

Mengenang Kiprah Maestro Legong dan Kebyar Peliatan, Agung Mandera

Gianyar,diaribali.com –
Jiwa dan raganya memang telah tiada. Namun, karya dan semangat berkeseniannya selalu dikenang masyarakat maupun seniman khususnya di Bali. Kiprahnya dalam seni pelegongan dan kekebyaran gaya Peliatan menjadi pemantik harumkan namanya dan nusantara hingga ke seantero dunia.
Salah satu kiprah terbesar yang pernah dijalani yaitu pernah dipercaya untuk memimpin misi kesenian Bali ke Paris Expo 1931, dan dipercaya oleh Presiden Sukarno memimpin Misi Budaya ke Amerika Serikat 1952, termasuk penampilan ikonik di Ed Sullivan Show, program TV Amerika yang memicu rasa ingin tahu dunia pada seni budaya Bali.
Adalah Anak Agung Gde Ngurah Mandera, maestro seni pelegongan dan kebyar khas Peliatan yang tumbuh dan besar di Peliatan, Ubud, Gianyar. Kecintaan yang mendalam terhadap seni sejak usia muda hingga memiliki semangat yang berkobar untuk membawa keindahan seni trasional Bali ke panggung dunia.
Satu pesan beliau yang mendalam terhadap seni yang mengajarkan satu hal yang menjadi paradigma penting dalam berkesenian. “Gunakan sebelah tangan untuk menjaga akar budaya asli agar tak tergerus arus zaman. Dan gunakan sebelah tangan lain untuk mengembangkannya”.
Atas besarnya kiprah beliau terhadap perkembangan seni tari dan tabuh khas Peliatan, beliau pernah diganjar penghargaan Wijaya Kusuma oleh Pemerintah Pusat. Wajar saja, kini kiprahnya perlu untuk dikenang dan diabadikan dalam catatan khusus ke dalam sebuah buku sebagai bentuk penghormatan dan bisa dijadikan referensi untuk generasi berikutnya, maka diinisiasi untuk launching buku dan pementasan Karya Maestro yang dipusatkan di Balerung Mandera Srinertya Waditra, Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, Senin (9/6) lalu
Kekaguman mendalam disampaikan istri orang nomor satu di Bali yaitu Ny. Putri Suastini Koster terhadap sosok maestro seni Bali, Anak Agung Gde Ngurah Mandera. Sosok pelopor tari Legong dan Kebyar itu dinilainya sebagai seniman besar yang karyanya tetap hidup dan mendunia hingga kini.
“Peluncuran buku ini merupakan hal yang sangat membahagiakan bagi saya. Kebetulan sebelumnya saya sempat bertemu dengan sejumlah maestro dan seniman yang membahas keinginan untuk dibuatkan film mengenai para leluhur seni—para maestro yang telah mendahului kita. Karena Bali perlu memiliki arsip terkait maestro-maestro kita, bukan hanya arsip tentang masa penjajahan, tetapi juga tentang seniman kita,” ujarnya.
Putri Koster menekankan pentingnya dokumentasi karya dan peran maestro seni Bali agar tetap menjadi rujukan lintas generasi. Ia berharap buku ini bisa menjadi benang merah yang menyambung estafet warisan budaya.
“Untuk mempertahankan dan melestarikan seni serta kebudayaan Bali, saya berharap generasi muda tidak hanya menjadi penikmat seni, atau sekadar membawakan (menari, menabuh, menyanyi, atau makekawin), tetapi juga mampu menciptakan karya seni—baik berupa tarian, instrumen gamelan, musik, maupun lukisan—sehingga dapat memperkaya khasanah kesenian dan kebudayaan yang kita miliki. Regenerasi itu sangat penting. Oleh karena itu, perlu dibuatkan wadah dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga kekhasan setiap karya seni sesuai zamannya, tanpa mengabaikan para maestro penciptanya. Menurutnya, berkesenian bagi Bali bukan hanya ekspresi, tetapi investasi budaya yang tak ternilai.
“Kita harus menjaga spesialisasi kesenian antarwilayah, desa, bahkan banjar, yang memiliki ciri khas dan perbedaan masing-masing. Kesenian lama tetap harus dihadirkan dengan kesakralannya, sedangkan kesenian baru juga harus hadir dengan ciri khasnya sendiri,” tambahnya.
Sementara itu, Anak Agung Gde Oka Dalem, putra dari mendiang maestro A.A. Gde Ngurah Mandera, berharap buku tersebut dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk belajar dari perjalanan sang ayah dalam memperkenalkan seni Bali ke kancah dunia.
“Dengan terbitnya buku Maestro Legong & Kebyar, Anak Agung Gede Ngurah Mandera: Sang Penjelajah Dunia dari Bali, diharapkan mampu menjadi panduan bagi generasi muda tentang bagaimana beliau bekerja sama dengan banyak pihak untuk mempromosikan kesenian dan kebudayaan Bali, sekaligus memperluas jaringan hingga ke luar negeri,” ujarnya.
Balerung Mandera sendiri telah lama menjadi ruang pembinaan seni, tempat regenerasi penari dan penabuh muda dengan gaya Palegongan dan Kekebyaran khas yang diwariskan langsung dari para maestro.
Prof. Dibia (penulis buku) menyampaikan, Sang Maetro merupakan dedengkit Legong dan Gong Kebyar dari Puri Kaleran Peliatan, Ubud, Gianyar.
Agung Mandera yabg penampilannya oenuh karisma dan metaksu di atas panggng, telah mengabdikan seluruh hidupnya kepada seni pertunjukan khususnya tari dan tabuh Bali.
” Saya ingin menulis buku ini ke dalam Bahasa Inggis,” imbuh Prof. Dibia.
Hal senada juga disampaikan Prof. made Bandem, bahwa Agung Mandera merupakan komposer dan maesenas Legong dan Kebyar gaya Peliatan. Dia pernah menjadi Direktur Artistik Misi Kesenian Bali ke The Word Colonial Exposition di Paris tahun 1931.
Misi Kesenian yang dipimpin Cokorda Gede Raka Sukawati dan Cokorda Gede Rai Peliatan menampilkan Legong Keraton, Janger, Wayang Wong, dan Drama Tari Calonarang. “Pementasan-oementasan yang dirancang ileh Anak Agung Gde Ngurah Mandera memikat perhatian seorang ahli drama dan teater dari Paris yang bernama Antonin Artaud,” terang Prof. Bandem memungkasi. (Art)