FGD DPD RI, Mahyudin : Kesenjangan Sosial Masih jadi PR Besar

DPD RI
Foto bersama usai melakukan Focus Group Discussion, Jumat 25 Agustus 2023
Bagikan

DENPASAR, diaribali.com – Komite II DPD RI menggelar Focus Group Discussion dengan tema “Memperkuat Sistem Ketatanegaraan Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa Dalam Konteks Proposal Kenegaraan DPD RI”, Jumat (25/8/2023) bertempat di Kantor DPD RI Perwakilan Bali Renon Denpasar.

FGD ini mengahdirkan narasumber Edward Thomas Lamury, S.H.,LLM, dan Dr. Eka Fitriantini,S.H.,M.H. dan dihadiri Wakil Ketua DPD RI Dr. H. Mahyudin,ST, M.M., Anggota DPD RI Dapil Bali Dr. Mangku Pastika serta puluhan akademisi dan mahasiswa.

Wakil Ketua DPD RI, Dr. H. Mahyudin,ST, M.M.,menyampaikan, Indonesia sudah merdeka 78 tahun lamanya, namun masih banyak rakyat yang belum menikmati hasil kemerdekaan itu. Ketimpangan dan disparitas masih tetap terjadi.

Selain itu, kata Mahyudin, sebagian warga yang berada di Kalimantan terpaksa berjalan kaki untuk belanja ke Malaysia, Bahkan di Papua ada yang busung lapar. Masalah keadilan dan kesenjangan masih menjadi PR besar bangsa ini. “Dibeberapa wilayah, jangankan internet, banyak juga warga belum bisa menikmati listrik,” ujarnya.


Masih kata Mahyudin, di Jakarta banyak jembatan tanpa sungai, sementara di daerah lain banyak sungai yang tidak ada jembatannya. “Saya lihat kesenjangan begitu tinggi. Kuncinya keadilan yang belum merata,” jelas tokoh asal Kalimantan Timur ini.

Menurutnya, penting peran DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai representasi daerah. Negara yang besar ini tidak bisa meniadakan keterwakilan (DPD). “Apalagi sampai ada yang ingin meniadakannya. Ini pikiran sesat. Boleh saja merubah nama lembaga ini, tapi rohnya harus tetap ada,” tegasnya.

Sementara Dr. Mangku Pastika mengatakan diskusi ini untuk mencari bentuk dan posisi DPD yang pas dalam sistem ketatanegaraan. Sebab posisi DPD dalam sistem ketatanegaraan dengan UU yang ada masih lemah.

Padahal dulu DPD dibentuk sebagai lembaga penyeimbang antara eksekutif dan legislatif agar tidak ada dominasi, baik dominasi eksekutif atau dominasi legislatif. “Sekarang yang terjadi mereka malah bersatu. DPD ya tidak bisa apa-apa. Jadi hasil pengawasan, pembahasan peraturan perundang-undangan, aspirasi dari rakyat itu bentuknya hanya sebagai bahan pertimbangan, rekomendasi baik kepada DPR maupun pemerintah,” jelasnya.

“Kekuatan ‘memaksanya’ tidak ada. Akibatnya ya suka-suka, banyak yang lolos, apa yang menjadi maunya pemerintah dan maunya DPR. Kalau pemerintah sudah mau, dan DPR setuju ya jalanlah itu. Padahal banyak yang dianggap merugikan kepentingan daerah,” tambah mantan Gubernur Bali dua periode ini.

Menurut Mangku Pastika, padahal DPD tugasnya mewakili daerah. Hal inilah yang sedang dibicarakan, diperjuangkan. Mestinya DPD punya undang-undang sendiri, tidak masuk dalam MD3. Kalaupun masuk, harus ada kewenangan yang sejajar, setara supaya bisa menjalankan fungsi penyeimbang. “Sekarang kan tidak seimbang. DPD hanya memberi pertimbangan, seolah-olah subordinate, bawahan. Harusnya posisinya sama. Untuk perubahan itu hanya bisa dilakukan melalui UU,” pungkasnya. Zor