Bangun Literasi Politik Sejak Dini, Bawaslu Bali Sasar Generasi Z di Sekolah

Denpasar,diaribali.com –
Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) Provinsi Bali terus memperkuat komitmennya dalam menumbuhkan kesadaran berdemokrasi sejak dini, khususnya di kalangan pemilih pemula.
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Provinsi Bali, Ketut Ariyani, menuturkan bahwa pihaknya telah menggelar serangkaian sosialisasi di sejumlah sekolah menengah atas di berbagai kabupaten/kota di Bali, bertepatan dengan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) yang berlangsung sejak pertengahan Juli 2025.
Menurut Ariyani, kegiatan ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Bawaslu dalam membangun literasi politik dan demokrasi yang kokoh di kalangan pelajar.
“Kami tidak ingin demokrasi hanya menjadi rutinitas lima tahunan yang mekanis. Kami ingin demokrasi menjadi kesadaran yang hidup dan tumbuh di ruang-ruang belajar, di dalam kelas, dan di pikiran generasi muda,” tegasnya saat ditemui usai menghadiri undangan evaluasi sosialisasi yang digelar KPU Bali, Selasa (5/8/2025).
Ariyani menambahkan, langkah ini diperkuat dengan adanya Nota Kesepahaman (MoU) antara Bawaslu Bali dan Dinas Pendidikan Provinsi Bali, yang memberi ruang resmi bagi Bawaslu untuk hadir secara aktif di sekolah-sekolah dalam kapasitas edukatif.
“Jadi kami tidak hanya hadir sebagai pengawas pemilu, tetapi juga sebagai penyampai nilai-nilai demokrasi kepada para siswa,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ariyani juga menanggapi persoalan terbatasnya waktu yang dimiliki KPU Bali untuk menyampaikan materi sosialisasi di sekolah. Ia membuka ruang kolaborasi antara kedua lembaga agar bisa hadir bersama dalam kegiatan sosialisasi ke depan.
“Bisa banget KPU dan Bawaslu hadir bareng dalam kapasitas edukatif masing-masing. KPU dengan sosialisasi partisipasinya, dan kami dengan pengawasannya. Ini bisa saling melengkapi,” ujarnya.
Ariyani mengungkapkan bahwa selama ini Bawaslu mendapatkan waktu cukup panjang dalam agenda MPLS—bahkan bisa mencapai satu hingga satu setengah jam per sesi. Hal itu dinilai efektif untuk membuka ruang dialog dua arah antara siswa dan fasilitator.
Mengenai pendekatan yang digunakan selama sosialisasi, Ariyani menekankan pentingnya memahami dunia pelajar agar pesan yang disampaikan lebih mudah diterima. Salah satu pendekatan yang sempat digunakan adalah dengan menganalogikan demokrasi menggunakan elemen permainan (game).
“Pendekatan kami beragam, dan kami harus paham dulu apa yang mereka gandrungi. Misalnya, saat kami ke SMK PGRI 3, kami menggunakan analogi game untuk menjelaskan prinsip demokrasi. Hasilnya, banyak celetukan yang berujung diskusi seru. Jadi komunikasinya berjalan dua arah,” tuturnya sambil tersenyum. (Art)