Maknai Galungan Tak Sekedar Pemujaan, Namun Perlu Tindakan Nyata
Denpasar, Diari Bali-
Hari Suci Galungan, kini hadir berbeda dengan Alungan sebelumnya, karena Galungan kini di tengah suasana menghadapi ujian alam berupa pandemi covid- 19. Tentu ini perlu untuk dimaknai lebih sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan sradha dan bhakti kepada Tuhan. Perayaan kemenangan yang sesungguhnya bukan hanya memaknai hari suci, tetapi lebih dari itu adalah merubah perilaku agar selaras dengan alam.
Karenanya, apabila alam tidak selaraskan maka kehidupan pun tidak seimbang. Menjaga keselarasan ini bisa dilakukan dengan cara ritual dan laku nyata. Ritualnya dilakukan dengan melakukan hari suci, sedangkan laku nyata bias dilakukan dengan perbuatan nyata menjaga, memelihara, mengembangkan dan mematuhi aturan dan norma hidup.
Dosen Agama Hindu Univeraitas Hindu Indonesia, Denpasar, I Kadek Satria, Selasa (13/4) menyebut, Rabu Kliwon Dungulan adalah Galungan. Arahnya untuk bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Artinya bahwa penerangan fikiran yang berimplikasi pada ketenangan dan pencerahan jiwa adalah tujuan utama dari dilaksanakannya hari kemenangan.
Jadi adalah salah kelatahan bahwa galungan hanya sekedar pemujaan, tetapi perlu prilaku nyata untuk mewujudkan tujuan dari ritual itu yaitu kesejagatan.
Kesejagatan yang dimaksud adalah bahwa yadnya yang dipersembahkan menyentuh semua unsur kehidupan. Alam lestari, hewan terpelihara baik menurut gunanya maka manusiapun akan sejahtera dalam hidupnya. Kurangi memaknai kesejahteraan dengan gelimang harta, sebab itu hanya maya, kesejahteraan dengan merawat unsur hidup sesuai tujuan agama adalah yang sesungguhnya.
Pertanyaan atas perayaan Galungan antara kemenangan atau kekalahan adalah pertanyaan sulit, namun perlu diulik, buka sedikit demi sedikit sebagai penentu arah pemahaman umat yang kemudian bisa dilanjutkan dalam perilaku sehari-hari. Menang adalah yang tak terkalahkan, dan kalah adalah yang tak termenangkan.
Dari konteks ini bisa dilihat sebuah peta kesadaran. Menang sebagai yang tak terkalahkan adalah roh suci, yang menjiwai hidup dan memberikan pencerahan setiap saat dalam hidup.
“Inilah yang harus kita menangkan dalam kehidupan kita agar jiwalah yang menuntun raga kita. Badan ini adalah alat yang digerakan oleh jiwa sang penyebab hidup, itulah seharusnya,” jelas pria asal desa tua di Kabupaten Buleleng, Desa Pedawa.
Kekalahan, lanjut Satria, adalah sesuatu yang tak termenangkan. Apakah itu? Indria pada badan inilah jawabannya. Badan akan hidup jika sang kehendak memberikan limpahan atas segala indria untuk tumbuh dan berkembang. Namun, diharapkan tak membiak.
Membiaknya badan dengan indria akan membalikkan bahwa jiwa manusia terselubung gelap dan terbuai oleh pemenuhan indria. Hal ini menjatuhkan dan bahkan membuat manusia selalu dalam kegelapan.
Hal baik adalah apabila indria di badan ini bisa kita kuasai dengan pencerahan jiwa, sehingga kita bisa menjadi yang baik, patut dan sejati.
“Kini kita perlu renungkan apakah jiwa kita sebagai penggerak badan yang didalamnya ada indria atau sebaliknya? Badan atau indria kita penentu hidup kita,” sambungnya.
Kemenangan sesungguhnya adalah ketika jiwa yang tercerahkan menjadi penentu badan. Hidup akan semakin baik dan mampu mendapatkan tujuannya.
Kini hal itulah yang terbalik, dimana badan menggerakan diri seolah tak ada rohani, nilai ketuhanan terinjak sehingga hidup hanya berorientasi pada pemenuhan keinginan dan lupa bahwa yang sesungguhnya kebutuhanlah yang perlu dipenuhi.
Sebab selama keinginan terpenuhi maka disanalah tak habis-habis digelimang penderitaan hidup. Keinginan satu terpenuhi maka keinginan lainnya muncul dan berharap untuk dipenuhi.
Tentu inilah cikal bakal penderitaan manusia, semua menjadi lupa untuk mensyukuri, lupa pada kedalam hati dan selanjutnya terjerumus pada prilaku kurang bijak. Bukankah pemenuhan keinginan mereka yang menganggap diri berkuasa akan menggunakan kekuasaannya? Nah itulah contohnya.
Hidup dengan kemenangan rohani membuat lebih menyadari kalau hidup ini punya tujuan yaitu kesejahteraan jasmani dan kesempurnaan rohani. Kesejahteraan yang dimaksud adalah tercukupi kebutuhan dasar, dan dengan itu berupaya untuk meyakini prilaku agama, melakukannya dan mensyukuri anugerahnya. Kalau berpedoman pada nasehat lontar Sundarigama yang menyatakan
“Buda Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”.
“Mari perlahan kita menyatakan kemenangan jiwa atas badan dan melengkapi yadnya melalui ritual dengan perilaku kita, maka itulah kemenangan yang sesungguhnya,” pungkas Satria. (Red)