk membangun budaya local yang hidup dalam Masyarakat adat Bali menjadi produk hukum yang dilindungi oleh negara. Teori Hukum bermakna Budaya I Wayan Wesna Astara, sebagai alat untuk membedah fakta hukum persoalan hukum adat, desa adat, dan hukum adat, dan perjanjian dapat jadikan pisau analisis dalam membangun dan mengembangkan Desa wisata di Desa adat di Bali dan Nusantara. Dalam produk hukum yang digali dari nilai budaya local, nilai kearifan local dan tidak bertentangan dengan ekspektasi komunitas dan visi ideologis Konstitusi sebagai reprentasi jiwa dan kepentingan umum rakyat Indonesia. Selanjutnya juga, tidak bertentangan dengan ekspektasi komunitas dan visi ideologis Konstitusi sebagai reprentasi jiwa dan kepentingan umum rakyat Indonesia. Sistem hukum yang dibentuk mestinya adaptasi dengan komunitas masyarakat Indonesia bhineka Tunggal Ika.
HUKUM ADAT DAN PERJANJIAN
Awig-awig Desa adat di Bali memiliki karakter fleksibelitas terhadap perkembangan pariwisata di Bali. Desa Wisata Penglipuran sebagai desa wisata terbersih di dunia, dengan potensi budaya, alam, tradisi, adat-istiadat dan nilai kearifan local. Kemudian asset budaya, alam, tradisi, Padruwen dan Utsaha Desa Adat diatur dalam Perda Prov. Bali Nomor 4 tahun 2019, tentang desa adat, pasal 55, ayat (1,2, dan 3).
Pola manajemen bagi hasil dengan pemerintah Kabupaten Bangli Berdasarkan Perjanjian Kerjasama dengan Desa adat Penglipuran Tentang Pengelolaan Kepariwisataan Desa Wisata Pengliputan Nomor 415.4/23/PKS/PKKP/2020; Nomor 01/S.P/X/2020; tentang Pengelolaan Desa Wisata Penglipuran. Desa adat Penglipuran berhak mendapat imbalan sebesar 60 % (enam puluh persen) dari hasil pungutan bruto. menyetor semua hasil pungutan (bruto) setriap minggu/ 7x 24 (tujuh kali dua puluh empat ) jam ke kas Daerah melalui Bendahara Penerima pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangli. Perianjian Kerjasama ini berlaku selama 5 (lima) tahun mulai tanggal 1 Januari 2021. Paling lambat 2 (dua) bulan sebelum perjanjian Kerjasama ini berakhir, para pihak sepakat untuk saling memberitahukan maksud apabila hendak memperpanjang Kerjasama ini. Berdasarkan hasil FGD dan praktik penulisan hukum kontrak dan/atau perjanjian pada tanggal 16 -17 Juni 2024, ada 2 (tiga) alternatif pemikiran untuk diberikan Solusi kepada pemerintah kabupaten Bangli yang diusulkan bendesa Adat Penglipuran (I Wayan Budiarta). Pertama Pengelolaan Mandiri; Kedua, Melanjutkan PKS, dengan mevisi, pasal-pasal yang merugikan pihak desa adat, Pilihan pertama, alasanya desa adat sebagai desa otonomi asli, kepentingan Masyarakat setempat berdasarkan prakarsa Masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam pemerintahan negara Republik Indonesia. Dalam kontek Perjanjian kerja sama antara Kabupaten Bangli sebagai pihak I (pertama) dengan desa adat Penglipuran sebagai pihak II (kedua); Pasal 3: ruang lingkup perjanjian kerjasamq ini meliputi: a. Pengelolaan obyek wisata; dan b. pemungutan retribusi tempat rekreasi dan oleh raga di desa wisata Penglipuran. Pasal 4, ayat (1) Pihak Pertama mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut: a. melaksanakan penataan desa wisata penglipuran; b. melaksanaakan pembinaan sumber daya manusia di desa wisata Penglipuran;c. melaksanakan pemasaran desa wisata; d. berhak mendapatkan penerimaan Daerah bukan Pajak (PDBP) terhadap tiap retribusi yang dibayarkan wisatawan dari pihak Kedua sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 4, ayat (2) Pihak kedua mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut: a. memelihara kebersihan, keindahan dan kelestarian desa wisata Penglipuran; b. memungut retrebusi kepada setiap wisatawan termasuk kendaraan masuk ke desa wisata Penglipuran; d. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada para wisatawan yang masuk ke tempat desa wisata Penglipuran; e. menyetor semua hasil pungutan (bruto) setiap minggu 7x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam ke kas daerah melalui Bendahara penerima pada dinas Pariwisata dan kebudayaan kabupaten Bangli; dan f. berhak mendapatkan imbalan sebesar 60% (enam puluh persen) dari hasil pungutan bruto. Pasal 6, ayat (4) apabila Pihak kedua tidak mentaati perjanjian Kerjasama ini, maka Pihak pertama dapat memutus perjanjian ini secara pihak; Fakta hukumnya tidak terjadi kesetaraan dalam perjanjian ini, hanya pihak pertama saja yang terlinlindungi dalam perjanjian ini, apabila terjadi persoalan hukum terkait dengan kewajiban para pihak khusus untuk pihak kedua diberlakukan, maka dalam perjanjian ini, semestinya salah satu pihak yang tidak melaksanakan kewajiban, terjadi wanprestasi maka akan berlaku, Pasal 9, ayat (2) perubahan secara tertulis dalam bentuk addendum.
Substansi hukum, terkait addendum terkandung realitas lapangan apakah polanya seluruhnya yang akan mengelola desa adat Penglipuran (100%) dengan berbagai alasan rasional, dan/ atau desa adat adalah 80% (bersih) setelah dikurangi dana operasional, dan 20% adalah pemerintah Kabupaten Bangli, hal ini, sebagai ofsi pertama. Kemudian ofsi kedua, Tetap dengan pola 60% desa adat Penglipuran, dan 40% adalah Pemerintah Kabupaten, namun 40% ini dikelola Kembali oleh desa adat Penglipuran yang digunakan untuk kepentingan yang sebelumnya diurus oleh pihak Pertama, karena tidak terlaksana, maka tugas itu diserahkan kepada desa adat penglipuran, sesuai dengan pasal 4, ayat (1). Dengan standart keadilan untuk kepentingan Masyarakat adat, dan kemajuan serta keberlanjutan desa wisata Penglipuran. Hal ini, sesuai dengan penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat. (Pasal 8, ayat (1, dan 2).