Dari Sawah ke Panggung: Kisah Lima Siswi SMK 5 Denpasar Menghidupkan Ritual Mepranian

Denpasar, diaribali.com-
Aula SMK Negeri 5 Denpasar terasa lebih hangat dari biasanya pada Senin (10/11/2025). Di ruangan yang biasanya digunakan untuk latihan harian, lima siswi kelas XII Jurusan Tari—angkatan 2022—bersiap menghadapi salah satu momen terpenting selama tiga tahun menempuh pendidikan seni.
Mereka adalah Kadek Ayu Novita, Luh Putu Mas Ariani, Ni Kadek Riana Surya Putri, Ni Kadek Sula Antika Sari, dan Ni Kadek Tianingsih. Lima remaja perempuan dengan tekad yang sama: membawa sebuah tradisi desa ke atas panggung dalam bentuk garapan tari kreasi berjudul “Mepranian.”
“Mepranian” bukan sekadar judul. Ia adalah gambaran nyata dari ritual masyarakat Desa Angantaka, Badung—sebuah tradisi yang dilakukan para petani setelah panen sebagai ungkapan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi melalui manifestasi Dewi Sri. Dalam ritual ini, masyarakat merayakan hasil bumi, memohon berkah, dan merawat hubungan spiritual dengan alam.
Tradisi itu kemudian diterjemahkan oleh lima siswi ini ke dalam bahasa tubuh. Selama dua bulan mereka menata gerak, memadukan pakem tari Bali dengan alur kreasi, sembari tetap menjaga ritme, melodi, dan aksen khas Bali. Mereka berusaha menangkap ruh dari Mepranian: syukur, ketulusan, dan keharmonisan antara manusia dan alam.
Di panggung sederhana sekolah, garis-garis tradisi itu menjelma dalam lenggang tangan, tatapan, dan ayunan tubuh yang harmonis. Gamelan mengiringi dengan lembut, menyatu dengan gerak lima penari yang tampil penuh penghayatan. Tepuk tangan mengalun selepas tarian usai, mengisyaratkan keberhasilan mereka dalam menghadirkan tradisi ke ruang modern.
Bagi kelimanya, pementasan UKK (Uji Kompetensi Keahlian) ini merupakan ujian yang tidak hanya mengukur teknik tari, tetapi juga kedewasaan artistik mereka. Selama seminggu menjelang pentas, mereka berlatih intens untuk “memayangkan” gerak-gerak baru yang harus tetap berakar pada pakem tari Bali.
Salah satu penari, Kadek Sula Antika Sari, tak dapat menyembunyikan rasa harunya setelah turun panggung.
“Saya bersyukur, garapan sukses dipentaskan,” ungkapnya dengan mata berbinar.
Ia bercerita bagaimana mereka berlima berupaya menyusun gerak demi gerak secara detail agar sesuai dengan konsep garapan.
“Untuk persiapan, kami berlima sejak seminggu terakhir berlatih secara intens. Kami memayangkan gerakan-gerakan baru yang tetap menghormati pakem tari Bali,” tambahnya.
Bagi Sula, ujian ini bukan hanya sekadar tugas akhir, tetapi bukti nyata bahwa ilmu yang mereka pelajari mampu mereka serap dan implementasikan dalam karya yang utuh.
“Semoga apa yang kami dapat di sekolah bisa kami implementasikan dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat, sebagai penjaga seni dan budaya Bali dari leluhur.”
Gadis asal Karangasem itu juga menegaskan bahwa pengalaman ini menjadi bekal penting untuk melangkah ke panggung yang lebih besar di masa depan.
“Ajang ini saya jadikan jam terbang untuk mematangkan diri di ajang yang lebih bergengsi. Kekompakan kelompok adalah kunci sukses pentas ini,” pungkasnya.
Garapan “Mepranian” tak hanya menjadi penanda kelulusan atau pembuktian kemampuan. Lebih dari itu, karya ini menjadi bagian dari perjalanan panjang penciptaan tari Bali kontemporer—karya yang tetap menghargai akar tradisi, namun juga berani bereksplorasi.
Pentas ini juga menunjukkan bagaimana pendidikan seni di SMK Negeri 5 Denpasar tidak hanya membentuk keterampilan teknis, tetapi juga menanamkan kesadaran budaya pada generasi muda. Dalam tangan para siswi angkatan 2022 ini, tradisi desa menemukan ruang baru untuk terus hidup dan dikenang.
“Mepranian” menjadi bukti bahwa seni tari Bali tetap bergerak, berinovasi, dan berkembang melalui tangan-tangan muda yang mencintai budaya leluhurnya. (Art)