Tungtung Tangis
LEMPARAN senyum dari Sekar siang itu membuat Karta senang bukan kepalang. Karta dan Sekar secara tak sengaja berpapasan di jalan. Sekar dibonceng suaminya beserta tiga anaknya. Ahhh…sudah seperti Men Brayut saja.
Karta memacu gas sepeda motor supra milik bapaknya yang tanpa BPKB dan STNK itu. Mendobrak pintu kamar. Membongkar lemari, laci meja hingga rak buku. Di mana mantra Tuntung Tangis yang diberikan Sipri tujuh belas tahun silam?
Jarinya merogoh telpon pintar di saku celana. Memutar lagu Kangen Band di kanal YouTube. “Kekasih yang dulu hilang kini dia t’lah kembali pulang… Akan ku bawa dia terbang damai bersama bintang hoo…”.
“Sial…mantra yang ia anggap tak mempan itu ternyata baru membuahkan hasil. Senyuman Sekar adalah buktinya. Tapi di mana aku menaruhnya?”.
Seingat Karta, dia menulis mantra itu dengan kertas bekas bungkus rokok asam garam yang kini sudah tidak berproduksi lagi.
Awal-awal tahun milenium, rokok kretek asam garam sangat populer di kalangan warga Desa Batu Belah. Tukang bangunan dan petani sagat menggemari nya, tak terkecuali bapak Karta.
Di tengah kegalauannya, Karta berusaha tenang. Sekuat tenaga ia masuk ke lorong waktu, mengingat bait mantra yang tak terlalu panjang itu. Jika dia tidak berhasil mengingatnya, cara satu-satunya adalah menemui Sipri.
Tapi menemukan Sipri adalah sebuah kemustahilan. Siprianus Klaransean dos Santos merupakan teman lama Karta. Dia berkenalan di Kota Bandung sekitar 16 tahun lalu. Sipri saat itu numpang di rumah sanak saudaranya.
Sipri bekerja serabutan. Keahlian khususnya yakni mengukir kayu khas Suku Tetun. Sipri memutuskan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sejak Referendum Provinsi Timor-Timor menjadi Negara Timor Leste.
Dua sepupunya, Jose Tabares Sarmento sukses menjadi pegawai negeri sipil tugas di Dinas Peternakan Kota Bandung. Satu lagi, Francisco Maria Tanaya, menjadi pengusaha sukses mengelola toko elektronik di Kota Denpasar.
Sipri nampaknya merasa menjadi orang paling gagal di keluarga besarnya. Karena itu dia menjadi manusia nomaden. Ia dikenal ramah dan supel. Sehari berkenalan dengannya, terasa berteman sembilan tahun. Begitu pengakuan orang-orang yang mengenalnya.
Itu sebabnya, Sipri dengan cepat menguasai budaya dari luar daerah asalnya. Termasuk mantra Tungtung Tangis yang diajarkan kepada Nyoman Karta.
*
Semilir yang keluar dari kipas angin di kamarnya menyapu rambut tipis Karta. Sehelai rambut yang ujungnya agak pancang sampai masuk ke rongga bibirnya. Beberapa kali ia memicingkan mata, mengerutkan dahi, akhirnya…
“Iki mantra tuntung tangis. Mantra sapi culo manakan. Asukonkon duk kinggang gumi pertiwi. Akasa sungkonkon anunggang…mrene, mrene, merena atma si Made Sekar”. Butuh waktu 9 jam lamanya, Karta akhirnya berhasil mengingat mantra itu.
Salah satu kelebihan Karta memang menghafal mantra. Sebelum masuk sekolah dasar pun dia sudah hafal beberapa mantra sehari-hari, seperti doa makan, mandi, bangun tidur dan panca sembah.
“Om jagrasca prabhata kalasca ya nama swaha,” ucap Karta saat bangun tidur. Saat hendak menelan makanan dia berdoa: “Om anugraha amrethadi sanjiwani ya nama swaha”.
Setelahnya dia mengucapkan Om Dirgayurastu, awignamastu, sukambhawantu”. Dan masih banyak mantra lain yang dia hafal. Hal yang tidak bisa dilakukan teman sebayanya kala itu.
“Kau itu keturunan pemangku,” ucap Ketut Sumedana, ayah Karta.
Dulu, enam belas tahun lalu, Karta amat sangat meragukan kekuatan mantra pemberian Sipri.
“Dia orang suku asli Timor Leste atau Tetum atau Belu di Indonesia. Kenapa mantranya bukan bahasa Tetum yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia?”.
Namun di tengah keputusasaan, Karta mencoba melantunkan mantra itu dengan khusyuk sebulan penuh. Dari purnama ke purnama berikutnya.
Sipri menyarankan agar Karta membaca mantra itu tiga kali sehari sehabis Puja Tri Sandhya. “Setelah itu tepuk tanah tiga kali. Atma Sekar akan menangis sedu, meminta kembali kepadamu,” kata Sipri seingat Karta.
Karta dan Sekar, dua sejoli satu kampung. Saat jadian, mereka sama-sama duduk di bangku kelas 2 SMA.
Nyoman Karta tergolong remaja tampan dan cerdas. Berkat kecerdasannya pula, dia mendapatkan undangan masuk ke Universitas Padjajaran, Bandung dengan skema beasiswa.
Sementara di keluarga Sekar, sekolah tidak menjadi prioritas untuk anak perempuan. “Buat apa sekolah, toh juga ujung-ujungnya ngurus rumah tangga”.
“Emang kalau kuliah bisa gantiin pak bupati?,” kalimat seperti itu teramat akrab di telinga Sekar.
Kedua sejoli itu kepincut saat kerja bakti muda-mudi desa membersihkan areal Bukit Batu Belah. Bukit yang tandus tapi menawarkan view pantai Labuhan tersebut menjadi destinasi wisata tracking di desanya. Menjadi langganan turis Jepang dan Belanda.
Pasca-kerja bakti, Karta dan Sekar sering bertemu. Sepulang sekolah, keduanya menghabiskan waktu berjam-jam di Bukit Batu Belah. Di sana pula, mereka sepakat mengikrar janji sehidup semati.
Layaknya remaja yang sedang mencari jati diri dan dilanda masa puber, Karta memberanikan diri mencium kening Sekar. Berlanjut ke pipi, hidung, mulut hingga lidah keduanya saling lumat.
Tak ada satu hari pun terlewatkan. Dua bulan menjalin asmara, Karta bahkan berani masuk ke kamar tidur Sekar melewati celah jendela belakang. Aksinya tergolong nekat. Sebab kamar Sekar bersebelahan dengan kamar orangtuanya.
“Kamu bisa lakukan apa saja. Aku serahkan jiwa ragaku,” bisik Sekar malam itu. Sekar menyerahkan dengan iklhas kehormatannya kepada Karta, disaksikan cicak-cicak di dinding.
**
“Maafkan ibu. Ibu enggak bisa mencegah Sekar”.
“Sudah dulu ya. Ibu mau ke pasar,” kalimat yang keluar dari mulut Ketut Sari, ibu Sekar, tak bisa dicerna lagi oleh Karta.
Sekujur tubuhnya kaku. Matanya buram. Bibirnya tak mampu mengeluarkan kata, dan, kedua telinganya seolah tuli, persis ketika berada di puncak Bukit Batu Belah yang bertekanan udara rendah.
“Sekar, kenapa kau tega mengkhianatiku? Bukannya kita berjanji akan menikah setelah aku lulus dari Bandung dengan gelar sarjana teknik?”.
Sekar, bunga desa yang menjadi dambaan banyak pemuda berubah menjadi perempuan ramah berlebihan–kalau tidak mau dibilang genit, kepada setiap pemuda yang mendekatinya.
Sekar mulai kecanduan berhubungan seksual dengan lawan jenis. Sekar begitu mudah gonta-ganti pasangan setelah ditinggal menempuh pendidikan oleh Karta, pemuda yang tampan juga cerdas itu.
Libur semester yang semestinya membahagiakan bagi Karta berubah menjadi duka. Dia memutuskan segera balik ke Bandung, meski tidak ada jadwal perkuliahan.
Karta terus memikirkan cara merebut kembali cinta pertamanya. Hanya Sekar yang bisa membuatnya bahagia. Gadis desa dengan rambut panjang, sopan, berpenampilan seksi. Karta melihat segala kesempurnaan wanita ada dalam diri Sekar.
Di Bandung semasa libur semester, Karta menghabiskan hari demi hari di jalanan. Dia tidak memikirkan apa-apa lagi selain Sekar. Di sanalah dia bertemu dengan Sipri yang membantunya dengan mantra Tungtung Tangis.
Tungtung Tangis merupakan mantra dengan dosis tertinggi bagi penderita patah hati ditinggal kekasih. Tungtung Tangis dianjurkan pada mereka yang parah dengan gejala hampir gila hingga sampai berniat mengakhiri hidup.
Jika gejala sedang, seperti tidak enak makan, tidak bisa tidur, Sipri, pria yang punya kebiasaan menarik-narik kupingnya saat bicara itu, cukup mengajarkan mantra Tungtung Asih.
Sementara pada penderita biasa-biasa saja, namun tetap menginginkan mantannya kembali, ia cukup memberikan mantra Tungtung Serira sebagai obat mujarab.
**
“Aku menyesal meninggalkanmu. Ternyata kamu pria paling baik. Temui aku di Pondok Mawar Jalan Parkit tanggal dan jam sekian,” Karta membaca chat WhatsApp masuk dari nomor tak dikenal.
Diam-diam Sekar ternyata mencari tahu nomor telpon Karta dari teman-teman sekolahnya dulu. Keduanya pun kembali menjalin hubungan terlarang karena status Sekar sudah menjadi istri orang.
Namun kekuatan cintanya kepada Sekar membuat mata Karta gelap. Setiap 3 kali seminggu mereka rutin memadu kasih di penginapan yang konon milik salah satu pengusaha yang dekat dengan penguasa itu.
“Iki mantra tuntung tangis. Mantra sapi culo manakan. Asukonkon duk kinggang gumi pertiwi. Akasa sungkonkon anunggang…mrene, mrene, merena atma si Made Sekar” akhirnya setelah 16 tahun mantra ini bermanfaat juga, gumam Karta.
Meski Sekar sudah kembali ke genggamannya, Karta mulai rajin membaca Tungtung Tangis di malam hari.
“Iki mantra tuntung tangis. Mantra sapi culo manakan. Asukonkon duk kinggang gumi pertiwi. Akasa sungkonkon anunggang…mrene, mrene, merena atma si Komang Robet”.
Karta mendadak dibangunkan oleh lantunan mantra di kamar sebelah. Diarahkan jarinya menggosok kedua mata, sesekali menampar pipinya sendiri untuk memastikan dia tidak sedang bermimpi.
Savitri, istri, Karta ternyata juga rutin melafalkan mantra Tungtung Tangis untuk mantannya, Komang Robet. Dia mengerti maksud istrinya. I Karta hanya tertunduk diam.