Membelah Bukit Mencari Vaksin
BANGLI-DiariBali
Suatu pagi di peghujung September 2021, Ni Nengah Tating, 75 tahun, bangun lebih awal dari biasanya. Bersamaan dengan riuh kokok puluhan ayam jago peliharaan suaminya. Matahari belum menampakkan wajah. Nenek 23 cucu dan 3 cicit ini bergegas menuju dapur. Ia membuat sarapan seadanya. Tating harus memastikan perutnya terisi sebelum menempuh perjalanan ke Kantor Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, guna mendapat suntik vaksin Covid-19 tahap kedua.
Tating adalah warga lanjut usia (lansia) yang bermukim di Banjar Kuwum, Desa Adat Kuwum, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani. Untuk mencapai kota kecamatan, butuh waktu 30 menit, namun dengan medan yang berliku nan curam. Akses jalan cukup memadai di daerah ini, mengingat daerah ini tersohor dengan hasil kebunnya, terutama jeruk. Namun medan jalannya cukup membuat ngeri, kanan-kiri jurang. Munculnya kabut juga menjadi tantangan tersendiri bagi pengendara di daerah bersuhu dingin itu.
Tak mau mengulur waktu, pukul 06.20 Wita, Tating diantar oleh putra keenamnya dengan mobil bak terbuka. Permintaan nenek buta huruf ini dituruti sang anak karena ibunya yang sudah renta itu terus merengek agar diantarkan ke tempat vaksinasi. Awalnya sang anak enggan mengantar. “Ibu saya kan sudah tua. Udah nggak kuat kemana-mana. Diam saja di rumah. Tapi dia terus minta agar divaksin,” kata I Ketut Ngetis, putranya.
Tating pun sadar sebenarnya dia tidak usah mengikuti vaksinasi pun tidak apa-apa. “Dadong suba sing mampu kija-kija. Majalan dogen suba keweh. (Nenek sudah tidak mampu kemana-mana. Jalan kaki saja sudah susah,” kata Tating. Namun ia khawatir akan terjadi masalah di kemudian hari saat sertifikat bukti vaksinasi dijadikan syarat dalam mengurus administasi kependudukan. Di tengah keterbatasannya yang buta aksara, Tating aktif menanyakan informasi ke tetangga, kerabat bahkan buruh pemanen jeruk di lingkungannya.
Setelah tujuh jam antri, Nenek Tating harus menelan kekecewaan. Hasil pemeriksaan tenaga kesehatan (nakes) menyatakan tekanan darah Tating di atas 180/110 mmHg. Nakes tentu tidak mau ambil risiko. Pasalnya, salah satu syarat mutlak peserta vaksinasi tekanan darahnya wajib minimal 180/110 mmHg. “Adi sing me-cek malu semengan, tawang keto kan sing ngatiang makelo. (kok tidak dicek dulu pagi harinya. Tahu gini hasilnya kan tidak menunggu lama),” kata Tating. Ia pun mengeluhkan tidak seimbangnya jumlah nakes dengan antrian yang mencapai ribuan orang.
Dinginnya udara Kintamani, 15 derajat celcius tak sedingin hati Tating yang diselimuti kekecewaan. Jaket cokelat kusam dan handuk kecil penutup kepala pun dilepasnya. Tanpa ba bi bu, dia naik ke mobil bak terbuka milik anaknya. Ia langsung pulang.
Kegalauan nenek yang tulang belakangnya sudah membukuk ini baru terlihat tenang Ketika menyeruput kopi hitam tanpa gula. Maklum, biasanya dia ngopi siang pukul 12.00, terlambat dua jam dari kebiasaan lamanya. Kedua tangan keriputnya terlihat melinting tembakau. Putranya langsung mencegah. Ia memberitahu bahwa kebiasaan merokok menjadi pemicu tekanan darah tinggi.
Nenek Tating menurut. Ia rela menghentikan kebiasaan merokok yang telah dimulainya sejak remaja agar lolos skrining kesehatan saat vaksinasi tahap kedua di lain kesempatan. Untuk menyudahi sebuah pandemi, diperlukan semangat dan kesadaran kolektif dari semua pihak. Nenek Tating adalah contoh lansia yang punya semangat itu. (TIM)