eddy gorda

Peringatan sumpah pemuda selalu membawa kita kembali pada kesadaran bahwa pemuda telah lama menjadi elemen penggerak bangsa ini. Sejarah mencatat gerakan pemuda kerap muncul sebagai agen perubahan yang membawa ideologi dan cita-cita bersama. Barangkali masih jelas dalam ingatan bagaimana organisasi kepemudaan pada era pra-kemerdekaan seperti Boedi Oetomo, Tri Koro Dharmo, perkumpulan Indonesia Muda dan organisasi pemuda lainnya memperjuangkan persatuan dan kemerdekaan bangsa.

Atau kisah reformasi yang dimotori kelompok mahasiswa dan berhasil mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Optimisme generasi muda selalu muncul sebagai energi positif yang mendorongperubahan ke arah yang lebih baik. Kini langit Indonesia semakin gelap, angin berhembus kian kencang, ombak semakin bergejolak. Optimisme tersebut kembali dirindukan agar negeri ini dapat berselancar di ombak perubahan. Pada akhirnya, arah perkembangan bangsa ini menjadi pertaruhan besar bagi pemuda Indonesia. Memunculkan kembali optimisme tersebut tentu tidak mudah. Secara sabar dan sadar mari kita melakukan autokritik. Harus diakui bahwa sumber perkara terbesar ada pada kualitas pemuda Indonesia saat ini. Defisit moral, integritas, dan karakter telah menjadi isu kritis dalam berbagai diskusi.

Banyak pihak menilai hal tersebut setidaknya ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, sikap apatis. Fenomena pemuda yang sibuk bermain gawai hingga tidak peduli terhadap diri sendiri dan sesama, enggan bergaul dengan teman sebaya, pesimistis, mudah depresi, hingga belakangan kasus bunuh diri di kalangan remana kian meningkat menjadi indikasi adanya sikap apatis di kalangan pemuda. Kedua, adanya sikap terlalu egois, baik secara individual maupun komunal. Indikasi yang terlihat, mereka menjadi keras kepala, sulit dinasehati, mau enaknya sendiri, dapat dimanipulasi, mudah di-brainwashing, dan cepat menyalahkan orang lain yang berbeda tanpa pikir panjang.

BACA JUGA:  Kualitas Pendidikan Belum Merata

Menilik masalah tersebut, pendidikan nasional kerap dituding sebagai sumber masalah rendahnya kualitas pemuda Indonesia. Pendidikan dinilai “kering” akan nilai dan terlepas dari kebudayaan.
Pendidikan terlalu banyak menstandarkan diri pada standar-standar yang diadopsi dari negara-negara maju, sehingga terjadi pengabaian terhadap nilai dan kebudayaan lokal. Pendidikan belum mampu untuk memberikan ruang yang cukup untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang berakar dari kebudayaan dan kearifan lokal.

Membekali pemuda dengan berbagai pengetahuan memang penting agar mereka menjadi siap akansegala perubahan yang terjadi, namun tanpa pengembangan core value mereka akan “tersesat” dan terjebak dalam intelektualitas semu. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Atmadja (2014) yang mengungkap bahwa kondisi masyarakat indonesia yang semakin carut marut baik secara ekonomi, sosial, budaya, maupun ekologi merupakan salah satu bentuk adanya pengabaian aspek kebudayaan dan nilai dalam iptek. Bila dianalogikan, fenomena ini seperti adanya pengabaian terhadap paradigma Saraswati sebagai Dewi Kebudayaan, Dewi Kebijaksanaan, sehingga terjadi desakralisasi dan dehumanisasi terhadap iptek.

Dalam konteks kearifan lokal lain, Pagerwesi, pengetahuan yang dimiliki harus “dipagari” dengan keteguhan dan iman. Hanya dengan begitu manusia terhindar dan dijauhkan dari sifat awidya (kegelapan) yang ada dalam diri manusia. Karena jika sifat awidya tidak terkendalikan dapat menimbulkan berbagai macam tindakan mulai dari iri, dengki, marah, kejam, memfitnah, hingga sikap apatis dan egois.
Secara lugas Tilaar (2012) bahan menyampaikan bahwa pendidikan nasional yang tanpa arah karena tidak didasarkan pada nilai dan kebudayaan nasional tidak akan menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya dan beradab, tetapi menghasilkan buaya-buaya atu predator.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Dalam konteks perjuangan pembangunan bangsa hal demikian tentu sangat disayangkan. Di tengah derasnya arus perkembangan teknologi dan informasi, pemuda membutuhkan pegangan untuk terus bergerak memperjuangan nilai-nilai dalam mencapai cita-cita bersama berlandaskan semangat persatuan seperti yang telah diwariskan para pemuda pada era sebelumnya. Perlu dilakukan pemaknaan kembali pendidikan perlu dilakukan untuk mengembalikan marwah pendidikan sebagai lembaga yang memanusiakan manusia.

Perjalanan bangsa ini masih panjang. Generasi muda yang unggul sangat dibutuhkan untuk mengawal perjalanan tersebut agar tidak berhenti di tengah jalan. Upaya sistemik untuk merevitalisasi kualitas pemuda Indonesia perlu diformulasikan kembali. Modal kearifan lokal dan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia harus ditegakkan kembali sebagai landasan pendidikan. Berikan kesempatan yang seluasluasnya kepada generasi muda Indonesia untuk mengeksplorasi kearifan lokal dan kekayaan budaya Indonesia untuk kesejahteraan dirinya dan masyarakat Indonesia.

Meskipun dihadapkan pada tantangan yang besar, harapan akan adanya perubahan bangsa ini masih terletak di tangan pemuda. Terlebih di tahun 2045 merupakan tulang pungung pembangunan bangsa.
Komitmen untuk melakukan perbaikan tersebut secara sabar dan sadar harus dijalankan dan dicitacitakan bersama. Sabar untuk melakukan perbaikan pada pengembangan kualitas generasi muda Indonesia. Sadar bahwa pengetahuan saja tidak cukup. Internalisasi nilai dan budaya memainkan peranan penting sebagai kompas bagi generasi muda untuk membawa negeri ini mengaruhi lautan perubahan.