Kondisi Empat Danau Mengkhawatirkan, Peradah Bali Segera Temui Pemangku Kebijakan
GIANYAR-diaribali.
DPP Peradah Bali bersama komponen masyarakat, merefleksikan pembangunan Bali sepanjang tahun 2024. Kegiatan dikemas dalam bentuk diskusi “Membincang Masa Depan Peradaban Catur Danu” bertempat di Museum Wiswakarma, Batubulan, Gianyar, Minggu (29/12/2024).
Meski berlangsung santai, namun diskusi penuh “daging”. Berawal dari kecemasan bahwa empat danau di Bali mengalami persoalan yang serius.
Sejumlah komponen masyarakat mengajukan solusi kepada pemangku kepentingan untuk menangani masalah. Dua di antaranya adalah komitmen untuk melindungi lingkungan di hulu hingga penguatan desa adat dengan pemetaan kawasan.
Diskusi menghadirkan tiga orang pemantik, yakni Wayan Westa (budayawan), Risye Dwiyani (peneliti kebencanaan), dan Iwan Dewantama (pemerhati lingkungan).
Dalam paparannya, Westa menyebut keberadaan empat danau di hulu Pulau Bali sangat penting secara kultural. Empat danau yang dalam banyak pustaka tradisional Bali yang disucikan disebut sebagai Catur Danu berkaitan dengan kelangsungan air Bali secara keseluruhan.
“Catur danu itu adalah spirit vital, tali kunda Pulau Bali yang berkaitan dengan semesta air bali. Di catur danau itu, terutama Danau Batur dalam catatan purana memiliki sebelas buka (terowongan air, red) di bawah tanah yang menghubungkan tiga danau lainnya, dan air itu mengalir ke masing-masing wilayah di Pulau Bali,” katanya dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Jero Penyarikan Duuran Batur (I Ketut Eriadi Ariana).
Secara tradisi, lanjut Westa, masyarakat di seputar kawasan danau memiliki beragam kearifan ekologis, misalnya melalui konsep alas kekeran (hutan larangan). Kearifan-kearifan ini kini terancam dengan laju investasi yang sangat besar dan mengancam kelangsungan ekosistem. “Jika danau rusak dan hutan abis, semesta di Bali akan turut rusak,” katanya prihatin.
Pada kesempatan tersebut, penulis buku Bali Spirit ini pun mengajak agar masyarakat Bali bisa membangun kesadaran kolektif untuk berkomitmen secara penuh dan bersama-sama untuk menjaga lingkungan. Regulasi juga perlu dihadirkan guna menjamin kepastian hukum.
“Dulu misalya, subak-subak di Bali mempersembahkan sawinih ke Pura Batur untuk keperluan upacara yang bisa diartikan kompensasi masyarakat perawat danau. Sekarang perlu juga dipikirkan kompensasi model apa yang dilakukan agar petani di situ tidak serampangan menyemprot tanaman dan merusak danau. Jika air di sana (danau, red) tidak bersih, bisa jadi air di kota tidak lagi bisa diminum,” terangnya.
Sementara itu, Iwan Dewantama mengatakan bahwa untuk menjaga kelestarian alam Bali salah satu solusinya adalah memperkuat desa adat. Desa adat menjadi lembaga yang menjaga nilai-nilai dalam menjaga danau, tanah, sungai, dan ekosistem lainnya, sehingga Bali tetap bisa mataksu (memiliki spirit, red).
“Ini ada persoalan dengan tata kelola. Pemerintah pusat saya kira menempatkan Bali hanya sebagai daerah pariwisata sehingga dapat menyumbang penghasilan untuk negara. Lalu, bagaimana pemerintah pusat berniat menjaga Bali?” tanyanya.
Ia menyebut salah satu dampak pariwisata yang massal tersebut telah ditandai dengan intrusi air laut dan cadangan air tanah yang semakin tipis dari tahun ke tahun akibat eksploitasi yang berlebih, baik yang disedot oleh pelaku pariwisata, masyarakat di kawasan perkotaan, termasuk PDAM, dan pengusaha air minum.
“Tantangan ke depan adalah bagaimana kekuatan spiritual kita kuat dengan narasi ilmiah. Kita bicara niat yang merupakan energi yang saling terikat dengan alam. Kemudian energi itulah yang penting untuk diilmiahkan, sehingga kesadaran menjaga Bali berjalan holistik,” ucap dia.
Di sisi lain, Risye Dwiyani melihat salah satu persoalan Bali berakar dari bergantungnya pulau ini dengan pariwisata.
Menurut akademisi yang sedang menyelesaikan studi doktoral tentang kebencanaan di Kyoto University ini, pemangku kepentingan di Bali perlu memikirkan kembali terkait kunjungan wisatawan. Pariwisata Bali menurutnya tidak perlu ditarget dari sudut pandang kuantitas kunjungan, tetapi berbasis pada kualitas kunjungan.
“Sebagai orang dari luar Bali yang kebetulan tengah studi kebencanaan di Bali, saya kira Bali harus mulai mempertimbangkan pariwisata berbasis nilai, bagaimana orang yang berkunjung ke Bali bisa memetik nilai dari kebudayaan Bali itu ketika berkunjung. Intinya adalah pariwisata berkelanjutan, baik dari sisi budaya, lingkungan, dan manusianya sendiri,” ucapnya.
Ia menambahkan, kunci lainnya dari persoalan yang tengah dihadapi Bali adalah pemberdayaan pemuda. “Kuncinya ada di pemuda, tetapi saya melihat memang ada keterputusan ide-ide dari generasi senior ke generasi yunior. Mungkin juga karena anak mudanya tidak diberikan kesempatan, atau juga anak mudanya terlalu sibuk. Ini menjadi PR ke depan bagi pemerintah untuk memberdayakan pemuda,” ucap dia.
Pada kegiatan kali ini, Peradah Bali berkolaborasi dengan komunitas, organisasi, maupun lembaga, antara lain Museum Wiswakarma, Yayasan Abdi Bumi, Mahardhika Institute, Literasipedia, Lingkar Studi Batur, Forum Alumni Green Circle Gitakita, Geotour Batur, UNESCO Batur Global Geopark, dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengda Bali.
Maiva Utama, salah satu peserta diskusi menyampaikan kerisauannya dengan perubahan lanskap di kawasan Kintamani. Menurutnya, pemerintah daerah, khususnya Kabupaten Bangli “terlalu membuka keran” investasi, yang mengancam kelangsungan lingkungan dan budaya masyarakat. Ia berharap ada perhatian serius dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah.
Ketua DPP Peradah Indonesia Bali, Putu Eka Mahardika, mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk pemegang kebijakan untuk mencari solusi bersama menghadapi kondisi Bali saat ini. Menurutnya pemerintah perlu mengambil peran untuk dihasilkannya kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat dan lingkungan.
Pihaknya juga mengajak masyarakat untuk bersama berkomitmen menjaga tanah Bali dari beragam ancaman. “Kiita bisa rumuskan satu gerakan bersama yang berdasarkan kajian sekala maupun spiritual untuk menjaga Pulau Bali ini,” kata dia.
Dalam waktu dekat, pihaknya juga berencana membawa hasil diskusi tersebut ke para pengampu kebijakan, termasuk Gubernur-Wakil Gubernur Bali terpilih, Wayan Koster-Nyoman Giri Prasta sebagai catatan untuk membangun Bali ke depan. (GET)