Kuas Bambu Wayan Sujana Tembus Dunia

IMG-20250902-WA0105
I Wayan Sujana

Amlapura,diaribali.com
Di sebuah desa sejuk nan asri di kaki Gunung Agung, tepatnya di Banjar Abian Jero, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, hidup seorang seniman yang seluruh hidupnya diabdikan untuk seni, alam, dan budaya. Namanya I Wayan Sujana, seorang pelukis  sekaligus pematung kelahiran 1957
yang karya-karyanya telah menembus batas geografis dan waktu. Ia bukan sekadar seniman ia adalah penjaga ruh alam dalam bentuk visual.

Lahir dan besar di lingkungan agraris yang kaya akan kearifan lokal, Sujana telah mengenal dunia seni sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Bakatnya tidak datang dari bangku akademik atau pendidikan formal seni rupa, melainkan dari darah seni yang mengalir deras dari kedua orang tuanya.

Dengan segala keterbatasan fasilitas, ia tumbuh menjadi seniman otodidak yang tangguh. Seni adalah jalan hidupnya, bukan sekadar keterampilan. Ia melukis dan mematung bukan untuk mencari nama, tetapi sebagai ungkapan rasa syukur pada alam dan tradisi leluhur.

Sukses Wayan Sujana tentu tidak terlepas dari dukungan istri tercinta, Ni Ketut Wenten, yang selalu setia mendampinginya dalam suka dan duka dunia kesenian. Bersama sang istri, Sujana membesarkan enam anak: I Gede Getas, Made Suweni, Komang Sudiati, Ketut Semadi, Wayan Agus Santosa, dan Kadek Putri Sujayanti. Sebagain  dari mereka mengikuti jejak ayahnya menjadi penerus seni, menjadikan rumah Sujana tak ubahnya sebuah “padepokan seni” yang hidup.

Karya-karya Sujana tidak hanya dinikmati masyarakat lokal Bali, tetapi juga menarik perhatian kolektor dan pecinta seni dari berbagai penjuru dunia mulai dari Amerika, Belanda, Swiss, hingga kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Lombok. Bahkan, banyak yang rela datang langsung ke kediamannya yang alami dan damai, hanya untuk menyaksikan sendiri bagaimana karya-karya itu dilahirkan.

Rumahnya di Ababi menjadi tempat ziarah seni, tempat di mana imajinasi dan ketekunan bertemu dalam harmoni. Tak hanya piawai dalam melukis, Sujana juga dikenal sebagai pematung yang mahir mengolah berbagai media, mulai dari kayu hingga batu paras. Ia telah dipercaya mengerjakan arsitektur sakral, terutama ornamen dan struktur pura di berbagai pelosok Bali. Karyanya bisa dijumpai di salah satu ornamen  di Tirta Gangga, Bale Bali di Puri Karangasem, hingga pura-pura desa yang tak terhitung jumlahnya.

Aliran lukisannya cenderung klasik, dengan ciri khas pewayangan dan pemandangan realis. Namun, dibalik teknik klasik itu tersembunyi semangat eksperimentatif yang khas. Sujana melukis tidak dari referensi buku, melainkan dari daya bayang dan perasaan.

“Kalau saya melukis dini hari atau malam. Waktu malam dan pagi kita bisa lebih fokus dan berkonsentrasi. Saya tidak memakai buku, hanya membayangkan sosok pewayangan atau pemandangan, lalu langsung saya ekspresikan,” ungkapnya dengan tenang.

Salah satu keunikan Sujana adalah alat yang ia gunakan. Berbeda dengan pelukis lain, ia menggunakan kuas yang dibuat sendiri dari bambu. Menurutnya, selain mudah didapat di lingkungan rumah, kuas bambu bisa dibuat dengan kelenturan sesuai kebutuhan.

Untuk pewarnaan, ia hanya menggunakan lima warna dasar: hitam, putih, merah tua, biru tua, dan kuning tua. “Untuk melahirkan warna lain tinggal dicampur sesuai selera,” tambah pria berambut uban dan berkacamata ini sambil tersenyum.

Selain memilih waktu sunyi, Sujana juga mempercayai nilai spiritual dalam proses berkarya. Ia selalu memilih hari baik (dewasa) untuk mulai melukis, demi menghadirkan karya yang memiliki taksu energi spiritual yang membuat sebuah karya menjadi berwibawa dan hidup.

Meski tak mengejar komersialitas, karya Sujana dijual dengan harga yang cukup fantastis. Sebuah lukisan berukuran 180 cm x 120 cm bisa terjual antara Rp15 juta hingga Rp30 juta. Namun bagi Sujana, angka itu tak lebih dari hasil dari ketekunan dan keikhlasan berkarya.

“Saya hanya ingin berkarya, selebihnya biar semesta yang membawa ke mana ia pergi,” ujarnya kalem.

Atas dedikasi dan kontribusinya di dunia seni, Wayan Sujana telah menerima berbagai penghargaan dari Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Karangasem. Tapi lebih dari itu, pengakuan sejati baginya adalah ketika karya-karyanya bisa menyentuh hati orang lain dan menjadi bagian dari kehidupan mereka.

I Wayan Sujana adalah contoh nyata bahwa seni tidak harus berasal dari pendidikan tinggi atau kota besar. Dari desa kecil di Karangasem, ia membuktikan bahwa ketulusan, kerja keras, dan cinta pada alam serta budaya bisa melahirkan karya-karya besar. Ia bukan hanya seorang pelukis atau pematung, tapi juga penjaga nilai-nilai Bali yang kini mulai tergerus zaman.

Di tengah gemuruh modernitas, Sujana tetap setia dengan kuas bambunya, warna-warna alam, dan doa-doa sunyi di tengah malam. Ia berkarya bukan untuk dunia, tapi untuk semesta. (Art)