MTBS Salah Satu Solusi Perangi Gizi Buruk

Dr dr I Nyoman Gede Anom, M.Kes

DENPASAR, diaribali.com – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dr dr I Nyoman Gede Anom, M.Kes mengatakan, Management Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan pendekatan terbaik dalam menurunkan angka kematian balita. Hal ini didukung dengan hasil analisis data penelitian Fasilitas Kesehatan 2011 dan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) 2012 membuktikan adanya korelasi negatif antara persentase puskesmas melaksanakan MTBS dengan kematian neonates, bayi dan balita.

“Semakin besar persentase puskesmas yang melaksanakan MTBS, semakin rendah angka kematian neonatus, bayi, dan balita. Oleh sebab itulah untuk dapat memberikan tatalaksana balita sakit secara komprehensif, maka diperlukan peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan anak sebagai tim layanan kesehatan anak di Puskesmas agar sesuai standar,” jelas dr Anom, Senin (23/10) di Denpasar.

Lebih lanjut, dr Anom mengungkapkan, kasus gizi buruk masih banyak ditemui di masyarakat, namun jumlah kasus yang dilaporkan dan yang mendapat perawatan masih rendah. “Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya balita gizi buruk yang mendapat perawatan antara lain karena terbatasnya akses layanan kesehatan, belum banyak fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan balita sakit secara integratif sehingga kasus gizi buruk tidak terdeteksi, ketidakmampuan pemberi layanan dalam tata laksana gizi buruk, pelaporan yang tidak lengkap, serta rendahnya kesadaran keluarga untuk membawa balita gizi buruk ke tempat pelayanan kesehatan,” ungkapnya.

BACA JUGA:  Fokuskan Layanan Kesehatan, Posyandu Paripurna Kecamatan Denpasar Utara Digelar

Pihaknya  juga menegaskan bahwa penurunan gizi buruk merupakan salah satu program prioritas nasional. Karena memiliki dampak serius terhadap kejadian kesakitan dan kematian pada balita. Gizi buruk disebabkan oleh multifaktor, tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Oleh karena itu, upaya penanganan gizi buruk dilakukan dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait.

“Anak dengan gizi kurang dan gizi buruk berkontribusi terhadap kejadian stunting. Selain itu, gizi buruk juga meningkatkan angka kesakitan dan kematian. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan secara cepat dan tepat untuk mencegah kematian serta komplikasi lebih lanjut sekaligus memperbaiki tumbuh kembang anak di masa mendatang,” terang dr Anom.

Bentuk komitmen pemerintah dalam penanggulangan gizi buruk pada balita, menurut dr Anom dilakukan melalui berbagai upaya yaitu penyuluhan gizi, peningkatan cakupan penimbangan balita, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan bagi balita dengan gizi kurang, peningkatan kapasitas petugas dalam tata laksana balita gizi buruk, pembentukan Pusat Pemberian Makanan Terapi (TFC) dan Pusat Pemberian Makan Komunitas (CFC) sebagai pusat-pusat pemulihan gizi di fasilitas kesehatan.

“Peningkatan kualitas dan pelayanan peningkatan kerja sama lintas sektor/program, serta keterlibatan masyarakat sangat diperlukan untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi pada balita,” pungkasnya.rl