Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual Meningkat di Bali
DENPASAR- Diaribali. Com-
Angka kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dan perkawinan anak di Bali mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Kali ini sebanyak 206 kasus yang dilaporkan di Polda Bali.
Hal ini mengemuka saat Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Ngurah Rai (Fishum UNR) bekerjasama dengan Yayasan Bali Sruti untuk memberikan sosialisasi UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU No 16/2019 tentang Perkawinan Anak” bertempat di kampus setempat, Kamis (30/3/2023).
Sosialisasi menghadirkan dua aktivis perempuan sebagai pembicara, yakni Ni Putu Tirta Dewi Mahayogi, A.Md. Keb., S.KM., dan I Gusti Ayu Andani Pertiwi, SS., M.Si. Kegiatan ini diikuti puluhan mahasiswa beserta dosen Fishum.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Ngurah Rai (Fishum UNR) Dr. Drs. I Wayan Astawa, SH., MAP., mengungkapkan, berdasarkan data dihimpun, di Bali terjadi 260 tindak KDRT, perempuan dan anak sepanjang 2022. “Angka itu hanya yang dilaporkan ke polisi. Kalau yang belum dilaporkan tentu banyak,” ungkapnya.
Kata Astawa kasus seperti ini mengalami peningkatan kasus sebesar 15,2 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 30, 3 persen korban perempuan berusia 25-44 tahun serta korban perempuan usia 13-27 sebanyak 30 persen.
Karena pentingnya sosialisasi peraturan yang baru setahun diundangkan ini, pihaknya berencana melakukan sosialisasi berkesinambungan yang dikemas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Fishum UNR, lanjut Astawa, mengusung visi Kerakyatan dan Tri Hita Karana sangat relevan menjalankan kewajiban ini karena menyangkut salah satu unsur Tri Hita Karana, yakni Pawongan (hubungan harmonis antar-sesama manusia).
Pihaknya berharap, mahasiswa setelah mengikuti sosialiasai agar mampu menjadi agen perubahan. Diawali dari di lingkungan keluarga dan pergaulannya. Sehingga lama kelamaan masyarakat mulai mengetahui tentang UUTPKS.
Sementara Ketua Yayasan Bali Sruti Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., berpendapat, UUTPKS sangat komperhensif jika diimplementasikan karena memayungi semua warga negara sehingga tidak ada lagi tindakan kekerasan di Indonesia.
“Undang-undang ini tidak hanya dipahami oleh penegak hukum, tapi seluruh masyarakat khususnya mahasiswa yang notabene agen of change,” jelas Riniti didampingi jajarannya, Sri Sulandari, S.Sos., MAP.
Kata Riniti, UU TPKS dan UU Perkawinan Anak, mengatur bagaimana agar kekerasan bisa dihapus atau dicegah agar tidak ada kekerasan. Kedua regulasi ini sangat urgen di Bali.
“Di Bali sangat urgen, terutama yang berbasis adat. Itu sangat tertutup. Sulit diungkap karena KDRT dianggap aib kalau dilaporkan,” ujarnya.
Berdasarkan kajiannya, KDRT yang sampai ke meja penegak hukum hanya yang sudah keterlaluan atau sampai mengancam nyawa korban. Jika masih dianggap “wajar” maka korban memilih memendam masalahnya untuk menghindari rasa malu. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran masyarakat. (Art)