iklan warmadewa iklan warmadewa stikom bali

Esensi Tumpek Uye: Memuliakan, Bukan Menyembah Hewan

Sembahyang
Acara persembahyangan di Pura Bale Agung, Desa Adat Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung Sabtu, 29/01/2022.

DENPASAR-Diari Bali

Tumpek uye diartikan sebagai hari untuk memuliakan binatang, seperti sapi, kerbau, kambing, babi, dan sebagainya, karena itu tumpek uye sering juga disebut hari pemuliaan binatang. Umat hindu Bali memperingati perayaan tersebut Sabtu, 29 Januari 2022 dengan membuatkan sarana upacara berupa banten.

Hari raya ini jatuh setiap 210 hari atau 6 bulan kalender bali yang dalam 1 bulan berjumlah 35 hari, tepatnya Saniscara kliwon, wuku uye.

Dosen pendidikan Agama Hindu Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Ida Bagus Ngurah, S.Ag., M.Si mengatakan, tumpek uye pada hakekatnya merupakan hari untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Siwa Pasupati yang disebut Sang Hyang Rare Angon, penggembala makhluk dan pemuliaan ini dilakukan untuk semua jenis binatang bukan hanya binatang peliharaan saja.

Yang jadi pertanyaan, lanjutnya, kenapa binatang diberikan otonan atau harus dimuliakan oleh manusia, tak jarang sebagian orang salah menafsirkan bahwasanya tumpek uye adalah hari memuja binatang.

Akademisi yang akrab disapa Gus Ngurah ini mengutip dari sebuah lontar Sundarigama dikatakan seperti ini : Saniscara Kliwon Uye pinaka prakertining sarwa sato, artinya : pada hari Saniscara kliwon wuku uye hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan. Kata pelestarian inilah menurut hindu dilakukan dengan cara memuliakan.

“Sebenarnya, bukan binatang yang kita puja, melainkan Ida Sang Hyang Widhi, Siwa Pasupathi, yang disebut dengan nama Sang Hyang Rare Angon,” ungkapnya.

BACA JUGA:  Denpasar Ciptakan Malam Pangerupukan Kondusif Bebas Soundsystem
Dosen pendidikan Agama Hindu Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Ida Bagus Ngurah, S.Ag., M.Si

Gus Ngurah menambahkan, sebuah referensi menguatkan tentang hari tumpek uye ini, ia mengutip salah satu sloka dalam Lontar Sundarigama yang esensinya mewajibkan umat manusia untuk menyayangi binatang. Pasalnya, binatang adalah salah satu mahluk yang menjadi kekuatan alam.

Kutipan sloka tersebut berbunyi : Ayuwa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana. Artinya: jangan tidak sayang kepada binatang, karena binatang atau makhluk adalah kekuatan alam. Karena hewan adalah kekuatan maka perlu dipelihara demi keharmonisan.

“Memuliakan binatang bukan berarti kita memujanya, yang kita harapkan semua binatang mendapatkan kesehatan.” imbuhnya

“Sesungguhnya inilah Hindu yang mengajarkan cinta kasih kepada seluruh ciptaanya, baik sesama manusia, hewan dan tumbuhan, upacara ini didasari oleh keyakinan bahwa Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa berada dalam diri semua mahluk, demikian Sang Hyang Rare Angon menjiwai semua binatang” Gus Ngurah memungkasi.

Penting untuk diketahui, sarana upakara dalam peringatan Tumpek Uye ini untuk sarana bebantenan bagi pemilik hewan kuda, sapi atau kerbau bantennya terdiri dari tumpeng tetebasan, panyeneng, sesayut dan canang raka.

Sedangkan bagi umat Hindu yang memelihara babi, bisa menghaturkan tumpeng-canang raka, penyeneng, ketipat dan belayag. Untuk bebanten sebangsa unggas, dibuatkan bebanten berupa bermacam-macam ketupat sesuai dengan nama atau unggas itu seperti tipat kedis, tipat kukur, tipat gelatik dan lain sebagainya dilengkapi dengan penyeneng, tetebus dan kembang payas.

BACA JUGA:  Wawali Arya Wibawa Buka "Ten Rounds Musik in The Rin"

Bebanten atau sarana pemujaan tersebut dilakukan permohonan di Kemulan Tiga Sakti atau Bhatara Hyang Guru, lalu tirta yang ditunas digunakan pada tempat ternak ditempatkan. (VAN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *