Hustle Bustle Culture
“The Dark Side” Era Digital Dikala Pandemi
TIDAK terasa, pandemi ini sudah kita lewati setahun lebih. Terhitung sejak Maret 2020 hingga saat ini di tahun 2021, situasi masih tidak menentu. Banyak kantor tutup, cara kerja yang berubah, membuat kita sebagai pekerja harus beradaptasi dengan hal tersebut.
Memang, hal ini bukan tren yang terjadi karena pandemi Covid-19 semata, melainkan juga karena efek digitalisasi yang semakin pesat di semua bidang. Namun saat situasi ini lah kemudian semua lini industri diajak untuk berubah secara radikal dan sporadis dengan penggunaan teknologi dalam bekerja.
“Digital workplace” kemudian muncul, pergeseran dari lingkungan kerja fisik menjadi ruang kerja digital. Yang dulunya harus datang ke kantor, duduk di belakang meja, mengerjakan tugas, rapat, dan sebagainya sekarang bisa dikerjakan lewat media digital, darimana saja dan kapan saja.
Webinar, virtual meeting, virtual workshop, virtual talkshow, work and project sharing, dan masih banyak lagi kegiatan bisa kita lakukan melalui digital workspace tentunya dengan bantuan teknologi kekinian.
Memang, pergeseran tren kerja from physical to digital workplace menawarkan kemudahan dan kenyamanan serta kebebasan dari rutinitas sehari-hari kita, para pekerja, yang harus berjibaku dengan macetnya jalan menuju kantor, birokrasi kerja yang njlimet, dan lainnya. Tetapi nyatanya di balik canggihnya teknologi kekinian yang membantu kerja kita di saat pandemi ini, ada dark side yang berefek ke kehidupan kita.
Multitasking.
Ya, kondisi pandemi ditambah kebijakan work from home menuntut kita untuk multitasking. Bayangkan, meeting online, bekerja di jam 8-4, bertemu klien secara daring, sambil juga mengurusi rumah tangga dan anak tentunya menjadi hal yang cukup merepotkan.
Belum lagi mungkin di saat yang bersamaan, kita juga harus menghadiri acara lain secara virtual. Haruskah membelah diri? Selain itu, digital workplace juga menuntut kita untuk selalu on, kapan pun dimana pun, terkoneksi secara digital. Bahkan tidak bisa kita hindari juga, jam kerja pun berubah menjadi 24/7 always on.
Pada akhirnya, hustle bustle culture muncul menjadi dark side of digitalization dikala pandemi. Hustle culture sendiri dapat dikatakan sebagai budaya yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti kapan pun dan dimana pun. Tidak dapat dipungkiri bahkan di saat pandemi ini, budaya ini kemudian dirasakan dan terjadi.
Pekerja dituntut untuk produktif dan melakukan segala aktivitas di rumah, yang tanpa disadari malah berdampak buruk dan mengganggu life balance, baik dari aspek kesehatan, pekerjaan, serta kesejahteraan secara emosional.
Tren pergeseran physical to digital workplace maupun hustle culture ini kemudian menimbulkan digital burnout atau technostress, sebuah kondisi kelelahan baik fisik maupun mental dari penggunaan teknologi yang terus menerus dan berlebihan, utamanya di masa pandemi ini.
Survey Global Human Capital Trends di tahun 2020 yang dilakukan oleh Deloitte sendiri menyatakan bahwa 80% responden mereka menyatakan betapa pentingnya wellbeingnes bagi organisasi, dimana ketika human capital merasakan aman (baik fisik maupun mental), organisasi pun akan berada dalam kondisi yang baik pula.
Namun kenyatannya di saat pandemi ini, intensitas kerja via digital yang meningkat malah menjadi kondisi yang mengancam wellbeingness dan produktivitas pekerja. Beberapa studi oleh Microsoft maupun Harvard Business Review bahkan menyebut kondisi saat ini menyebabkan para pekerja mengalami burnout symptoms seperti insecurity, anxiety, stress, maupun kelelahan fisik yang bisa memicu gangguan kesehatan akibat tren remote dan digital working.
Lalu bagaimana agar tidak terjerat hustle culture? Jangan lupa hidup dalam kekinian, rasakan emosi yang dimiliki agar pekerjaan tidak terganggu. Jangan lupa, kita ini makhluk sosial yang tentunya memiliki emosi dalam segala hal.
Selain itu, fokuslah pada kualitas, bukan kuantitas kerja agar produktivitas dan keseimbangan hidup juga terjaga. Tentukan juga cara kerja yang sesuai dengan diri kita. Terakhir, jangan lupa bahagia ya. Lakukan hal-hal positif yang membuat kalian bahagia di saat seperti ini agar tetap waras bin sehat.
Penulis; I Gusti Ngurah Widya Hadi Saputra, SM., MSM., Dosen Manajemen di Undiknas, Denpasar.