Raperda Retribusi Bagi Wisatawan Asing Diapresiasi Fraksi NasDem, PSI, Hanura
DENPASAR, diaribali.com – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Bali tentang Pungutan Bagi Wisatawan Asing untuk Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali mendapat apresiasi dari Fraksi NasDem, PSI, Hanura. Hal itu terungkap saat Rapat Paripurna ke-28 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023 yang berlangsung di Ruang Sidang Utama DPRD Provinsi Bali, Senin (17/7/2023)
Menurut PU Fraksi NasDem, PSI, Hanura yang dibacakan oleh Wayan Artha. “Apresiasi kepada Sdr. Gubernur Bali atas pengajuan Raperda Pungutan Bagi Wisatawan Asing. Sebelumnya, lebih dari satu dekade wacana di Bali yang sulit dilaksanakan karena kendala dukungan dari stakeholder maupun pemerintah pusat,” katanya.
Wayan Artha menyatakan, dengan adanya UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, maka pungutan terhadap wisatawan asing telah memiliki payung hukum. Sehingga, pungutan sebesar USD 10 per orang akan sangat menopang keberlangsungan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia. “Pungutan dari wisatawan asing ini harus benar-benar difokuskan bagi pemuliaan, pelindungan, serta pelestarian kebudayaan dan lingkungan alam di Pulau Dewata,” tegasnya.
Baginya, pungutan sebesar USD 10 atau senilai Rp 150 ribu sangat rasional dan tidak rentan resiko tergerusnya kedatangan wisatawan asing. Apalagi, berbagai negara di dunia lazim menerapkan pungutan bagi wisatawan asing. Bukan hanya negara besar dan maju, namun negara kecil di Asia Selatan seperti Bhutan juga menerapkan pungutan yang nilainya USD 200. “Sementara pesaing Bali, yakni Thailand tahun ini memberlakukan pungutan 300 Bath (sekitar Rp 130 ribu atau USD 8,6),” ungkapnya.
Meski demikian, Fraksi NasDem, PSI, Hanura memandang perlu ada pematangan mekanisme dalam menghadapi problematika dan tantangan pelaksanaannya. Seperti misalnya, mekanisme kutipan pungutan bisa langsung bekerjasama dengan pihak maskapai yang ditambahkan dalam tiket penerbangan dari negara wisatawan dimaksud, ataupun dari bandara keberangkatan lainnya di Indonesia.
“Jika pungutan dilangsungkan di bandara, maka akan menjadi tidak efektif dan efisien. Karena harus disediakan loket ataupun petugas yang harus memeriksa apakah wisatawan asing dimaksud sudah menyelesaikan kewajiban membayar USD 10,” jelasnya.
Selanjutnya, perlu transparansi keterbukaan alokasi dana yang dipungut dari wisatawan asing. Karena potensi dana yang bisa dikumpulkan mencapai Rp 750 miliar hingga Rp 900 miliar dengan asumsi jumlah wisatawan asing pada 2024 berkisar di angka 5 juta hingga 6 juta kedatangan wisatawan asing. Disamping itu, alokasi pungutan ini harus sesuai peruntukan, dan tanpa memangkas anggaran dari APBD Induk untuk sektor dimaksudkan dalam Raperda ini.
“Karena hakekatnya, pungutan ini adalah untuk meningkatkan sektor pemuliaan, pelindungan, serta pelestarian kebudayaan dan lingkungan alam di Pulau Dewata,” terang dia.
Fraksi NasDem, PSI, Hanura juga memberikan beberapa pandangannya terhadap Raperda tersebut. Diantara lain, perlunya koordinasi insentif dengan pemerintah pusat manakala pemerintah pusat juga memberlakukan tax tourism untuk setiap warga negara asing yang datang ke Indonesia. Agar jangan sampai wisatawan asing mendapat pungutan ganda.
Pintu kedatangan bagi wisatawan asing, keseluruhannya harus dikenai pungutan. Bukan hanya di bandara. Untuk pintu masuk laut seperti Pelabuhan Gilimanuk, Pelabuhan Padangbai, Benoa juga harus dikenai. Namun tarifnya harus berbeda, kenakan setengah harga atau USD 5, seperti langkah yang dilakukan Thailand, hanya mengenakan 150 bath untuk turis yang masuk lewat darat dan laut. “Ke depan perlu juga diskursus pungutan bagi wisatawan Nusantara yang datang ke Bali. Esensinya juga sama seperti untuk WNA,” tandasnya. rl