iklan warmadewa iklan stikom

Arsitektur Bali Kini: Menjaga Warisan, Membangun Masa Depan

IMG-20250617-WA0038
Perkembangan Arsitektur Bali Tahun 2010-2025.

Denpasar,diaribali.com-
Pulau Bali dikenal di dunia sebagai pulau dengan identitas budaya yang kuat, di mana arsitektur tradisional menjadi salah satu elemen penting dalam membentuk karakter ruang dan wajah wilayahnya. Namun, dalam kurun waktu antara tahun 2010 hingga 2024, terjadi perubahan besar dalam model bangunan yang berdiri di berbagai wilayah Bali. Perubahan ini tidak hanya soal tampilan fisik, tetapi juga mencerminkan pergeseran nilai, gaya hidup, hingga tuntutan ekonomi dan pariwisata.

Pada periode 2010–2015, arsitektur tradisional Bali yang khas—dengan ornamen ukiran, atap jerami (alang-alang), dan struktur terbuka yang menyatu dengan alam tropis—masih menjadi bentuk dominan. Bentuk ini tidak hanya memperlihatkan keindahan estetika, tetapi juga mengandung filosofi hidup masyarakat Bali yang sarat nilai spiritual dan ekologis.

Namun seiring waktu, khususnya antara tahun 2016–2020, terjadi transisi menuju perpaduan antara gaya tropis modern dengan unsur-unsur tradisional. Bangunan mulai menampilkan bentuk-bentuk yang lebih bersih dan minimalis, namun masih menyisipkan elemen Bali, walau cenderung sebagai aksen visual belaka.

Memasuki tahun 2021–2024, wajah arsitektur Bali semakin didominasi oleh gaya modern tropis dan industrial, dengan penggunaan material seperti beton ekspos, baja, dan kaca dalam skala besar. Green architecture juga mulai muncul, menawarkan alternatif yang lebih ramah lingkungan, meskipun tidak lepas dari kritik sebagai tren yang lebih bersifat estetika dan komersial daripada ideologis.

BACA JUGA:  FTP Unwar Lepas 26 Calon Wisudawan pada Yudisium ke-75

Perkembangan Model Bangunan Komersial di Bali 2010-2025

Perubahan ini menjadi sorotan tidak hanya oleh masyarakat lokal, tetapi juga para wisatawan yang telah lama mengenal dan mencintai Bali. Beberapa dari mereka merasa kehilangan suasana otentik Bali yang dahulu mereka kagumi. Kawasan seperti Kuta, Seminyak, dan Canggu kini dipenuhi vila-vila mewah, beach club, dan kafe modern yang sering kali tidak merepresentasikan nilai-nilai lokal. Bahkan, rumah-rumah tradisional Bali dan sawah-sawah yang menjadi ikon lanskap Bali semakin tergeser oleh beton dan bangunan bertingkat. Sebagian wisatawan pun menyayangkan hilangnya “rasa Bali” yang dulu menjadi daya tarik utama pulau ini.

Di sisi lain, pembangunan ini tidak lepas dari dinamika regulasi yang ada. Meskipun Bali memiliki peraturan yang cukup ketat terkait pembangunan, seperti Perda tentang Bangunan Gedung di Denpasar, Badung, dan Gianyar, realitas di lapangan menunjukkan adanya banyak pelanggaran. Kasus ParQ Ubud menjadi salah satu contoh nyata.

Kompleks ini dibangun dengan mengalihfungsikan lahan sawah yang dilindungi, dan berkembang tanpa mengikuti ketentuan tata ruang, hingga akhirnya ditutup oleh pemerintah. Kasus serupa tidak sedikit, dan hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta tingginya tekanan dari kepentingan ekonomi, termasuk investasi asing.

Melalui studi pendahuluan dan pengamatan di lapangan, terlihat bahwa banyak pembangunan yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar pelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan. Padahal, identitas Bali sangat bergantung pada keharmonisan antara manusia, alam, dan nilai spiritual—sebuah prinsip yang diwariskan melalui konsep Tri Hita Karana dan sistem arsitektur tradisional Bali seperti Asta Kosala-Kosali.

BACA JUGA:  Pemkot Denpasar Bersama Perumda Tirta Sewaka Dharma Serahkan Ratusan Paket Bantuan di Dua Sekolah di Serangan

Oleh karena itu, pengawasan pembangunan menjadi sangat penting. Tidak hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menjaga Bali tetap “menjadi Bali”. Keterlibatan desa adat, masyarakat lokal, akademisi, dan pemerintah perlu diperkuat untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar profit, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah menjadi warisan budaya Bali. Pengawasan yang saling kontrol, untuk meminimalisasi pelanggaran pembangunan di Bali.

Penulis: I Wayan  Parwata