PPDB Mesti Dipandang “Sakral”

Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda
DENPASAR, diaribali.com – Praktisi pendidikan sekaligus akademisi Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda, berpandangan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mesti dipandang sebagai sesuatu yang “sakral”.
Sebab, tujuan utama PPDB adalah memilih calon peserta didik di sekolah negeri. Jika dalam prosesnya terjadi “kesalahan”, maka proses dan “output” yang dihasilkan pun menjadi salah.
“Saya katakan dari segi teknis pelaksanaan, regulasi itu semua bagus. Hanya implementasinya yang kadang-kadang, ya seperti yang kita ketahui bersama tiap tahun ajaran baru,” sentil pemilik sapaan ESG, itu.
Transparansi PPDB, lanjut ESG, ibarat lagu lama yang diaransemen ulang agar terdengar lebih merdu. Tahun ini, pria yang juga pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Provinsi Bali ini, berharap, implementasi PPDB di sekolah negeri benar-benar sesuai aturan.
Hal itu dianggap penting untuk memberikan kesempatan persekolahan swasta memainkan perannya turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Minimal jangan ada pihak yang memaksakan kuota di sekolah-sekolah negeri agar tidak “over loading”.
“Prinsip saya, (sekolah) negeri dan swasta itu sama saja, tergantung belajarnya ‘happy’ atau tidak. Tapi khan prinsip orang tua rata-rata (memilih) negeri,” ujar ESG.
Yang membedakan keduanya, lanjut ESG, soal sumber pendanaan operasional. Sekolah negeri disubsidi pemerintah, sementara swasta berasal dari sumbangan orang tua dan strategi yayasan. Jadi sekolah swasta jauh lebih mandiri.
“Kalau dihitung jangan-jangan sekolah negeri dan swasta biayanya sama saja. Hanya negeri disubsidi oleh pemerintah dan dari orang tua juga,” ujarnya.
ESG mengapresiasi pemangku kepentingan yang telah berupaya memperbaiki prosedur PPDB dari tahun ke tahun. Tapi dia kembali menegaskan, untuk jalur masuk jangan di otak atik. PPDB harus dilakukan konsisten maka sisanya biarkan swasta yang berperan.
“Karena logika negeri itu hanya ada dua, orang pintar dan ada orang yang tidak mampu. Tapi PPDB itu caranya masuk semua, prestaai, zonasi, perpindahan orangtua dan lain sebagainya,” tambahnnya.
Ia mencontohkan fenomena di SMP Nasional, salah satu unit di bawah Yayasan Perdiknas. Biasanya mendapatkan tujuh kelas peserta didik baru, namun akhir-akhir ini mendapatkan empat kelas.
Pihaknya tidak bermaksud menyalahkan pemerintah atau kebanyakan orangtua yang menjadikan sekolah negeri sebagai pilihan utama.
Dari sini, pengelola sekolah swasta dituntut berinovasi meningkatkan kualitas dari segala sisi termasuk membangun “brand” sehingga menjadi sekolah swasta yang eksis tanpa peduli dengan karut-marut PPDB di sekolah negeri, karena pangsa pasarnya jelas.
Pihaknya pun tengah mencoba membangun brand ke arah sekolah swasta “elit”. Sehingga yang diutamakan adalah kualitas, bukan lagi kuantitas peserta didik.
“Prinsipnya belajar itu yang utama peserta didik, kedua gurunya, ketiga biaya, keempat fasilitas dan prinsip belajar. Sebetulnya swasta harus berkelahi di lima point ini. Biaya diperhatikan, peserta didik harus caranya beratitude bagus, gurunya ditingkatkan kualitas, fasilitas harus terus ditingkatkan dan terakhir ada prinsip pembelajaran yang membuat ketika orang mau bilang sekolah pariwisata atau ramah keluarga langsung ke sekolah A atau B,” jelasnya.
Lebih lanjut, kata ESG, strategi khusus dalam menggaet peserta didik, yang sulit diamanti adalah kualitas guru, kalau kurikulum sudah relatif.
“Yang kami lakukan hanya menjaga guru itu menjadi sarana pembelajar yang baik. Orang masuk sekolah menjadi senang dan fasilitas sudah pasti, yang harus dilakukan prisnip pembelajaran apakah belajar di SMP negeri atau swasta jauh lebih baik apa tidak, kenyamanan yang utama. Toping kami di swasta harus menarik,” pungkas ESG. Ast