Keliru! Pemujaan Tumpek Landep Dihadapan Motor atau Mobil

Tumpek Landep

“Hal ini yang perlu dipahami, bahwa selama ini yang melakukan pemujaan di hadapan mobil, motor, dan benda mewah lainnya saat hari suci tumpek landep adalah keliru sebab dalam teks suci ini kita sudah diharapkan melakukan pemujaan di Sanggah, bukan tempat lainnya yang mampu mengurangi makna baik dalam hari pemujaan Sang Hyang Pasupati.

DENPASAR, Diaribali.com-
Tumpek landep merupakan hari suci,
hari dimana ada dua hal yang mestinya dilakukan saat hari suci ini, yaitu Pujawali Bhatara Siwa, dan beryoganya Sang Hyang Pasupati. Demikian juga menurut ajaran dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran, karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati, ilmu tentang persenjataan, juga dalam bhusana untuk dimohonkan kesidhian kepada Sang Hyang Pasupati.

Namun, seiring perkembangan zaman, pemujaan terhadap Sang Hyang Pasupati mulai sedikit bergeser. Dimana biasanya tetua zaman dahulu memberikan persembahan atau melakukan pemujaan terhadap pusaka atau keris sebagai simbol dari ketajaman yang diyakini mampu memberikan ketajaman pikiran atau kesidian terhadap benda bertuah tersebut.

Berbanding terbalik dengan situasi dewasa ini, dibalik pesatnya perkembangan teknologi dan kecanggihan yang dihasilkan melalui mesin-mesin perkakas manusia. Sehingga pemujaan Sang Hyang Pasupati dan Hyang Siwa dilakukan saat haru suci tumpek landep. Maka demikian, pemujaan dihadapan motor atau mobil dan benda mewah lainnya keliru.

Hal ini tegaskan oleh akademi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag. M.Pd.H, saat memberikan keterangana terkait makna hari suci Tumpek Landep, Jumat (8/4).

I Kadek Satria
I Kadek Satria

Satria membeberkan, dikutip dari Lontar Sundarigama berikut sebagai bahan pijakan memaknai Tumpek Landep : “Kunang ring wara landep, saniscara kliwon, pujawalin Bhatara Siwa, mwah yoganira Sang Hyang Pasupati, pujawalinira Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adanan, iwak sata putih, sarupane wenang, gerang, terasi bang, sedah woh aturakna ring sanggar. Yoganira Sang Hyang Pasupati, sesayut pasupati, sesayut jayeng perang, sesayut kusuma yudha, suci , daksina, peras ajuman, canang wangi, tadah pawitra , reresik astawakna ring sarwa dewa lalandep ing aperang, kalinggania ikang wang, apasupati landeping idep, samangkana lekasakna sarwa mantra wisesa, dhanur dara, uncarakna ring bhusana ning paperangan kunang, minta kasidhian ring sang hyang pasupati.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Arti bebasnya : Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah : Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam putih, dan boleh juga sebulu (berbagai warna), Gerang, terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.

Kata Satria, berdasarkan wejangan suci diatas bisa kita pahami bahwa pada saat tumpek landep memang ini dibedakan sebagai bentuk kewenangan beliau di alam semesta ini. Dipujanya Bhatara Siwa, lanjut Satria, sebagai bentuk penganugerah kasih dan kekuatan kepada manusia, rasa syukur kita lakukan dengan melakukan pemujaan di Sanggar atau Merajan masing-masing.

Hal ini yang perlu dipahami, bahwa selama ini yang melakukan pemujaan di hadapan mobil, motor, dan benda mewah lainnya saat tumpek landep adalah keliru sebab dalam teks suci ini kita sudah diharapkan melakukan pemujaan di Sanggah, bukan tempat lainnya yang mampu mengurangi makna baik dalam hari suci tumpek landep.

Selanjutnya adalah bahwa pada hari ini adalah hari dimana Ida Sang Hyang Pasupati melakukan yoga semesta, sehingga umat diharapkan untuk melakukan pemujaan dengan mempersembahkan sesuatu yang intinya memohon ‘pasupati’ terhadap diri manusia utamanya pada pemikirannya.

Pikiran adalah kunci dari pelaksanaan hari Suci Tumpek landep ini. Bisa dipahami bahwa pada saat wuku sebelumnya adalah wuku watugunung dimana ilmu pengetahuan kita mohonkan dan selanjutnya umat memohonkan kekuatan terhadap ‘sarana’nya berupa pikiran kehadapan guru (pagerwesi, hari guru menurut hindu). Setelah memperoleh anugerah gurulah baru memperoleh ketajaman dalam hal berfikir, maka disini guru kemudian disebut dengan Gunathita yang artinya orang yang telah mampu mengatasi Tri Guna dalam dirinya.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Selanjutnya adalah Rupawarjitha yang artinya orang yang telah memahami ketuhanan yang tak berwujud atau sudah mampu memperoleh penerangan. Setelah memperoleh anugerah dari gurulah kita akan memperoleh ketajaman pikiran yang kemudian kita peringat pada saat Tumpek Landep.
Apa sebenarnya maksud dari ketajaman kemudian untuk memperoleh kesidhian? Ini adalah untuk menjawab bahwa pada saat Tumpek landep adalah keliru kita melakukan pemujaan terhadap benda-benda mewah penyerta kehidupan berupa mobil, motor, sepeda, isi perabotan dapur, sebab itu adalah bagian dari kesejahteraan yang akan lebih tepat dilakukan pada saat Hari Suci Tumpek Kuningan. Landeping idep itulah sesungguhnya yang ditekankan pada saat Hari Suci yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku landep ini. Tajamnya pemikiran bisa kita lihat dengan tajamnya kecerdasan atau utamanya pemikiran untuk melakukan segala sesuatu yang utama. Cerdas memandang sebuah persoalan dengan penuh pertimbangan baik dan buruk serta sadar untuk melakukan kebaikan itu sebagai laku hidup buka laku yang ada pada angan-angan, sebab dewasa ini banyak orang pintar tetapi tidak cerdas, tidak tajam untuk mengurai permasalahan dengan budaya laku yang baik. Artinya banyak yang pintar yaitu tahu akan kebenaran tetapi menyimpang pada tataran perilakunya.
Ketajaman pemikiran inilah yang akan mampu menjadikan manusia pada posisi yang jelas seutuhnya. Manusia yang mengetahui sekaligus menjalankan apa yang ia ketahui, mampu menggunakan ketajaman fikiran untuk usaha yang bertujuan untuk mempermudah hidup. Inilah yang menghasilkan ciptaan teknologi untuk kemudahan. Segala apa yang ada ini adalah karena tajamnya fikiran memandang sesuatu. Kita tahu bunga memang indah, tetapi jika tidak manusia yang memelihara dan ‘membaikan’ bunga maka bukan keindahan yang diperoleh tetapi justru sebaliknya. Kita tahu mobil adalah hasil dari pemikiran tajam, pesawat, dan benda lainnya, namun jika salah menggunakan maka juga akan mendapatkan masalah dengan hal tersebut.

BACA JUGA:  Transparansi dalam Ketidakbenaran Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

“Jika dilihat pelaksanaannya, maka pada hari ini seluruh umat hindu memuliakan dirinya dengan menyembah kepada Hyang Pasupati di sanggah kemulan, natab sesayut jayengperang, kusuma yuda dan sesayut pasupati. Artinya pada saat ini kita memohon agar selalu jaya dalam melakukan peperangan hidup melawan segala macam musuh yaitu kama, loba, krodha, moha, mada, matsarya,” terangnya.

Hal lain, lanjut akademi asal Bumi Panji Buleleng ini, agar mampu menginjak dan mengalahkan segala macam klesa. Antara lain awidya yaitu ketidakmampuan memahami diri sendiri dan alam semesta, asmita, yang artinya ego yang tak terkendali. Raga yang artinya selalu menganggap sumber kebahagiaan ada di luar diri, selanjutnya adalah dwesa yang menganggap sumber duka ada di luar diri, abhiniwesa yaitu takut akan ketiadaan jika panca klesa dan sad ripu ini bisa dikalahkan dan dikuasa maka akan menghasilkan manusia yang penuh pencerahan, tajam dalam berfikir dan kesidhian akan tercapai.

Runtutan selanjutnya adalah natap sesayut kusuma yudha adalah agar manusia diberikan kekuatan dan kebijaksanaan agar bisa bersaing dan terhindar dari perilaku menyimpang seperti korupsi, dan lain-lain. Nilai kebijaksanaan itulah yang memberikan pencerahan dan kekuatan pada seseorang sehingga penuh wibawa karena kebijaksanaannya.

Prosesi terakhir yaitu natap pasupati, memiliki makna setelah mampu menang dari segala musuh dan klesa serta mampu memperolehkewibawaan akibat dari kebijaksanaan maka perlu di pasupati agar ketiga hal ini terasah, terperbaharui dengan baik dan ujungnya akan memperoleh kesidian.

“Bisa dipahami pula bahwa ketiga sesayut ini juga memberikan penajaman terhadap ketajaman pikiran (pasupati), ketajaman kata sebagai bagian dari kebijaksanaan akibat kemenangan dalam berbagai klesa dan musuh (kusuma yudha), dan ketajaman dalam perilaku agar cerdas mengenal kebaikan dan melakukannya atau jayeng perang,” pungkasnya. (ZOH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *