


Kemerdekaan yang “Menjajah”

A.A.Ngr.Eddy Supriyadinata Gorda
Indonesia akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 kemerdekaannya tahun ini. Sebuah momentum yang penuh makna bagi bangsa ini. Di tengah sorak-sorai perayaan, dengan bendera merah putih berkibar di setiap sudut negeri dan lagu-lagu kebangsaan bergema di udara, kita seharusnya tidak hanya larut dalam euforia. Justru, inilah saat yang tepat untuk merenungkan kembali makna dari kemerdekaan yang telah kita raih.
Kita perlu bertanya dengan jujur, apakah kemerdekaan yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata benar-benar telah membawa kebebasan sejati bagi seluruh rakyat Indonesia? Atau, ironisnya, apakah di balik kemerdekaan yang kita banggakan ini tersembunyi bentuk-bentuk baru dari penjajahan yang lebih halus, lebih terselubung, dan mungkin lebih sulit dilawan?
Penjajahan tidak lagi datang dalam bentuk kapal perang dan kolonialisme terang-terangan, melainkan melalui mekanisme-mekanisme yang lebih subtil, yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Dari ketergantungan ekonomi yang mengikat, hingga infiltrasi budaya asing yang mengikis jati diri bangsa, dan politik yang dikuasai oleh oligarki yang korup—semua ini adalah tanda-tanda bahwa kemerdekaan kita mungkin belum sepenuhnya utuh.
Seiring dengan perayaan kemerdekaan yang ke-79 ini, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi mendalam: apakah cita-cita kemerdekaan yang dulu diperjuangkan sudah benar-benar terwujud, atau apakah kita justru telah terjebak dalam bentuk-bentuk baru dari penindasan yang lebih terselubung dan kompleks? Pertanyaan ini layak kita ajukan, bukan hanya sebagai refleksi sejarah, tetapi juga sebagai panduan untuk masa depan bangsa.
“Penjajahan Ekonomi: Ketergantungan yang Memiskinkan”
Salah satu bentuk penjajahan modern yang sering kali tidak kita sadari adalah ketergantungan ekonomi yang semakin memperlemah kedaulatan bangsa. Dalam era globalisasi ini, Indonesia menjadi bagian dari sistem ekonomi dunia yang lebih sering menguntungkan negara-negara maju daripada negara-negara
berkembang seperti kita.
Ketergantungan pada investasi asing dan utang luar negeri telah membuat kita terjebak dalam lingkaran setan yang sulit untuk dihindari, kebijakan ekonomi cenderung berpihak pada pemodal besar daripada kepentingan rakyat kecil, menciptakan ketimpangan yang semakin nyata.
Fenomena ini juga tercermin dalam kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah terus tertekan dan bahkan berada pada level terburuk sejak Pandemi Covid-19. Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat kemarin, rupiah melemah sebesar 0,12% di angka Rp16.445/US$, dan sempat menyentuh titik terlemahnya di level Rp16.475/US$. Hal ini menunjukkan betapa rentannya ekonomi kita terhadap tekanan eksternal, terutama dari negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang jauh lebih besar seperti Amerika Serikat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, dalam sebuah pemberitaan pernah menegaskan bahwa salah satu faktor fundamental yang menekan rupiah adalah ketergantungan Indonesia pada impor untuk memenuhi kebutuhan bahan-bahan pokok masyarakat. Kebutuhan dolar yang tinggi untuk membeli produk-produk asing ini semakin memperburuk posisi rupiah di pasar global.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mempertegas kenyataan ini. Pada periode Januari-Mei 2024, impor beras ke Indonesia meningkat tajam sebesar 165,27% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika pada Januari-Mei 2023 impor beras tercatat sebanyak 854 ribu ton, maka pada periode
Januari-Mei 2024 angkanya melonjak menjadi 2,2 juta ton. Ketergantungan yang besar pada impor untuk kebutuhan dasar seperti beras menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan ekonomi kita. Ketergantungan ini tidak hanya melemahkan mata uang nasional tetapi juga menandai kelemahan struktural yang lebih dalam dalam perekonomian kita.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan yang mendalam: Apakah kita benar-benar merdeka secara ekonomi jika kita terus-menerus berada di bawah bayang-bayang kekuatan ekonomi global yang memaksa kita bergantung pada mereka untuk kebutuhan dasar?
“Penjajahan Sosial-Budaya: Globalisasi yang Mengikis Identitas” Penjajahan sosial-budaya menjadi ancaman yang semakin nyata di era globalisasi, di mana budaya asing dengan mudah masuk dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Fenomena Kpop, misalnya, telah merasuk dalam kehidupan generasi muda, mulai dari cara berpakaian hingga pola pikir mereka. Pengaruh budaya Korea ini tidak hanya terbatas pada musik, tetapi juga membawa serta gaya hidup dan nilai-nilai baru yang kerap kali membuat anak muda lebih mengenal budaya Korea daripada warisan budaya lokal mereka sendiri.
Selain K-pop, perayaan-perayaan asing seperti Halloween dan Valentine’s Day juga semakin populer di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Tradisi ini, yang tidak memiliki akar dalam budaya Indonesia, kini semakin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sering kali menggeser perhatian dari tradisi lokal yang sarat makna dan nilai-nilai budaya. Misalnya, Halloween dengan kostum seramnya menarik minat banyak orang, sementara Hari Sumpah Pemuda yang mengajarkan persatuan sering kali terabaikan.
Begitu pula, Valentine’s Day yang diidentikkan dengan ekspresi cinta mulai menggantikan tradisi lokal yang menekankan ikatan keluarga dan kebersamaan komunitas.
Ketika budaya asing semakin mendominasi, identitas budaya lokal berisiko terpinggirkan. Fenomena Kpop dan adopsi perayaan asing ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh identitas budaya kita di tengah arus globalisasi. Jika tidak disikapi dengan bijak, Indonesia mungkin akan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan tradisi.
“Penjajahan Politik: Oligarki dan Korupsi yang Menjerat”
Kemerdekaan politik yang diharapkan mampu membawa kedaulatan rakyat sering kali hanya menjadi slogan kosong. Dalam realitasnya, kekuasaan masih terpusat pada segelintir elite yang menciptakan oligarki dan memperburuk keadaan demokrasi di Indonesia.
Oligarki ini tidak hanya menguasai sektor politik, tetapi juga ekonomi dan media, yang semakin mempersempit ruang bagi partisipasi publik yang sesungguhnya. Dalam sistem yang dikuasai oleh segelintir orang, kepentingan rakyat sering kali terabaikan, dan kebijakan yang diambil lebih menguntungkan para elite daripada masyarakat luas.
Korupsi menjadi masalah besar yang semakin memperparah situasi ini, membuat demokrasi kita menjadi pincang dan tidak mampu memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. Salah satu contoh paling mencolok adalah kasus korupsi yang melibatkan proyek e-KTP, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Dalam kasus ini, sejumlah pejabat tinggi, termasuk anggota DPR dan pengusaha, terlibat dalam praktik korupsi yang terorganisir. Korupsi yang melibatkan anggaran publik ini menunjukkan bagaimana kekuasaan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, merusak kepercayaan publik, dan menghambat pembangunan yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.
Selain itu, korupsi di sektor lain seperti pengadaan alat kesehatan saat pandemi Covid-19 juga menambah daftar panjang kasus-kasus yang menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman korupsi dalam sistem politik kita. Saat rakyat berjuang menghadapi krisis kesehatan, segelintir pejabat malah memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi.
Kasus-kasus seperti ini mencerminkan betapa rusaknya tatanan politik di Indonesia, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya beredar di kalangan yang sama, sementara rakyat hanya menjadi penonton dalam proses yang seharusnya demokratis. Tanpa upaya serius untuk mengatasi oligarki dan korupsi, kemerdekaan politik yang sejati akan terus menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.
Dunia Pendidikan Kita: Jalan Menuju Kemandirian atau Feodalisme Baru?
Pendidikan di Indonesia sering kali gagal memerdekakan anak didik, lebih fokus pada pencapaian gelar daripada esensi ilmu pengetahuan. Banyak lulusan memiliki gelar akademik tetapi minim keterampilan praktis, sehingga kesulitan mendapatkan pekerjaan yang relevan. Hal ini menciptakan fenomena pengangguran di kalangan terpelajar dan menunjukkan adanya kesenjangan antara pendidikan formal dan kebutuhan dunia kerja.
Selain itu, sistem pendidikan yang elitis dan mahal semakin memperburuk kesenjangan sosial, hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Pendidikan berkualitas seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mobilitas sosial, namun kenyataannya justru menjadi beban ekonomi bagi banyak keluarga. Frustrasi masyarakat semakin meningkat ketika mereka melihat bahwa pendidikan yang mahal tidak selalu menjamin peningkatan kualitas hidup.
Untuk mengatasi masalah ini, reformasi pendidikan yang menyeluruh diperlukan. Pendidikan harus kembali pada esensinya, membekali siswa dengan keterampilan yang relevan, memperluas akses pendidikan berkualitas, dan lebih responsif terhadap perubahan zaman. Tanpa perubahan ini, pendidikan akan terus menjajah, bukan memerdekakan, anak didik di Indonesia.
Pada akhirnya, sejumlah permasalahan di atas harus membawa kita pada sebuah kesadaran baru bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya tentang terbebasnya suatu bangsa dari belenggu kolonialisme, tetapi juga tentang bagaimana setiap warga negara merasakan kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan yang nyata dalam menjalani kehidupannya.
Kemerdekaan harus mencakup kemampuan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan identitas bangsa, tanpa terjebak dalam ketergantungan ekonomi yang memperlemah, pengaruh budaya asing yang mengikis jati diri, atau sistem politik yang dikuasai oleh oligarki dan korupsi.
Sayangnya, realitas yang kita hadapi saat ini menunjukkan bahwa banyak warga negara masih belum merasakan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, pendidikan yang tidak memerdekakan, dan sistem politik yang hanya menguntungkan segelintir elite mencerminkan bahwa kemerdekaan kita masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, kita harus berani melakukan introspeksi dan mengambil langkah nyata agar kemerdekaan yang kita rayakan tidak menjadi sekadar simbol, melainkan menjadi sebuah kekuatan yang benar-benar membebaskan. Mari kita wujudkan kemerdekaan yang memerdekakan setiap aspek kehidupan kita, bukan kemerdekaan yang justru menjajah dalam bentuk-bentuk baru yang lebih halus dan sulit dilawan.