Bali Bangkit, Industri Akomodasi Diperketat

IMG-20251203-WA0170
Wayan Koster

Denpasar,diaribali.com—
Pembukaan Musda XV PHRI BPD Bali 2025 menjadi panggung evaluasi serius masa depan pariwisata Bali. Di hadapan pelaku industri hotel dan restoran, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan perlunya konsolidasi kuat agar sektor yang menopang lebih dari separuh devisa pariwisata nasional itu tidak kehilangan arah di tengah persaingan global.

Koster menyodorkan sederet indikator ekonomi yang menunjukkan Bali sedang kembali menguat—pertumbuhan ekonomi menembus 5,88% pada triwulan III, tingkat kemiskinan turun ke 3,7%, dan pengangguran hanya 1,7%. Namun, ia mengingatkan pemulihan itu dibangun di atas pondasi industri yang rentan dan tidak boleh dibiarkan bekerja sendiri-sendiri.

“Pelaku pariwisata sering berjalan parsial. Di periode kedua ini, saya akan tegas. Semua harus solid dan bergerak bersama,” katanya dalam acara yang digelar di Prime Plaza Hotel Sanur, Rabu (3/12).

Dalam forum itu, Koster mempertegas kebijakan pengendalian alih fungsi lahan. Tidak ada lagi ruang bagi pembangunan hotel di lahan produktif, terutama sawah. Ia menilai ekspansi akomodasi tak terkendali justru menggerus daya tarik Bali yang bertumpu pada lanskap budaya dan agraris.

Masalah lingkungan turut disorot. Koster meminta hotel dan restoran terlibat langsung dalam pengelolaan sampah dan penataan mobilitas wisatawan. Kemacetan, sampah, dan konversi lahan disebut sebagai tiga ancaman utama yang jika tak diatasi, dapat menekan daya saing Bali di pasar global.

“Pariwisata budaya adalah roh Bali. Jangan sampai hilang karena salah urus,” ujarnya.

Staff Ahli Menparekraf, Masruroh, menyoroti persoalan yang selama ini menjadi keluhan industri: pesatnya akomodasi berbasis sharing economy. Pertumbuhannya memperluas pilihan bagi wisatawan, namun memunculkan distorsi pasar karena sebagian besar beroperasi tanpa izin dan tanpa kontribusi pajak.

Fenomena ini, menurutnya, harus ditata agar persaingan tetap sehat dan manfaat ekonomi tidak bocor keluar negeri. Ia juga mendorong percepatan digitalisasi dan penguatan SDM untuk memastikan industri perhotelan tetap kompetitif.

Ketua BPP PHRI, Hariyadi B.S. Sukamdani, menguatkan sinyal bahaya tersebut. Ia mengungkap sebagian besar akomodasi resmi di Bali dikelola pengusaha lokal dan nasional, sementara unit tak berizin mayoritas dikuasai investor asing melalui platform global.

“Ini harus menjadi perhatian bersama. Ada aspek legalitas, persaingan usaha, dan penerimaan pajak daerah,” tegasnya.

Hariyadi juga mendukung penyusunan peta jalan pariwisata berkelanjutan serta panduan nasional pengelolaan destinasi agar pembangunan tidak terjebak orientasi jangka pendek.

Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Tjok Ace), menekankan Musda ini bukan sekadar forum organisasi, tetapi ruang untuk memperkuat solidaritas dan merumuskan ulang strategi sektor hospitality Bali.

Dengan ancaman perubahan iklim, dinamika tata ruang, hingga persaingan global yang semakin ketat, ia menyebut PHRI harus tampil sebagai mitra strategis pemerintah.

“MUSDA ini momentum memperkuat konsolidasi. Tantangan kita bukan hanya tren wisata, tapi juga keberlanjutan alam dan budaya Bali,” ujarnya.

Musda XV PHRI Bali diharapkan melahirkan rekomendasi kebijakan yang lebih tegas, adaptif, dan berorientasi jangka panjang—mulai dari penataan akomodasi, pengendalian dampak lingkungan, hingga penguatan kualitas SDM. Industri yang menjadi nadi ekonomi Bali itu kini didorong untuk tidak sekadar bangkit, tetapi juga tumbuh lebih tertib, lebih seimbang, dan lebih berkelanjutan. (Art)