Fraksi PDIP, Golkar, Demokrat-Nasdem Apresiasi Ranperda Bale Kertha Adhyaksa

IMG-20250811-WA0054
Rapat Paripurna DPRD Provinsi Bali, Senin (11/8).

Denpasar,diaribali.com
Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai GOLKAR dan Fraksi Partai Demokrat-Nasdem mengapresiasi  Raperda tentang Bale Kertha Adhyaksa di Bali oleh  Gubernur. Apresiasi tersebut disampaikan dalam Rapat Paripurna ke-31 masa Persidangan III yang dipimpin Ketua DPRD Provinsi Bali Dewa Made Mahayadnya, Senin (11/8).

Pandangan umum yang dibacakan oleh I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya, memaparkan,
memperhatikan urgensi keberadaan suatu lembaga adat yang mampu menjembatani penyelesaian perkara berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai GOLKAR, dan Fraksi Partai Demokrat-Nasdem DPRD Provinsi Bali memandang bahwa pembentukan Bale Kertha Adhyaksa merupakan langkah strategis dalam memperkuat sistem keadilan restoratif berbasis kearifan lokal Bali.

Hal ini, lanjutnya, selaras dengan semangat Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, yang menempatkan desa adat sebagai pilar utama dalam menjaga keharmonisan sosial, budaya, dan  spiritual masyarakat Bali.

Politisi PDIP ini menyebutkan, masyarakat Bali memiliki karakteristik warisan budaya serta kearifan lokal dalam penyelesaian perkara yang dapat diimplementasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang dalam praktek dewasa ini disebut sebagai prinsip keadilan restoratif. Pengakuan terhadap hukum adat sebagai salah satu sumber hukum yang sah memberikan legitimasi bagi aktualisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat adat termasuk hingga penerapan sanksi berbasis adat (customary sanctions) sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan nasional, sepanjang penerapannya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, dan ketentuan konstitusional.

“Selaras dengan ungkapan bahwa “hukum adat sebagai ibu dari peraturan perundang-undangan” yang menegaskan bahwa hukum adat memiliki peran penting dan mendasar dalam pembentukan serta pengembangan hukum positif di Indonesia. Sebagai salah satu sumber hukum nasional, hukum adat memiliki kedudukan fundamental, di mana prinsip-prinsip dan nilai-nilainya telah diadaptasi dan dikodifikasi ke dalam peraturan perundangundanga,” terangnya.

Lebih jauh disampaikan,  sebagaimana digambarkan oleh R. Soepomo, tokoh nasional sekaligus ahli hukum adat, arsitek Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup
the living law yang senantiasa tumbuh, menyesuaikan diri, dan berkembang seiring perjalanan bangsa.

Dalam rangka menjembatani kekakuan hukum positif dengan fleksibilitas hukum adat, diperlukan pendekatan inklusif agar
kedua sistem hukum tersebut dapat saling melengkapi dalam praktik penyelenggaraan hukum. Pengakuan terhadap hukum adat juga merupakan bagian dari pelestarian keberagaman budaya nasional sekaligus penguatan kedaulatan lokal, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa yang tersirat dalam kerangka
kelembagaan Bale Kertha Adhyaksa.

Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa, masih kata Marhaendra Jaya, yang memiliki peran memfasilitasi penyelesaian sengketa adat, perkara pidana ringan, hingga konflik sosial secara restoratif melalui kerja sama dengan kejaksaan, kepolisian, perangkat desa, dan
pecalang.

“Terkait Raperda Bale Kertha Adhyaksa di Bali, setelah kami mencermati secara seksama keseluruhan materi muatan dan mempertimbangkan esensi kemanfaatan serta kepastian hukum, kami memandang bahwa keberadaan Bale Kertha Adhyaksa patut
diapresiasi dan didukung. Lembaga ini telah menempatkan peran strategisnya dalam menjalankan fungsi penyelesaian perkara,
mediasi, dan pemberian pertimbangan hukum berbasis kearifan lokal Bali secara optimal,” pungkasnya.

Sementara Pandangan Umum Fraksi Gerindra-PSI yang dibacakan Gede Harja Astawa,
menyoroti judul Raperda yang ada kata “Adhyaksa”  yang sudah menjadi brand Lembaga Kejaksaan, sehingga perlu dikaji kembali dan dipertimbangkan dengan pilihan yang lebih bijaksana dan lebih netral karena penggunaan kata tersebut seperti pisau bermata dua jika pada tataran implementatif hasilnya tidak baik atau setidaknya tidak sesuai dengan harapan penggagas.

Selain itu, penting juga mengatur dan menjelaskan dalam Raperda tersebut tentang
profesionalisme dengan rajutan yang dibangun di atas tiga pilar utama yang diperlukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
yaitu nilai-nilai kecakapan (competence), kejujuran (integrity), dan kemerdekaan (independence). Senada dengan itu dalam dunia
peradilan ada ungkapan yang mesti kita renungkan yakni: “Beri aku seorang hakim yang jujur dan cerdas dengan undang-undang
paling buruk sekalipun akan kuberikan putusan yang adil”.

“Betapa pentingnya nilai kejujuran dan kecerdasan jika ingin menciptakan keadilan dalam semua aspek bidang kehidupan manusia tidak hanya dibidang kehidupan hukum termasuk
kehidupan birokrasi pemerintahan di Bali,” pungkas Harja. (Art)