Sucita Pulang ke Banjar

Buleleng,diaribali.com —
Desa Adat Banjar kembali menunjukkan kesungguhan merawat akar budayanya. Melalui rangkaian pembinaan seni metembang—dari kekidungan hingga kakawin yadnya—krama setempat mendorong tradisi pesantian tetap hidup dalam setiap upacara. Upaya itu bukan semata pelestarian seni, melainkan menjalankan esensi ajaran Hindu yang menjadikan tetembangan sebagai unsur tak terpisahkan dalam upacara Yadnya di Bali.
Di antara tradisi tetembangan, Geguritan Sucita menempati ruang paling istimewa. Karya monumental pujangga besar Ida Ketut Djelantik, putra Desa Adat Banjar, telah menyeberang jauh melampaui batas geografis desa. Geguritan ini berkembang pesat hingga ke berbagai wilayah transmigrasi Bali. Di tempat-tempat itu, pesantian menjadi ruang berkumpul warga, dan Sucita menjadi teks yang akrab dilagukan. “Di mana pun bertugas, saya selalu menemukan geguritan ini hidup di kalangan masyarakat,” ujar Bendesa Adat Banjar, Ida Bagus Kosala, cucu sang pengawi.
Daya hidup Sucita bertahan berkat pesan moralnya yang dalam—tentang cara bertutur, menjaga perilaku, hingga memurnikan pikiran. Meski ditulis puluhan tahun silam, nilai-nilainya tetap relevan bagi generasi kini. Tak heran, karya yang diyakini lahir dari pewahyuan ini ditempatkan sebagai salah satu pusaka sastra penting di Bali. Dengan 1.877 bait, terbagi dalam 11 tembang dan 57 pupuh, Geguritan Sucita menjadi rujukan etika dan kebijaksanaan lintas zaman.
Ida Ketut Djelantik sendiri bukan nama sembarangan. Pernah bertugas di Kantor Agama Sunda Kecil Wilayah Buleleng pada 1932 dan kemudian di Kodam Raksa Buana (kini Kodam IX/Udayana), ia dikenal produktif menulis. Selain Sucita, sejumlah karya lahir dari tangannya—Aji Sangkya, Geguritan Lokika, Satua Men Tingkes, Geguritan Bhagawadgita, Gonika, hingga terjemahan Wrespati Tattwa dan Sarasamuscaya. Edisi pertama Geguritan Sucita diterbitkan pada 1961.
Kini, estafet pelestarian itu diteruskan generasi muda. I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd.H, penyuluh agama di Kementerian Agama Buleleng, menjadi salah satu penggerak yang konsisten. Sejak 2024, ia membangun ruang-ruang diskusi kreatif seperti KEDASIH Bali Utara (Kelompok Diskusi Asyik Intelektual Hindu), menggandeng Peradah, KMHDI, Prajaniti, organisasi mahasiswa, hingga pelajar. Pada setiap Tilem, mereka berkumpul di Wantilan Pura Agung Jagatnatha untuk membahas agama, budaya, dan nilai-nilai tradisi Buleleng.
Satria juga aktif mempopulerkan kembali pesantian. Pada 2017, ia menginisiasi pembacaan Geguritan Jayaprana sehari penuh di Pasraman Pasir Ukir—tradisi yang masih berlangsung setiap Sabtu. Kini, gagasan berikutnya diwujudkan melalui membaca Geguritan Sucita setiap Purnama, yang dimulai pada 8 Desember 2025 di Wantilan Pura Dalem Desa Adat Banjar. Kegiatan ini diharapkan menjadi ritual intelektual dan spiritual bulanan.
Kecintaan pada sastra itu melahirkan karya baru. Geguritan Kerthala, geguritannya sendiri yang sarat pesan bhakti, telah memperoleh pencatatan HAKI. Bagi Satria, susastra bukan sekadar seni tutur, melainkan medium pembelajaran keagamaan dan pembentukan karakter generasi muda. “Kalau geguritan Sucita lahir di Banjar, sudah selayaknya dimuliakan lebih dulu di tanah kelahirannya,” ujarnya.
Gaung pelestarian itu mendapat sambutan luas. Sebanyak 50 pengwacen dan peneges hadir dalam pembukaan pembacaan perdana Sucita: mulai dari Jero Made Redita, Ida Kade Subiksa, Ida Kade Arika, Ida Mangku Putu Jelantik, Gst Made Parmi, hingga Jero Mangku Nyomang Sinta dan A.A. Agung Widnyani. Mereka bergiliran membaca, meneges, dan mendiskusikan bait-bait geguritan dalam suasana teduh, menyatukan tradisi dengan keheningan Purnama.
Dukungan juga datang dari Jero Mangku Dalem dan para generasi muda Banjar. Mereka berharap kegiatan ini menjadi tradisi baru desa: wadah untuk neduhang jagat melalui susastra utama warisan leluhur. “Kalau bukan kita yang memuliakan, apakah kita rela hanya menjadi penonton ketika daerah lain menjunjungnya?” tegas salah satu perwakilan pemuda.
Satria mengamini. “Geguritan ini bukan hanya seni. Ia sarat ajaran, membawa manfaat bagi kesehatan batin, intelektualitas, dan sebagai wujud bhakti kita pada leluhur. Ia lahir di Banjar, dan Banjar mesti memuliakannya,” tutupnya.
Penulis: IK Satria (Penyuluh Agama di Kementerian Agama Buleleng).