


Mebayuh, Minimalisir Musibah Kehidupan

Ida Pedanda Gede Putra Batuaji
“Bayuh oton adalah upacara yang diyakini dapat menetralisir derita bawaan akibat pawetuan (kelahiran)”
DENPASAR-DiariBali
Pewacakan merupakan ramalan sifat bawaan menurut hari kelahiran baik itu yang mencakupi wuku dan wewaran, hal ini biasanya dilakukan oleh pinandita atau sang meraga brahmana, hal ini berfungsi sebagai pemahaman watak dan karakter serta hal-hal yg baik atau tidak dilakukan dimasa mendatang oleh sang yajamana dalam menjalani kehidupan dan darma.
Konsep mebayuh adalah implementasi sebuah pelaksanaan yadnya di buana alit karena di buana agung dan buana alit adalah ‘patuh palakuania’ (sama).
Ida Pedanda Gede Putra Batuaji menjelaskan dalam lontar pewacakan pemayuh berasal dari kata “bayuh” yang berarti dayuh kenyamanan atau keseimbangan. Konsep mebayuh menjadi suatu kesatuan dalam konsep tri hita karana antara buana agung dan buana alit yakni hubungan manusia dengan tuhan (parhyangan), hubungan manusia dengan manusia (pawongan), hubungan manusia dengan alam (palemahan). sesungguhnya, atman yang terdapat dalam diri adalah transformasi antara hubungan manusia dengan tuhan (parhyangan), sehingga atma pinaka parhyangania. “Parhyangan dalam buana alit adalah sang paraning dumadi,” jelas Ida Pedanda ketika ditemui DiariBali, Jumat (4/6).
Sang sangkaning dumadi lanjut Ida, melakukan swadarma punarbawa di dunia berdasarkan atas karma. Pawongan dalam tubuh itu adalah ‘Trikaya Parisuda pinaka pawongania’ (pikiran, perkataan, perbuatan), sebagai stula sarira panca mahabuta adalah palemahan.
Mebayuh didasari oleh kelahiran dan kelahiran didasarkan atas karma dari sana terlahir catur bekel suka, duka, lara, pati. Hal ini bermuara dalam konsep catur bekel agar selalu seimbang dengan menetralisir buana alit.
“Penting sekali untuk mebayuh karna dapat membentuk sebuah keseimbangan, banyak orang yang belum mengetahui tentang betapa penting pelaksanaan upacara mebayuh,” jelasnya.
Dalam hubungannya dengan buana agung umat hindu memiliki parhyangan kemulan, paibon melaksanakan piodalan, karya ngenteg linggih, hal ini juga disetarakan dalam tubuh manusia dengan melaksanakan upacara odalan yang disebut otonan disertakan dengan mebayuh sehingga dapat memberikan keseimbangan ketiga unsur tersebut.
“Dalam sastra tersurat istilah petiti samut pada, ketika orang baru lahir datanglah masa – masa transisi tersebut apabila tidak melaksanakan upacara mebayuh,” katanya
Menurutnya asing – masing hari memiliki pancawara, saptawara, wuku dan dauh semua memiliki dewanya, dalam sodiak bintang bahwa gravitasi bumi akan mempengaruhi karakter manusia.
Karakter yang terlahir berdasarkan hari, bulan, wuku, dan sasih akan menampakkan secara langsung sesuai dedauhan tersebut. Dalam konsep hindu tidak ada kata buntu, semua bisa dilaksanakan dengan yadnya.
Dikatakan penyakit yang sifatnya non medis ada empat yakni penyakit yang disebabkan parhyang, pawetuan, wong akriya ala, dan palemahan. Ketika bencana yang disebabkan oleh pawetuan (kelahiran) itu kemana- mana dibawa tidak akan kunjung baik hal yang dapat menyelamatkan adalah upacara mebayuh. Secara tidak langsung, diri diberikan signal-signal untuk menjaga keseimbangan dalam bhuana alit.
Selain itu, ketika belum bisa melakukan upacara pebayuhan hal terpenting dilakukan adalah proses pengruatan atau penglukatan yang berfungsi untuk membersihkan diri melalui kekuatan mantra dan jantra.
“Kepercayaan umat hindu ketika mengalami kesakitan disanalah mempercayai hal tersebut, seharusnya sebelum terjadinya musibah- musibah yang menimpa diri alangkah baiknya lebih awal melakukan upacara mebayuh,” terangnya. (Get)