Stigma Bhaerawa Terjawab saat Bedah Buku, Ada Perguruan Tinggi Tertarik Lakukan Penelitian di Pasraman

Klungkung,diaribali.com–
Penulis buku ‘Bhaerawa Jnana’ akhirnya menjawab stigma yang selama ini beredar di masyarakat terkait Bhaerawa yang dicap seram, membunuh, serta kejam. Jawaban ini terungkap saat dilaksanakan Launching dan Bedah Buku yang digelar di Pasraman Sri Taman Ksetra, di Desa Pikat Kecamatan Dawan, Klungkung.
Acara yang ini dihadiri orang nomor satu di Kabupaten Klungkung, Kementerian Agama Kanwil Provinsi Bali, Sulinggih, dan segenap lapisan masyarakat. Buku ini dibedah oleh Budayawan Wayan Westa, dr. Wayan Mustika dan dimoderatori I Putu Gede Raka Praman Putra berlangsung interaktif antara pembedah dengan peserta.
Bupati Klungkung I Made Satria dalam sambutannya mengungkapkan apresiasi atas dilaunchingnya buku ini. Bupati berharap dengan adanya buku ini nantinya dapat menambah pengetahuan, sebagai pedoman atau sebagai dasar untuk mengarungi kehidupan dimasa mendatang. “Saya sangat mengapresasi atas launchingnya buku ini. Dumogi buku ini bisa bermanfaat untuk kita jadikan pedoman meniti kehidupan di masa mendatang,” harap Bupati Satria.
Selaku penulis Ida Pandita Dukuh Celagi Daksa Dharma Kirti memaparkan masyarakat agar menyebarluaskan ajaran Bhaerawa yang selama ini dikonotasikan negatif. Padahal, belajar Bhaerawa menghormati dan mencintai tubuh, setelah itu mencari tuhan dalam diri, inilah ajaran cinta kasih.
Disebutkan, bahwa buku karya kedua ini melengkapi karya pertama yang berjudul Bhaerawa Jalanku. Dengan semakin lengkapnya buku ini, saatnya membuka tabir yang disebut negatif oleh orang yang selama ini apriori.
“Masyarakat menyebut Bhaerawa jahat, pembunuh, serba jelek. Padahal ajaran ini ajaran cinta kasih,” tegas Ida Dukuh Celagi.
Lebih jauh disebutkan, seorang Shadaka (penganut bhaerawa), wajib memfisualisasikan Bhaerawa dengan menduduki tiga tengkorak sebagai simbol membunuh tiga musuh dalam diri seperti keinginan, ego dan ketakutan.
“Seorang shadaka wajib membunuh tiga hal tersebut. Pelaku spiritual kalau masih penakut tidak mungkin menjadi spiritual yang baik,” imbuhnya.
Sementara dr. Wayan Mustika mengungkapkan
ketertarikan Jendela Rumah Semesta menerbitkan buku Bhaerawa Jnana, bermula ketika suatu ketika mengisi salah satu acara bersama Ida Dukuh. Melalui obrolan tentang buku Bhaerawa, dari sana muncul keinginan membawa Bhaerawa menjadi pencerahan.
Wayan Mustika menyampaikan, energii buku ini luar biasa. Karena derasnya energi Bhaerawa ini membuat kontraksi saat melakukan editing. “Kepala tiang mekudus. Maunya dicoret, namun semua ini isinya penting,” kelakar Wayan Mustika.
W Mustika yang juga seorang penulis buku spiritual sekaligus editor buku Bhaewra Jnana menganalogikan tujuan hidup semua umat Hindu tahu dan hafal sampai titik koma. Namun, tidak semua tahu cara atau pentunjuk menuju tujuan hidup tersebut.
Dengan demikian buku Bhaerawa Jnana bagaikan google maf atau petunjuk arah sehingga kita bisa sampai pada tujuan. Sama halnya seperti cahaya akan berarti dalam kegelapan. Dalam kesunyian pasti waspada serta dalam kesunyian kita akan menjadi fokus.
” Buku ini merupakan sebuah jembatan atau titi menuju akhirat. Karena semua akan menuju pulang Sangkan Paraning Dumadi. Biarkan buku ini menjadi pegangan,” imbuh Wayan Mustika sembari menyebut bahwa buku ini layak dibaca oleh semua kalangan.
Sementara Pembedah Wayan Westa mengapresiasi Ida Dukuh Celagi menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai Sulinggih (pendeta) selain muput upacara juga memberikan pencerahan melalui karya tulis buku ini.
Disebutkan, tugas Pandita yaitu Surya yang menerangi kegelapan, Petirtan Jagat yang berarti memberi kesejukan jagat, guru loka, serta mengusir kegelapan masyarakat. Itulah tugas Sulinggih terpelajar yang tidak lepas dari kegiatan nyastra.
Westa menambahkan bahwa patih Gajah Mada merupakan penganut Bhaerawa, bahkan melalui sumpah amukti palapa, kata palapa artinya tidak menikmati atau mencecapi ketikmatan tubuh sebelum nusantara ini bersatu di tangan Gajah Mada. Dahulu untuk mengantisipasi kekuatan demon, semua raja penganut Bhaerawa.
Lebih jauh disampaikan, sastra di Bali menuliskan ajaran Bhaerawa, namun sampai saat ini belum ditemukan tulisan tentang Bhaerawa di Bali, hanya terselip dalam lontra lontar yang ada. Lontar secara khusus belum ditemukan sampai saat ini. Meski demikian secara praktik ajaran Bhaerawa terus mengalir. Terbukti pemujaan-pemujaan yang dilakukan di pura Dalem dibumikan di ajaran Bhaerawa.
Lebih menarik, saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta mengajukan pertanyaan. Peserta yang merupakan seorang dosen Teologi Agama Hindu di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bali ini tertarik dengan ajaran Bhaerawa ini.
Ketertarikannya ini, lanjutnya akan diperdalam lagi nantinya melalui penelitian bersama lebih mendalam yang bakal dilakukan di Pasraman Sri Taman Ksetra.
“Semoga, ajaran Bhaerawa ini nantinya bisa diangkat sebagai disertasi. Dengan demikian ajaran ini akan dikupas lebih mendalam yang nantinya bisa melahirkan sebuah literasi yang dapat dipakai rujukan serta bermanfaat bagi masyarakat,” ungkapnya. (Art)