Upacara Nilapati Bermakna Penyatuan, Sesedet Abu Melambangkan Bhakti terhadap Leluhur

Karangasem, diaribali.com–
Berbagai rangkaian upacara telah terlaksana sebelum dan sesudah upacara ngaben (pitra yadnya). Dalam sastra disebutkan bahwa seteah melaksanakan upacara Ngeroras, Atma Wedan, Baligia atau Memukur wajib melaksanakan upacara Ngentegang.
Seperti diketahui, pelaksanaan upacara ngaben yang sukses digelar secara bersamaan oleh trah Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas pada (4/7) dan Ngeroras pada (16/7) yang diikuti enam dadia, beserta rangkaian nyegara gunung dan maktiang dewa hyang berjalan lancar sesuai dudonan. Kini tiba saatnya dilaksanakan upacara Ngentegang Dewa Hyang secara bersamaan pula.
Ngentegang lumrah disebut Nilapati, merupakan ritual terakhir dari rangkaian ngaben, yaitu upacara penyatuan antara leluhur yang baru selesai diaben dengan leluhur yang sudah lebih dahulu diaben yang umum juga disebut Ngelinggihang Dewa Hyang.
“Upacara Nilapati atau Ngelinggihang Dewa Hyang memiliki pemaknaan menyatukan antara yang baru selesai diaben yang sebelumnya bernama wayan, made, ketut, kini tidak lagi disebut seperti itu melainkan Purusa dan Predana yang menyatu menjadi betara kawitan,” papar Ida Pedanda Gede Batuaji saat memberi Dharma Tetimbang usai muput upacara Nilapati di Pura Paibon Sira Arya Getas Desa Anitga, Kecm Manggis, belum lama ini.
Selain itu, mantan birokrat Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Bidang Adat (Pedanda red) menegaskan, makna dari upacara Nilapati merupakan menyatukan menjadi Betara Kawitan, manakala dalam menjalankan kehidupan sebelumnya pasti memiliki kekurangan dan bertingkah laku kurang baik, maka keturunan wajib membayar hutang atau Rna dengan jalan Pitra Rna, jasa leluhur yang disebut Panca Winda yang mesti dibayar oleh keturunannya yang berarti Jasa orangtua melahirkan kita, Memberikan makanan atau mebesarkan kita, Memberikan pengetahuan baik dengan menyekolahkan , Mencarikan obat saat sakit, dan terakhir yaitu menyucikan terhadap jasa leluhur yang patut dibayar melalui jalan yadnya atau naur danda kalepasan.
Setelah upacara ini dilaksanakan berstanalah leluhur pada rong tiga kanan stana bapan ta ring tengen atau purusa yaitu dewa brahma saktinya dewi saraswati dan ibun ta ring kiwa yaitu saktinya bhatari sri dan di tengah adalah siwa sehingga seketurunan beliau akan selalu dibimbing.” Ada tiga yang dicari di dunia ini, yaitu pengetahuan, guna, dan menjalankan kehidupan,” imbuh Pedanda.
Lebih jauh disebutkan, kalau kita sebagai penerus atau keturunan beliau lupa terhadap leluhur ada tiga yang tidak diberi yaitu oleh leluhur yaitu pengetahuan, uang, dan kehidupan yang harmonis, maka berbhaktilah terhadap orangtua/leluhur.
Selain itu, masih kata Pedanda, bahwa di era globalisasi saat ini, sastra, agama selalu berdampingan. Globalisasi dalam agama bukan merusak tatanan agama. Justru peradaban akan mempercepat tujuan melalui paras paros sarpana ya dengan selalu memupuk rasa persatuan dan kesatuan dengan spirit Bhakti Satya Wirang.
Setelah pelaksanaan upacara Nilapati usai, barulah tapakan atah puspa kembali dibakar menjadi sekah tunggal. Selanjutnya abu tersebut dimasukkan dalam kelapa atau bungkak gading untuk ditanam di belakang pelinggih pejenengan. Dan sisa dari abu tersebut digunakan untuk ‘Sesedet’ di selaning lelata sebagai wujud bhakti terhadap leluhur.
Upacara yang digelar sejak beberapa bulan sebelumnya ini tentu memakan waktu panjang, biaya dan kerja yang tulus iklas tak lepas dari tapa, yadnya, dan kerti.
“Yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas, pengeleburan, serta penyucian menuju kerti. Sehingga apa yang menjadi harapan kita hidup di dunia ini dapat terwujud mencapai kesejahteraan atau Suka (gembira), Sadya (mampu menjalankan dharma kauripan), Rahayu (sehat atau selamat). (Art)