d1
A.A.Ngr Eddy Supriyadianta Gorda

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kurang lebih demikian empat cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kapan cita-cita tersebut akan terwujud? sulit untuk dijawab. Menapaki usia kemerdekaan yang ke-77, realitas yang disuguhkan media beberapa pekan terakhir justru menunjukkan cita-cita tersebut tidak lebih dari sekadar “mimpi”.

Bagaimana tidak, lembaga pendidikan yang sejatinya difungsikan sebagai wahana untuk memerdekakan manusia justru menjadi penjajah bagi generasi penerus bangsa. Aksi tindak kekerasan seksual tumbuh subur di lembaga-lembaga pendidikan, bahkan di lembaga pendidikan berbasis agama sekalipun.

Barangkali masih segar di ingatan kita pemberitaan seorang guru sebuah pondok pesantren di Bandung yang memperkosa dan menghamili belasan belasan santriwatinya di berbagai tempat. Disusul kemudian pemberitaan anak seorang kiai ternama di Jombang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati di Pesantren Majma´al Bahrain Shiddiqiyah.

Dua kasus di atas hanya segelintir dari sekian banyak kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang terungkap ke publik. Komnas Perempuan mencatat dari tahun 2015 hingga 2020 terdapat 27 persen kasus pelecehan terjadi di ranah Perguruan Tinggi, 19 persen kasus pelecahan di ranah pondok pesantren, dan 15 persen kasus pelecehan terjadi di sekolah. Pada tahun 2021 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, bahkan sempat mengungkap bahwa 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup perguruan tinggi. Tentu ini merupakan sebuah hironi, di tengah usaha Indonesia untuk mencetak generasi bangsa yang unggul.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Tantangan lain bisa kita cermati melalui peristiwa Citayam Fashion Week (CFW) yang populer belakangan. Banyak pihak berpandangan bahwa keberadaan CFW dapat membawa sentimen positif terhadap produk-produk fashion lokal dan berpeluang mendorong lahirnya kultur street style baru dari komunitas suburban. Meski demikian, di sisi lain, jika kita telisik lebih dalam potret CFW memberikan kita gambaran lain cacatnya pendidikan di Indonesia.

Kisah yang dibawa oleh ikon CFW semakin mempertegas betapa rentannya anak dan remaja yang berasal dari keluarga miskin untuk putus sekolah. Mereka kehilangan peluang untuk mengembangkan potensi diri. Pada akhirnya dinding di pinggir jalan, trotoar, atau zebra cross merupakan ruang baru bagi mereka untuk berekspresi dan berkreasi.

Belum lagi jika kita mencermati perilaku dan gaya berkomunikasi mereka. Catatan kritis lain tentu dapat kita alamatkan pada pendidikan karakter yang selama ini menjadi salah satu prioritas lembaga pendidikan di semua jenjang.

Cerita berulang mengenai carut marut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang kerap menyisakan kecurigaan akan tranparansi proses yang diberlakukan menjadi catatan penting lain yang harus dikritisi.
Setiap tahunnya ada saja siswa yang masuk melalui “jalur belakang” untuk mendapatkan sekolah negeri.

Bahkan upaya memalsukan dokumen administrasi dilakukan orangtua demi sang anak lolos PPDB sekolah negeri. Lembaga pendidikan yang idealnya memerdekakan generasi muda dari cara berpikir sempit dan sektoral. Justru mengajarkan cara berpikir dan berperilaku menghalalkan segala cara Sejumlah fakta di atas merupakan tantangan riil yang tengah dihadapi oleh Indonesia.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Tak ubahnya seperti lembayung yang membuyarkan mimpi-mimpi besar bangsa Indonesia. Demi menjaga kewarasan dan cita-cita bersama, peristiwa-peristiwa tersebut harus mampu kita baca secara kritis dan kita hadapi dengan penuh kearifan.

Lembaga pendidikan harus berbenah. Lebih dari sekadar pembaharuan kurikulum, sinergi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Sistem pendidikan yang baik harus dibangun di atas kenyamanan psikologis dan prinsip kesetaraan. Semua guru berdedikasi pada pekerjaan mereka dan dapat menyesuaikan pendekatan untuk setiap siswa. Membangun komunikasi yang efektif dengan siswa dan membantu memecahkan masalah yang mungkin timbul selama proses pembelajaran.

Tujuan pendidikan diarahkan pada pengembangan siswa secara holistik, tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga memiliki karakter Pancasila yang religius, peduli sosial, kemandirian, patriotisme, kebersamaan, demokratis, dan adil. Lembaga pendidikan bukan sekadar melakukan transfer pengetahuan tetapi juga membentuk mendewasakan manusia yang senantiasa mnegedepankan toleransi dan kasih sayang.

Penyediaan akses pendidikan berkualitas yang dapat dijangkau oleh berbagai kalangan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan pemerintah. Hal ini demikian mendesak, mengingat angka putus sekolah di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, terlebih pasca pandemi. Cara-cara yang “out of the box” perlu dipikirkan. Sinergi dengan penyelenggara pendidikan swasta dapat dijadikan pertimbangan guna mencapai tujuan bersama. Jangan lagi ada politisasi pendidikan.

Pada akhirnya seberapa besar komitmen kita bersama untuk memperbaiki lembaga pendidikan menjadi pertaruhan tercapainya cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pertumbuhan, kemajuan, dan perkembangan bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama penerus kemerdekaan. Jangan sampai kemerdekaan ini seperti lembayung yang hanya bisa dilihat sesaat dan hilang dengan sendirinya. Kita tidak bisa memilih Birth (lahir) dimana dan Dead (mati) kapan. Tetapi kita bisa membuat choice (pilihan). bijaklah dalam melakukan choice/pilihan. pilihan apapun yang kita buat akan menentukan masa depan negeri ini.