Berkenalan dengan Sang Pengabdi Seni dari Sidayu Klungkung
KUNGKUNG-Diaribali
MENJADI seorang dalang wayang, tidak pernah terbesit di pikiran I Made Lamu, apalagi masuk ke dalam daftar profesi cita-citanya sewaktu kecil. Made Lamu menyakini, takdir hiduplah yang membawanya sampai pada titik saat ini, hingga dikenal dengan nama Jero Mangku Dalang Made Lamu.
Famplet bertuliskan “Gang Wayang” menuju kediaman Made Lamu mempertegas legitimasinya sebagai maestro wayang Bali yang disematkan warga sekitar, khususnya Dusun Sidayu Tojan, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Berawal dari tahun 1981, selepas menamatkan pendidikan SMP di Klungkung, Made Lamu memutuskan hijrah ke Kota Denpasar untuk mencari pekerjaan, dan syukur-syukur bisa melanjutkan pendidikan setara SMA.
“Di Denpasar, saya numpang di rumah seorang tokoh yang cukup disegani. Segala jenis pekerjaan diahapnya, mulai dari buruh tani hingga tukang jagal babi,” kenang Made Lamu, ditemui di kediamannya, belum lama ini.
Berbekal keajaiban, Made Lamu meminta bantuan seseorang mendaftarkan diri di Konservatori Karawitan (Kokar) sebagai siswa baru.
“Saat itu, seleksi masuk Kokar amat ketat. Calon murid wajib punya bakat di bidang seni. Sedangkan Made Lamu merasa tidak punya kemampuan seni apapun kecuali matembang,” ujarnya.
Kemahiran olah vakal ini yang akhirnya menyelamatkannya dari tes praktik. Made Lamu diterima sebagai siswa angkatan 1981. Selama satu smester, Made Lamu dan siswa baru lain mendapatkan semua pelajaran seni secara umum. Di smeseter berikutnya, mulai masuk penjurusan.
Para guru yang telah mengamati potensinya, menyarankan agar Made Lamu memilih jurusan Pedalangan. Pedalangan termasuk jurusan istimewa. Sebab, seorang siswa jurusan pedalangan bisa berpindah ke jurusan tari atau karawitan. Sebaliknya, jurusan tari dan karawitan tidak bisa berpidah ke pedalangan.
Made Lamu muda bersekolah dengan tekun dan sungguh-sungguh sambil tetap bekerja sebagai buruh tani dan jagal babi. Belum lagi latihan menari dan kawaritan di sekolah hingga larut malam.
Meski harus banting tulang untuk bekerja dan belajar, Made Lamu menganggap kehidupannya saat itu jauh lebih baik dari pada di kampung halamannya yang serba kekurangan.
Bakat dan potensi Made Lamu makin terasah. Hingga lulus dari Kokar tahun 1984 ia merasa ditakdirkan menjadi seorang dalang wayang. Dari segi genetik, ia tidak menemukan jejak leluhurnya sebagai Mangku Dalang, kecuali sebuah cerita bahwa kumpi-nya merupakan sekaa gong di Puri Agung Klungkung.
Walau telah mahir memainkan wayang, Made Lamu terkendala fasilitas. Ia tidak memiliki satu biji wayang pun. Seorang dalang asal Desa Lepang, I Made Gelgel, yang kemudian menjadi salah satu guru Made Lamu mendukung penuh keinginan Made Lamu.
Made Gelgel bersedia meminjamkan wayangnya kepada Made Lamu untuk mengikuti Festival Wayang yang digelar oleh Listibya Provinsi Bali tahun 1984.
Made Lamu berhasil keluar sebagai juara II. Hadiah yang dia dapatkan cukup besar kala itu, RP 700 ribu. Setelah dibagi-bagi untuk tim pendukung, tersisa Rp300 ribu. Sisa uang ini lah yang digunakan membeli wayang di Gianyar.
Seingatnya, ia mendapatkan 25 buah wayang. Sementara keropak wayang, diberikan secara cuma-cuma oleh Made Gelgel. Untuk melengkapi koleksinya, Made Lamu membeli dengan cara mencicil satu per satu. Bahkan ia sampai meminjang uang di sebuah bank untuk membeli perlengkapan termasuk gender.
Empat tahun kemudian dia tampil pada Festival Wayang Ramayana di Sidayu. Tahun 1989 dan 1991 mengikuti Festival Wayang Ramayana di Jakarta.
Melakoni kehidupan sebagai dalang rupanya tidak memberikan kehidupan yang berkecukupan. Made Lamu pun melebarkan sayap dengan belajar tari Bali kepada Ida Bagus Sorga di Denpasar dan I Made Sija dari Gianyar.
Jika orderan wayang sepi, Made Lamu mengambil job sebagai penari topeng, arja, calon arang, sendra tari dan tentunya sekaa gambel. Meski demikian, Made Lamu didera putus asa. Di tahun 1990, ia memutuskan pindah ke Kota Surabaya, Jawa Timur setelah menerima tawaran sebagai guru tari Bali di sebuah SMP.
Ia mengajak serta anaknya yang masih kecil dan sang istri. Di Kota Pahlawan, Made Lamu hanya bertahan dua tahun. Tubuhnya diserang penyakit medis dan non medis. Lemas tak karuan. Sampai seorang kiyai memberikan signyal ia harus kembali ke Bali. Taksu wayang memanggilnya untuk pulang. Sejalan dengan kata hatinya.
Tak lama setelah kembali, Made Lamu mengikuti Festival Wayang Ramayana se-Bali, dan langsung meraih juara II se-Bali tahun 1992, disusul juara III pada Festival Wayang Cupak se-Bali tahun 1996. Made Lamu telah malang-melintang pentas di berbagai daerah se-Bali bahkan hingga ke Lumajang, Jawa Timur.
Menurutnya, dalang bukan sebatas seni, tetapi sebuah filsafat hidup. Jika didalami sesuai Dharma Pawayangan, dalang adalah sang pengatur hidup. Segala aspek kehidupan yang tercermin dari karakter setiap wayang ada dalam diri sang dalang. Baik dan buruk adalah dua sisi yang diciptakan oleh Tuhan. Oleh karenanya seorang dalang “tan kakening sodsod upadrawa utawi raja pinulah”.
Made Lamu mengakui, pementasan wayang akhir-akhir ini relatif sepi. Bahkan dalam sebulan belum tentu ada pemesan. Tapi di bulan-bulan tertentu cukup padat. Berbeda dengan era 1990-an, ia pernah dikontrak oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat BP7), sebuah lembaga negara Indonesia pada masa Orde Baru yang mengoordinasi pelaksanaan pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Made Lamu, dengan media wayang dikontrak memberikan “kuliah” P4 ke banjar-banjar se-Kabupaten Klungkung. Kontrak serupa juga dijalin dengan Perwakilan Kementerian Agama untuk memberikan dharma wacana. Ia menerima honor tetap setiap bulan.
Melihat terjadinya degradasi moral pada diri anak muda, Made Lamu berharap pemerintah kembali menggaungkan pendidikan moral berbasis kesenian tradisional di masing-masing daerah di Indonesia. Tujuannya agar lebih mudah dicerna oleh masyarakat.
Kemahirannya sebagai Jero Dalang dan kedekatannya dengan Puri Klungkung, membuatnya dipanggil oleh Bupati Klungkung ketika itu, dr. Cokorda Gde Agung. Made Lamu ditawari pekerjaan sebagai pegawai di PD Parkir.
Karena kesibukannya sebagai dalang sembari menemani istri berjualan di pasar Klungkung, Made Lamu melupakan tawaran bupati. Jika dia menyanggupinya, ia yakin tinggal menghitung waktu menjadi pegawai negeri. Lagi-lagi menurutnya bukan takdirnya menjadi pegawai.
Di usia yang makin senja, Made Lamu telah melakukan regenerasi. Putra sulungnya, I Wayan Mulyana, diarahkan menekuni dalang sejak bangku pendidikan menengah atas hingga pendidikan sarjana pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Mulyana telah bergelar Sarjana Seni (pedalangan) dan siap melanjutkan dharmaning dalang sang ayah.
Diam-diam, istri Mulyana atau menantu Made Lamu, Ni Ketut Ariani juga tertarik menjadi seorang dalang. Meski tidak ada dasar sama sekali, menantunya itu sudah berani tampil di depan umum hingga even tingkat kabupaten. Dari belajar mendalang, Ariani juga sempat mewakili Klungkung di tingkat Provinsi dalam lomba masatua Bali.
Dalang, bagi Made Lamu juga mengajarkan bagaimana mengatur pola hidup. Seorang dalang dituntut menjaga tubuh agar tetap fit. Dalang tidak boleh makan dan minum sembarangan, serta tetap menjaga etika di masyarakat.
Ketokohan Made Lamu membawanya diplih sebagai Kepala Dusun Sidayu Tojan hingga belasan tahun lamanya. Berkat dedikasinya di bidang pelestarian seni, Made Lamu diberikan tanda Penghargaan “Adi Sewaka Nugraha” serangkaian Pesta Kesenian Bali ke-46 Tahun 2024, sebagai bentuk apresiasi Pemerintah Provinsi Bali, yang diserahkan Pj Gubernur Bali, Sabtu (13/7/2024) di Taman Budaya Bali, Denpasar.
Penghargaan ini, menambah koleksi penghargaan yang pernah diterima Made Lamu sebelumnya oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung, Pemprov Bali dan pihak lain. Seniman Kelahiran Sidayu Tojan tahun 1965 ini pun, hingga kini tetap merasa perlu belajar.