Pendidikan yang Membebaskan

d1
AA Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda

DARI waktu ke waktu, masalah pendidikan selalu menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan. Bagaimana tidak, menilik pada berbagai laporan mengenai kualitas pendidikan di Indonesia, rata-rata menunjukkan hasil yang kurang memuaskan.

Disrupsi pandemi Covid-19 semakin membawa kita pada titik kesadaran tertinggi bahwa telah terjadi ketimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan, guru dan siswa dipaksa untuk mempercepat adaptasi dengan berbagai perubahan yang ada.

Sekolah harus terus berjalan, guru tetap mengajar dan siswa tetap belajar, meskipun kondisinya belum optimal. Adaptasi yang dibuat telah menyebabkan “lompatan teknologi” yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Bagi mereka yang memiliki sumber daya yang cukup, guru terus berinovasi, menyempurnakan bentuk pembelajaran yang dilakukan.

Di sisi lain bagi mereka yang memiliki keterbatasan sumber daya, menciptakan cara belajar yang tidak konvensional selama pandemi. Banyak guru, terutama mereka yang berada di wilayah 3T, rela melewati medan yang berat untuk mengajar siswa.

Sementara pemerintah memberikan kontribusi untuk memperkecil learning lost yang terjadi dengan memberikan alternatif kurikulum, sarana pembelajaran, dan media pembelajaran melalui radio dan televisi. Seiring dengan beralihnya status pademi menuju endemi, pemulihan pembelajaran yang hilang harus terus diusahakan, mempersempit kesenjangan belajar yang ada, dan mengembalikan mereka ke sekolah.

Kini terbuka lebar ruang bagi kita untuk menyigi kembali penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Perubahan secara berkelanjutan harus terus dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Saya memiliki keyakinan, siapapun setuju bahwa pendidikan memegang peranan yang penting untuk membangun bangsa. Sejarah mencatat banyak negara yang bangkit menuju kemakmuran dan kesejahteraan dengan mengambil jalan pendidikan, sebut saja Jepang dan Korea. Meski demikian, kompleksitas situasi yang ada di Indonesia mendorong kita pada sebuah pertanyaan besar, “Bagaimana sebenarnya bentuk penyelenggaraan pendidikan yang ideal di Indonesia ?”

Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin kita harus melakukan time travelling, mundur seratus tahun ke belakang, kembali pada masa dimana taman siswa pertama kali didirikan. Ki Hajar Dewantara pernah mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus berdasarkan lima asas yang disebut Pancadarma. Lima asas permikiran tersebut adalah; asas kodrat alam, asas kemerdekaan, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan (humanity).

Berilah kemerdekaan dan kebebasan kepada anak-anak kita untuk menggali pengetahuan seluas-luasnya, namun tetap harus terbatas pada tuntutan-tuntutan (kodrat alam) dan menuju ke arah kebudayaan dan kearifan lokal, yakni keluhuran dan kehalusan hidup sebagai manusia. Agar kebudayaan tadi dapat mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakainya dasar (kebangsaan), akan tetapi jangan sekali-sekali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar negara yang lebih luas, yakni dasar kemanusiaan (humanity).

Keterkaitan lima asas dalam pancadarma tersebut memberikan pemahaman bersama bahwa sesungguhnya pendidikan lebih dari sekadar meningkatkan intelektualitas. Sinergi intelektualitas dengan pengembangan karakter dan budaya akan menghasilkan generasi penerus yang tidak hanya cerdas namun mampu mengarahkan intelektualitasnya sesuai dengan kodrat alam, lingkungan sosial dan kearifan lokal, serta taat pada asas negara. Terlalu berfokus pada peningkatan intelektual dan mengabaikan yang lain, hanya membawa generasi penerus kita tercerabut dari akar budayanya dan melupakan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Iklim kompetisi yang selama ini membudaya di sekolah perlahan juga perlu diubah orientasinya menjadi iklim kolaborasi. Setiap anak memiliki kecerdasan berbeda yang diaktifkan sesuai dengan nilai budaya, peluang, pengalaman, dan keputusan yang dibuat oleh individu. Oleh karenanya, dengan mengolaborasikan kecerdasan yang berbeda tersebut akan terbentuk pengetahuan dan daya kreativitas yang luar biasa. Iklim kolaborasi juga harus dikuatkan di tataran stakeholder, pengelola sekolah, terutama guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang bermakna.

Saya pikir, program Merdeka Belajar yang telah berjalan memiliki potensi yang besar untuk menciptakan iklim pendidikan yang ideal di Indonesia. Tentu saja hal ini harus didukung oleh pemahaman konsep dan implementasi dari hulu ke hilir agar bisa dilaksanakan secara konsekuen.

Kebangkitan pendidikan di Indonesia harus segera diupayakan dengan kekuatan maksimal. Bila dimanajemeni dengan baik, pendidikan mampu memberikan jalan keluar atas beragam masalah yang dihadapi oleh Indonesia. Terlebih sebagai seorang Hindu, saya memiliki kepercayaan penuh bahwa pendidikan memiliki peran signifikan untuk membebaskan keterbelengguan sifat-sifat kebendaan (physical) menuju kebebasan dan kebahagiaan sejati (moksa).

Di tengah berbagai tantangan yang ada, spirit kebangkitan pendidikan harus terus dikobarkan dan komitmen bersama harus terus dijaga. Jika hal ini tidak dilakukan, dunia pendidikan kita tidak akan pernah berubah, bahkan bisa jadi semakin tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya. Semoga pandemi yang kita hadapai selama dua tahun terakhir bisa memberikan pembelajaran yang banyak bagi kita untuk mulai membenahi manajemen pendidikan kita. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?