Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
KEKERASAN seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan hasrat perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang mengakibatkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Baca juga Pria Usia 45 Tahun Cabuli Gadis Dibawah Umur hingga Hamil
Dikursus panas tentang kekerasan seksual di Indonesia adalah kekerasan seksual yang berkenaan dengan diksriminasi gender. Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai mahluk ciptaan Tuhan merupakan hak asasi perempuan yang inherent (melekat) pada diri perempuan.
Pemahaman ini memberi posisi bagi perempuan sebagai makhluk yang bermartabat. Perempuan memiliki perbedaan biologis dengan laki-laki. Peran dan fungsi perempuan secara alamiah berbeda dengan laki-laki. Namun, dalam hal tetentu perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan.
Tetapi dalam praktek, perempuan sering berada dalam kedudukan terbatas dibandingkan dengan laki-laki terutama untuk berperan aktif dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, seperti dalam aspek ekonomi, sosial budaya, pendidikan, organisasi dan kelembagaan, dan lainnya yang umumnya terbungkus dalam budaya patriarki yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Baca juga Dies Natalis Ke-60 Unud, Bergerak Bersama Menuju PTN BH
Berkaitan dengan strategi yang tepat dalam mencegah dan menangani korban kekerasan seksual khususnya terkait dengan pemenuhan hak-hak korban, maka keterlibatan peran Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disingkat dengan KMHA) sangat diperlukan. Pada desa adat memiliki otonomi pengaturan termasuk dalam penegakan hukum adatnya.
Dalam kententuan Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyatakan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, harta kekayaan, hak tradisional, tradisi serta tata krama pergaulan hidup bermasyarakat yang diwarisi secara turun temurun dalam ikatan tempat suci dan mempunyai kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri.
Baca juga Yudisium Fishum UNR, IPK Tertinggi Tembus 4,00
Sehingga, upaya dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual dapat dilakukan melalui pendekatan masyarakat hukum adat dan desa adat yang berbasis kearifan lokal. Memahami tugas desa adat yang telah diatur dalam Perda tentang Desa Adat termasuk di dalam konstitusi negara Indonesia menegaskan bahwa desa adat mempunyai kewenangan dalam membuat awig-awig dan perarem desa adat yang bertujuan untuk mengayomi karma adatnya (warga) termasuk pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual disamping adanya hukum nasional yang sudah mengatur.
Awig-awig sebagaimana menurut Perda tentang Desa Adat merupakan aturan yang dibuat oleh desa adat dan/atau banjar adat yang berlaku bagi karma adat, karma tamiu (warga pendatang), dan tamiu (tamu). Sedangkan perarem adalah aturan/keputusan paruman desa adat (rapat desa adat) sebagai pelaksanaan awig-awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau menyelesaikan perkara adat.
Baca juga Dispernaker Badung Canangkan SMK Pandawa Bali Global Role Model SMK Siap Kerja
Model pengaturan secara hukum adat dan hukum nasional yang berkenaan dengan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan merupakan cerminan pelaksanaan pluralisme hukum yang bertujuan untuk ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Pluralisme hukum dapat didfinisikan sebagai interaksi antara dua jenis hukum atau lebih di dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan pemahaman pluralisme hukum dikaitkan dengan peran KMHA dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, tampak ada dasar bahwa pluralisme hukum menjadi landasan untuk bersinergi antara hukum adat dengan hukum nasional dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masyarakat.
Baca juga Ungkap Jaringan Narkoba, Polresta Denpasar Terima Penghargaan Dari BNNP Bali
Dalam konteks pemeliharaan dan ketentraman desa adat, masyarakat adat melalui desa adat juga mempunyai kewenangan dalam penyelesaian perkara adat. Sehingga, masyarakat adat mempunyai peluang untuk upaya pencegahan dan menjamin terlaksananya pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual di lingkungan masyarakat adat.