Menjaga “Kewarasan” Bersama
Beberapa pekan terakhir ketegangan kembali mengemuka akibat tingginya laju persebaran Omicron di Indonesia. Puncak gelombang kenaikan kasus Omicron di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret, akibat dampak dari kenaikan kasus Omicron yang terjadi di seluruh dunia. Perjuangan yang tak kunjung usai ini mendesak kita merenungkan kembali sikap dan perilaku kita terhadap banyak hal, terutama berkaitan dengan alam.
Sebab, sulit dibantah, musibah ini muncul sebagai bentuk reaksi resistensi sekaligus ancaman balik dari alam akibat keserakahan dan kecongkakan manusia selama ini. Alam memiliki sistem pertahanannya sendiri. Mereka tahu bagaimana cara bertahan, menyembuhkan luka, dan bahkan tahu untukmemusnahkan spesies yang tidak lagi mendukung keberlanjutannya. Covid-19 dengan berbagai variannya, yang sudah merenggut ratusan ribu nyawa, mesti dilihat dalam konteks ini.
Secara jujur harus diakui bahwa tingginya permintaan kayu, mineral dan sumber daya secara global telah mengarah pada degradasi lingkungan dan gangguan ekologis yang mendorong munculnya penyakit baru.
Manusia menyerang hutan – hutan tropis yang menampung begitu banyak spesies hewan dan tumbuhan, yang bisa jadi menyimpan potensi virus yang tidak pernah kita ketahui. Ratusan hektarare pohon ditebang setiap tahunnya, hewan-hewan diburu dan dikirim ke pasar-pasar untuk diperjualbelikan. Manusia telah merusak ekosistem alami mereka dan secara tidak sadar telah melepaskan virus dari inang alaminya. Ketika itu terjadi, mereka membutuhkan “tuan” dan “rumah baru” yang dalam banyak kasus, itu adalah “kita”. Sebut saja ebola, flu burung, DBD, dan kini Covid-19.
Thomas Gillespie, seorang profesor di departemen ilmu lingkungan Universitas Emory, mengatakan bahwa “Patogen tidak menghormati batas spesies,”. Menyusutnya habitat alami dan perubahan perilaku manusia meningkatkan risiko penyakit menular dari hewan ke manusia.
Beranjak dari fakta dan pernyataan di atas, tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan kita tengah berada pada kondisi darurat kronis. Penyakit yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya telah menyebar lebih jauh dan lebih cepat dari sebelumnya, yang berarti kita harus lebih cepat tanggap. Ini membutuhkan investasi, perubahan perilaku manusia.
Meski demikian jika kita kembali berpulang dan “mengulik” jati diri kita sebagai masyarakat Hindu, Bali, bukankah sesungguhnya kita sebenarnya telah memiliki sistem kearifan ekologi yang kuat, mulai dari pengetahuan, mitologi, hingga tradisi, untuk mempersiapkan kita dalam menghadapi dan menghindarkan diri dari hal tersebut?
Tumpek kandang yang akan kita peringati dalam beberapa hari ke depan merupakan satu diantaranya. Tumpek kandang atau tumpek uye merupakan upacara yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali untuk memuliakan segala jenis hewan sebagai bagian ekosistem penopang kehidupan di dunia. Upacara itu sebagai bentuk selamatan untuk binatang-binatang, piaraan (wewalungan). Tumpek Kandang juga kerap disebut dengan juga disebut TumpekAndang atau Tumpek Uye karena bertepatan dengan, Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Uye yang datangnya setiap 210 hari.
Esensi dari pelaksanaan upacara tersebut beranjak dari pemahaman bahwa pelestarian hewan dan ekologinya harus dipandang sama pentingnya dengan pelestarian keberadaan manusia itu sendiri. Semua hewan harus dihargai, disayangi, seperti manusia menyayangi dirinya sendiri karena pada hakikatnya hewan juga bagian dari ciptaan Tuhan yang patut disyukuri oleh manusia itu sendiri.
Menyayangi dan melindungi keberadaan para hewan adalah sikap dan sifat manusia yang amat mulia. Walaupun dalam tingkatan kesadaran manusia biasa, manusia juga diberikan kuasa untuk membunuh atau memanfaatkan hewan-hewan itu untuk disantap, hak itu harus atas izin Tuhan. Namun, tingkat kesadaran manusia yang lebih tinggi Tuhan juga menyatakan; advestha sarva bhutanam ‘janganlah menyakiti apa saja’. Oleh sebab itu dalam penyembelihan binatang korban suci sekali pun harus dipermaklumkan terlebih dahulu kepada Tuhan. Selanjutnya korban suci yang terbuat dari binatang yang dagingnya juga dapat disantap maka setelah dimasak terlebih dahulu harus dipersembahkan kepada Tuhan.
Sementara itu, dalam sastra suci Sundarigama, Tumpek Kandang merupakan momentum untuk mengupacarai hewan ternak dan berbagai jenis binatang besar seperti sapi, kerbau, gajah, dan sebagainya. Upacara yang dilakukan merupakan bentuk dari cinta kasih dan wujud mengucapkan terimakasih pada binatang maupun hewan peliharaan yang telah banyak membantu kehidupan manusia.
Menurut pandangan banyak pemuka agama Hindu secara filosofis, Tumpek Kandang juga mengandung makna untuk “mengandangkan” pikiran yang liar seperti sifat binatang.
Ibarat binatang, pikiran itu hendaknya dikendalikan, sehingga mampu membatasi atau mengekang keinginan. Secara kodrati manusia memiliki ratusan indrawi, dorongan indrawi inilah yang membuat manusia ingin dan berupaya memenuhi berbagai keinginan indrawinya. Sebagian memang merupakan kebutuhan hidup, namun dalam menjalani hidup ini, kita hendaknya dapat membedakan yang mana keinginan dan yang mana kebutuhan. Hal ini yang oleh banyak orang tidak mampu dibedakan.
Dalam kitab suci Bhagawadgita, XIV.21 dikatakan bahwa ada tiga penyebab yang mengantarkan manusia pada pintu Neraka (penderitaan), yakni Kama, Lobha dan Krodha. Pandai-pandailah memilah kebutuhan dan keinginan.
Demkian pula dalam memanfaatkan alam beserta isinya. Memanfaatkan alam beserta isinya hendaknya harus didasarkan pada pemenuhan kehidupan untuk hidup bukan atas dasar keinginan. Ketidakmampuan dalam membedakan kedua hal itu yang kemudian memunculkan mentalitas untuk mengeksploitasi alam beserta isinya secara berlebihan.
Mentalitas ini kemudian diperparah dengan paradigma teknokratis dalam banyak bidang, yang sering parsial dan fragmentaris. Paradigma itu nyata dalam penggunaan teknologi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi, yang tidak memikirkan dampak buruknya bagi alam. Alih-alih ramah lingkungan, aneka bentuk penggunaan teknologi di bidang industri, transportasi, kesehatan, bioteknologi, dan nanoteknologi justru menjungkirbalikkan nilai intrinsikalam, yang luhur dan sakral.. Hingga kini kita berada pada posisi dimana percepatan perusakan lingkungan yang kita lakukan tidak sebanding dengan kemampuan Bumi untuk memulihkan diri.
Kita tengah berubah menjadi manusia-manusia pongah yang dengan membabi buta menyatakan diri berhak dan berkuasa atas segala hal yang di atas bumi. Kita menjadi manusia-manusia yang lupa bahwa hidup kita ini bergantung sepenuhnya pada alam beserta isinya, termasuk hewan. Bahwa kita dihidupkan oleh kekayaannya.
Semoga ini menjadi momentum yang dapat mengingatkan kita kembali untuk menjaga “kewarasan” kita bersama dalam memperlakukan alam. Kuncinya adalah keselarasan dan keseimbangan untuk mewujudkan harmoni (relasi harmoni antara manusia dan Tuhan, alam/makhluk lain, serta manusia lainnya). Alam, hewan, dan manusia harus sama-sama sejahtera. Menyehatkan hewan pada dasarnya juga untuk menyejahterakan manusia dan menjaga ekosistem tempat hidup binatang berarti menjaga keamanan kita sendiri. Siapa yang berani menjamin di masa depan virus-virus serupa Covid-19 tidak akan bermunculan jika kita tidak bisa mengendalikan kerakusan kita akan alam.