Musim Hujan dan Guru
Setelah mengalami masa krisis selama tiga tahun terakhir akibat Covid-19, perlahan bangsa kita mulai menapak ke arah perbaikan kembali. Meski demikian tampaknya awan hitam enggan beranjak dari dunia pendidikan di Indonesia. Media sosial kerap dihiasi oleh pemberitaan perkelahian remaja. Alasannya beragam, mulai dari perkara cinta hingga gengsi. Barangkali masih segar juga dalam ingatan berita yang sempat viral di medsos twitter mengenai sebuah surat cinta anak SD yang mengandung konten porno atau pelecehan seksual. Belum lagi berbicara mengenai kasus perundungan di sekolah yang tidak jarang berakhir memilukan. Serangkaian fenomena tersebut seolah menghembuskan pertanda bahwa pendidikan kita tidak sedang baik-baik saja. Awan hitam tersebut bisa berubah menjadi hujan badai, hanya masalah waktu. Di saat seperti ini sosok guru sebagai agen pembaharu kembali dirindukan, untuk mengubah hujan tersebut menjadi berkah langit yang membuat tanah menjadi subur, bukan hujan yang kemudian lantas menimbulkan bencana.
Dari satu diskusi ke diskusi yang lain, dari satu seminar ke seminar lain, banyak pihak telah sepakat bahwa pendidikan karakter kita perlu dibenahi. Potensi kemajuan ekonomi dari bonus bonus demografi 2045 akan sulit terwujud tanpa dibarengi oleh pendidikan karakter. Indonesia membutuhkan generasi muda yang memiliki jati diri, mentalitas, integritas, etos, dan budi pekerti untuk memajukan negaranya. Dalam hal ini guru merupakan aktor utama yang dapat melakukan transformasi tersebut. Dengan kata lain baik buruknya kualitas SDM Indonesia berada di tangan guru.
Atas dasar argumentasi tersebut perubahan kualitas dalam sistem pendidikan karakter di Indonesia akan sangat tergantung dari seberapa baik guru dalam menerjemahkan pendidikan karakter di sekolah. Guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang dapat menjadi ruang bertumbuh bagi siswa untuk mengembangkan karakter dan potensi dirinya. Kultur dan praktik pendidikan perlu dievaluasi kembali oleh guru. Penggunaan kurikulum yang instruksionis, mengekang, miskin inovasi dan kreasi harus mulai ditinggalkan. Keseimbangan penguasaan pengetahuan dan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan moralitasnya sangat dibutuhkan.
Secara lebih khusus Thomas Lickona mengungkapkan setidaknya terdapat 11 prinsip penting untuk menunjang keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Kesebelas prinsip tersebut mencakup: 1) Pengembangan etika dan nilai-nilai kompetensi utama sebagai landasan karakter yang baik: 2) Definisi karakter secara komprehensif dengan memasukkan pemikiran, perasaan, dan perilaku; 3) Penggunaan pendekatan pengembangan karakter yang komprehensif, intensional, dan proaktif; 4) Penciptaan masyarakat yang peduli budi pekerti; 5) Adanya kesempatan kepada siswa untuk melakukan tindakan moral; 6) Kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa dalam mengembangkan karakter mereka dan membantu mereka mencapai kesuksesan; 7) Pengembangan motivasi diri siswa; 8) guru dan staff yang memiliki budi pekerti yang ikut bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan karakter dan menanamkan nilai-nilai utama yang terarah kepada peserta didik; 9) Pengembangan kepemimpinan kolektif dan dukungan besar terhadap awal atau perbaikan pendidikan karakter; 10) Pelibatan anggota keluarga dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembentukan karakter; 11) Evaluasi secara berkala untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu mewujudkan karakter yang baik dalam pergaulan sehari-hari.
Tugas memberikan pendidikan yang berkualitas dengan memperhatikan juga aspek pendidikan karakter di dalamnya, tidaklah mudah. Guru terlebih dahulu harus selesai dengan dirinya. Mindset guru untuk bertumbuh harus terus dipupuk dan dikembangkan. Evaluasi secara berkelanjutan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kompetensi, dan kolaborasi adalah kunci sukses dalam praktik pembelajaran saat ini. Guru harus bangkit dan meninggalkan praktik-praktik lama pendidikan yang sudah tidak sesuai. Bagunlah pengelolaan pendidikan yang kontekstual, berakar dari realitas sosial yang dekat dengan siswa. Arahkan untuk membentuk karakter yang membebaskan mereka dari belenggu kegelapan. Transformasikan pendidikan menjadi proses memerdekakan siswa, bukan penjinakan.
Selain itu, kontribusi pemerintah sangat dibutuhkan. Pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas berkaitan dengan pendidikan karakter dalam skema pendidikan nasional. Kurikulum yang selama ini senantiasa berubah menjadi kendala tersendiri bagi guru dalam menylenggarakan pembelajaran di sekolah.
Di sisi laih hal yang perlu diperhatikan, guru jangan hanya menjadi tumpunan beban dan diberikan persoalan yang pelik, guru juga harus diberikan kesejahteraan. Tugas berat yang diberikan harus seimbang dengan hak yang diperoleh. Sayangnya, masih banyak guru yang terbelit masalah finansial dan kepegawaian. Tidak sedikit guru honorer yang bertugas nasibnya belum jelas. Walaupun sudah lulus tes, namun banyak yang belum mendapat formasi. Janji pemerintah mengangkat sekitar satu juta guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sampai saat ini masih banyak masalah. Pemerintah pun pada akhirnya dianggap “gagal” dalam memartabatkan guru.
Peringatan Hari Guru Nasional yang baru saja kita lewati sudah selayaknya kita maknai kembali untuk melihat lebih dekat sudah seberapa jauh kita melangkah dan dekat dengan tujuan kita bersama. Generasi baru bisa lahir, hanya bisa dilahirkan dari guru yang berkualitas. Kebutuhan akan guru yang berbudi pekerti luhur, cerdas, kreatif, inovatif, dan sangat dibutuhkan saat ini. Kita membutuhkan guru sebagai matahari yang membebaskan dunia pendidikan kita dari gelapnya awan hitam. Dengan sinarnya yang menghangatkan hanya mereka juga yang mampu kembali menyuburkan tanah pendidikan nasional selepas hujan mendera. Laksana musim hujan, yang bisa membawa bencana atau berkah, semua bergantung kepada kita menyikapinya. Semoga kita kembali dibawa kepada kesadaran ini agar masa depan Indonesia lebih cerah.