Bantu Masyarakat dengan Konsep Pemberdayaan

I Nyoman Sumardika “Ligir” melakukan transaksi dengan perajin bahan-bahan upakara asal Bangli.

DENPASAR-DiariBali

Usai menyerahkan barang berbungkus kresek merah dan kardus kecil bekas minuman teh kemasan, senyum Nyoman Abdi dan istrinya seketika mekar saat menghitung segepok uang pecahan Rp 100.000. Di antara uang kertas bergambar Soekarno-Hatta itu, terselip juga beberapa lembar uang pecahan Rp 5.000.

Sore itu, Sabtu (17/7/2021) Abdi menerima uang hasil traksaksi perlengkapan upakara “ngaben” pesanan I Nyoman Sumardika yang tinggal di Jalan Wibisana, Denpasar. Rasa lelah Abdi setelah melahap aspal sejauh 60 kilo meter dengan “kuda besi”-nya terbayar lunas.

Abdi adalah salah satu perajin perangkat upakara asal Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli yang diberdayakan oleh Sumardika. Pemilik sapaan karib Man Ligir ini mulai menekuni usaha penyedia banten sejak satu setengah tahun lalu, tepatnya, saat Pandemi Covid-19 menghantam Bali. Namun, idenya ini telah lama muncul di benaknya.

Man Ligir bukan orang sembarangan. Ia adalah Anggota Komisi IV DPRD Kota Denpasar dari Fraksi PDI Perjuangan. Sebelum terpilih dan dilantik menjadi wakil rakyat 19 Agustus 2019 lalu, Man Ligir dikenal sebagai pengusaha dekorasi, kuliner, peternak babi dan pegawai PD Pasar Badung.

Bagi masyarakat sekitar, tak ada yang meragukan loyalitas dan totalitas seorang Man Ligir. Ia dikenal gemar berbagi. Tak terhitung berapa kali Man Ligir menggratiskan sewa tenda dan kursi bagi masyarakat. Deretan mobil yang didominasi bak terbuka miliknya juga hampir setiap hari dipinjam orang, Ia tak pernah menuntut apa-apa.

Setelah menjabat anggota dewan, Man Ligir merasa tanggungjawabnya semakin besar untuk rakyat yang diwakilinya. Rasa ingin berbagi makin bergelora dalam dirinya. Namun, apa daya, bisnis dekorasinya sepi job lantaran pembatasan kegiatan masyarakat. Sumber dari peternakannya juga mati setelah ia memutuskan berhenti beternak babi.

“Saya enggak enak pelihara puluhan babi di kota, soalnya buang limbah susah. Nanti jadi contoh di masyarakat kan enggak pantas,” kata Man Ligir, ditemui di kediamannya, Sabtu (17/7/2021). Sebelumnya, Man Ligir memelihara 20 lebih ekor babi. Biasanya, beberapa ekor babi peliharaannya akan dipotong lalu dibagikan secara cuma-cuma untuk warga sekitar setiap Penampahan Galungan.

Situasi memang berubah sejak virus korona mewabah. Semua lapisan masyarakat merasakan dampak, tak terkecuali dirinya. Dari sini lah muncul konsep pemberdayaan. Man Ligir memulai usaha jasa banten untuk segala jenis yadnya. Ia memang tak tahu banyak soal “palelutuk bebantenan” tapi itu tidak mengganjal tekadnya.

Man Ligir menggandeng Sharati dari Jero Kuta, Denpasar, AA Ngurah Agung sebagai nahkoda usahanya dibantu puluhan puluhan ibu rumah tangga di sekitar kediamannya. Begitu memulai, usahanya ini tergolong lancar. “Orientasi saya bukan keuntungan. Tapi bagaimana saya membantu umat Hindu dalam menggelar upacara yadnya dengan biaya terjangkau dan servis tambahan berupa tenda, kursi dan sarana protokol kesehatan,” imbuh bapak dua anak ini.

Lewat usaha barunya ini, Man Ligir mengaku berhasil menggeliatkan ekosistem perekonomian. Sebab, seluruh perangkat upakara yang digunakan dibeli langsung dari warga sekitar, mulai dari porosan, tumpeng, cemper, daksina, ayam, bebek, babi dan lain sebagainya. Untuk bahan-bahan tertentu, Man Ligir memesan hingga ke luar Denpasar, seperti contoh Nyoman Abdi yang berasal dari Bangli.

Secaara tidak langsung, Man Ligir telah mendukung Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Apalagi, peraturan ini ditelurkan oleh bosnya sendiri Wayan Koster yang notabene Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali. Tepat dikatakan “Satu Jalur”.

Sejauh ini, tidak kurang dari 25 ibu rumah tangga yang dipekerjakan oleh Man Ligir. Jika sedang sepi, hanya beberapa saja. Namun, ia yakin upacara bagi umat Hindu akan terus berjalan sepanjang zaman. “Karena keperluan banten menyangkut dewasa, ya tidak setiap hari tenaga kita bekerja. Cuma ada saja kerjaan untuk menyiapkan stok bahan,” ungkapnya.

Upaya Man Ligir patut diapresiasi. Di tengah porak-porandanya perekonomian, pemberdayaan semacam ini sangat dinanti masyarakat. Ibarat pepatah, berilah pancing, jangan ikannya—apalagi yang sudah digoreng. Beberapa oknum pejabat masih suka menerapkan pola “memberi ikan”. Praktik semacam ini hanya memunculkan rasa manja dan tidak edukatif.

Sejak ia menggeluti jasa pembuatan banten, rumahnya ibarat kampus. Tempat belajar melestarikan warisan leluhur Bali dalam bentuk bebantenan. Man Ligir mempersilakan Para Yowana untuk ikut belajar mengenal bebantenan agar Bali tidak kehilangan generasi.

Sejauh ini, Man Ligir baru melayani umat di sekitar Kota Denpasar yang didominasi upacara ngaben. Ia tak menutup pintu bagi umat Hindu di luar ibu kota yang memerlukan jasanya. “Hanya saja kita harus ketemu langsung untuk memastikan kesiapan. Sebab, ada desa kala patra yang harus disesuaikan dengan tempat upacara. Jadi harus ada koordinasi yang matang dulu,” kata Man Ligir memungkasi. (BAQ)