Menyambung Hidup dari Bau Busuk

Yanto (72), sedang memilah barang bernilai ekonomis dari tumpukan sampah. (Gede Sweta Getas)
Yanto (72), sedang memilah barang bernilai ekonomis dari tumpukan sampah.

DENPASAR-Diaribali.com

Terik matahari menyiram tubuh Yanto. Dengan bertelanjang dada, cucuran keringat tampak jelas membasahi kulit keriputnya. Lansia berusia 72 tahun itu dengan sabar memilah barang-barang bernilai ekonomis dari gundukan sampah.

Yanto adalah salah satu buruh pemilah rongsokan di kompleks seputar Jl. Pamelisan, Sesetan, Denpasar Selatan. Sudah Puluhan tahun kakek asal Madiun, Jawa Timur ini, menggantungkan hidup dari tumpukan sampah.

Bau menyengat menusuk hidung, hingga kerumunan lalat sudah menjadi teman sehari-harinya. Di gudang rongsokan itu pula, Yanto dan puluhan buruh lainnya tinggal. Menghabiskan hari demi hari tanpa istri dan anak.

“Wong lanang (laki-laki) Madiun kalau merantau biasanya enggak ngajak istri, anak. Namanya kita cari tambahan di rantauan. Tapi tetap pulang empat bulan sekali,” kata Yanto, ditemiu di tempat kerjanya, Senin (6/1/2025).

Yanto mulai merantau ke Pulau Dewata sejak tahun 1991. Awalnya dia bekerja sebagai tukang bangunan. Namun seiring usia yang kian menyenja, menjadi pemilah rongsokan menjadi pilihan paling realistis.

Dalam sehari, Yanto mengantongi cuan Rp70 ribu. Yanto bertugas memilah tumpukan sampah yang dipasok sang bos dari kapal-kapal di Pelabuhan Benoa, dan berbagai sumber lain di Bali.

“Itu bisa saya garap 35 hari,” kata Yanto sembari menunjuk sampah yang menggunung di belakangnya. “Datang dari kapal,” imbuh dia.

Hamparan lahan milik Banjar Adat Suwung Batan Kendal itu cukup luas. Lokasinya berada di sisi selatan Pura Prajapati dan Setra banjar setempat. Lahan itu kini seolah menjadi kampung pengepul rongsokan.

Puluhan gudang rongsokan sekaligus tempat tinggal bos dan karyawan menjadi satu. Setelah pihak banjar menyewakan lahan, para pengepul rongsokan sangat berminat. Salah satu alasannya, karena lokasinya dekat dengan TPA Suwung.

Salah satu buruh pengangkut rongsokan dari TPA Suwung mengaku bisa membawa 1 ton per hari dengan dua kali rit. Artinya ada puluhan ton per hari jumlah sampah yang bisa dikendalikan di kompleks tempat Yanto bekerja.

Praktisi Kesehatan Lingkungan Choirul Hadi, berpandangan, para pemulung/pengepul rongsokan berperan penting di Bali. Sehingga ia berharap pemerintah melalukan pembinaan serta pemberdayaan.

Akademisi Poltekkes Denpasar ini menambahkan, dari tiga (3R) metode penanganan sampah, para pemulung telah melaksanakan 2R, yakni Reduce M
(mengurangi produksi sampah sejak awal) serta Reuse (enggunakan kembali barang yang masih layak pakai).

“Lumayan kan mereka sudah melakukan 2R. Tinggal satu saja, yakni Recycle, mengolah kembali bahan bekas menjadi produk baru. Itu urusan pabrikasi sudah,” kata dia.

Hanya saja, karena Bali merupakan destinasi pariwisata internasional, pemerintah perlu menata kawasan mana yang cocok dijadikan komplek rongsokan. Disinilah menurut dia perlu kolaborasi.